Yayasan Raudlatul Makfufin

Sedikit Bicara Banyak Berbuat

KRISIS kepercayaan, itulah yang hari ini terjadi dimana-mana. Kesantunan, kekompakan, dan kesetiakawanan tidak lagi menonjol dalam tradisi hidup masyarakat kita. Semua itu terjadi karena setiap individu masih enggan berbuat, namun semangat untuk berucap. Melempar kritik dengan kasar, mencurigai orang lain tanpa bukti, dan berbicara sekehendak hati.

Ironisnya, semua itu justru terjadi pada sebagian besar kalangan pejabat, politisi, dan pemuka masyarakat. Lihat saja isi media massa negeri ini. Anggota DPR menyerang pemerintah dan pemerintah meremehkan anggota DPR. Akhirnya media kita hanya berisi pertengkaran yang tidak perlu. Bahkan orang-orang penting di negeri ini pun lupa membahas gagasan besar dan terjerumus memikirkan hal-hal kecil.

Bagaimana memberantas kebodohan guna mewujudkan amanah UUD 1945 mencerdaskan kehidupan bangsa misalnya, hal itu nyaris tak terdengar. Sementara persoalan menjadi menteri, menjadi presiden, menjadi ini, itu kerap kali muncul ke permukaan. Jika ini yang terus terjadi, sampai kapan pun kita tidak akan pernah sampai pada perbaikan yang lebih baik.

Ketika masyarakat Papua sedang dilanda ‘kerusuhan’ orang-orang penting di Jakarta malah asyik berpolemik soal calon presiden 2014. Selain itu, kasus lumpur Lapindo hingga detik ini belum tertuntaskan dengan baik. Semua asyik saling memberi statement kemudian yang lain berkomentar atau berkilah.

Jika ada masalah, biasanya antara satu dengan yang lain saling lempar tanggung jawab. Oh ini tugas dia, dan itu tanggung jawab dia. Saya tidak berhubungan langsung dengan kasus ini. Ketika dikonfirmasi kepada yang lain, muncul alasan-alasan yang tidak berbeda. Jadi, wajar jika ada anggapan bahwa mayoritas pemegang kebijakan di negeri ini lebih banyak bicara daripada berbuat.

Jadi tidak keliru jika kemudian muncul lantun yang ‘menggelikan’ dikumandangkan oleh seorang musisi tanah air, “Wakil rakyat seharusnya merakyat. Jangan tidur waktu sidang soal rakyat”.

Lalu bagaimana dengan masyarakat kita, khususnya kaum muda (mahasiswa)? Hampir sama, komunitas itu tak mampu begitu saja menghindar dari budaya miskin karya itu. Hampir bisa dipastikan bahwa kaum muda kita juga terjebak dalam keasyikan berdebat daripada berbuat.

Atas nama ilmu, sekelompok mahasiswa berdebat hingga larut malam, lalu lalai menunaikan sholat Shubuh. Bahkan ada yang bangun setelah matahari terbit. Namun demikian mereka tidak menyadari hal tersebut keliru, justru kian bangga dengan jargon, ‘mahasiswa itu harus kritis’. Tetapi lupa bahwa yang sejati dalam hidup ini ialah, manusia itu harus berkarya, bukan hanya bicara.

Tunaikan Tanggung Jawab

Setiap individu memikul tanggung jawab dan kewajiban tertentu yang harus dilaksanakan dengan baik. Dari tanggung jawab itulah manusia dinilai, diukur dan diklasifikasikan sebagai manusia yang kredibel dan manusia yang tidak kredibel.

Apabila masyarakat suatu bangsa memiliki kredibilitas yang baik, tentu sistem kehidupan masyarakat akan berjalan dengan baik, harmonis, indah dan menentramkan.

Ibarat sebuah motor, ketika lampu depan tidak berfungsi, maka perjalanan akan terganggu manakala menyusuri jalan di malam hari. Demikian pula kehidupan kita, apabila ada orang yang tidak disiplin, seenaknya, tentu akan sangat mengganggu sistem kehidupan bermasyarakat kita. Apalagi jika yang tidak berfungsi itu justru orang-orang yang memegang amanah publik, makin tidak karuanlah kondisinya.

Belajar Kepada Umar bin Khattab

Siapa yang tidak kenal Umar, sahabat nabi yang terkenal sangat pemberani. Tak satupun orang Quraisy yang berani menghadang Umar tatkala dirinya menyampaikan kepada seluruh warga Makkah bahwa esok hari ia akan hijrah ke Madinah dan bergabung bersama barisan kaum Muslimin.

Keberanian Umar sungguh sangat luar biasa. Namun demikian Umar juga punya rasa takut sangat luar biasa. Hal itu terlihat tatkala ia melakukan sidak di malam hari. Ketika ia menjumpai sebuah rumah yang di dalamnya terdengar suara tangisan anak-anak, Umar pun segera masuk dan bertanya perihal apa yang menyebabkan si anak itu menangis.

Setelah mengerti bahwa ternyata seharian anak-anak itu tidak makan. Umar bergegas menuju baitul maal dan langsung memikul sekarung gandum itu di tengah malam gelap gulita. Ketika pengawalnya menawarkan diri untuk memikulkannya, dengan singkat Umar menjawab, “Apa kamu sanggup memikul dosa-dosa Umar di hari kiamat?”

Langkah Umar ini patut kita teladani. Bagaimana kita berupaya menjalankan segala hal yang merupakan kewajiban kita. Sebagai seorang khalifah, bukan Umar tidak punya menteri, pasukan, atau kendaraan untuk mengangkat gandum itu. Juga bukan berarti salah jika Umar meradang, lalu mengumpulkan seluruh menteri dan stafnya untuk diberi briefing mengenai tugas-tugas seperti itu.

Tapi Umar sadar betul bahwa dirinya menjadi khalifah adalah amanah dari Allah. Umar sangat takut kalau Allah murka kepadanya karena dia tak mau berbuat dan hanya suka marah kepada bawahan tanpa memberikan solusi konkrit atas kepemimpinannya. Keputusannya untuk bergerilya di malam hari untuk mengetahui situasi dan kondisi riil masyarakatnya juga merupakan satu bentuk tanggung jawab yang sangat luar biasa.

Bahkan karena rasa takutnya yang luar biasa kepada Allah SWT, Umar sempat menyatakan bahwa, “Apabila ada anak kambing terperosok karena jalanan yang rusak, Umarlah yang bertanggung jawab di dunia dan akhirat.”

Islam itu Identik Berbuat

Siapa yang mengaku beriman maka hendaklah ia menjadikan dirinya sebagai pribadi yang banyak berbuat bukan banyak bicara. Artinya, tidak banyak bicara untuk hal-hal yang tidak perlu apalagi berpotensi negatif (baca dosa). Jika kita membaca isi kandungan al-Quran dan Hadits, isinya adalah perintan beramal dan mengerjakan hal-hal yang baik. Bukan berisi perdebatan sia-sia atau hanya sekedar wacana.

Sebagai konsekwensi kemusliman kita, jika ditemukan hal-hal yang tidak baik dan kita mampu untuk menutupinya, maka tutupilah bukan terpancing untuk marah atau membeberkan kesalahan orang.

Seorang suami ketika melihat rumah belum bersih, tidak perlu memanggil istri atau anak untuk menyapunya apalagi ‘berceramah’ lebih dulu. Tetapi ambillah sapu dan bersihkanlah. Karena kebersihan rumah adalah tanggungjawab semua, terutama kepala keluarga.

Demikian pula seorang pemuda, tatkala melihat hal-hal yang tidak baik, jangan hanya bicara, selesaikan segera dengan cara-cara yang santun. Sebagaimana telah dicontohkan oleh nabi. Jangan sampai terjadi, selalu mengkritik orang tua, tapi pada saat yang sama tak ada karya yang diperbuat. Bicara seolah-olah seorang pemikir, ahli kebijakan, tapi perangai dan perilakunya tak mencerminkan pemuda yang beriman yang berkahlak. Pepatah mengatakan tong kosong nyaring bunyinya.

Artinya jika sebagai pemuda kita hanya bisa bicara, tunggu saja, saatnya nanti kita akan ditinggalkan.

Prinsipnya, sebagai apapun dan dalam situasi apapun kita, hendaknya selalu berusaha untuk mengutamakan berbuat yang terbaik. Hindari banyak bicara yang tidak perlu. Sebab kelak sebagus apapun perkataan tak akan mampu mengalahkan bagusnya perbuatan.

Allah SWT berfirman,

وَقُلِ اعْمَلُواْ فَسَيَرَى اللّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ وَسَتُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ

“Dan Katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. 9: 105).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

;