Yayasan Raudlatul Makfufin

The More I Know… The Less I Care

Perbedaan dari ketiga jenis kemiskinan ini, terletak pada penyebabnya. Kemiskinan struktural disebabkan kondisi struktur perekonomian yang timpang dalam masyarakat, karena faktor-faktor buatan manusia.

Rupa-rupa kemiskinan jadi agenda besar yang tak pernah bisa terselesaikan. Sejak jaman batu hingga internet mengangkasa, kaum dhuafa merupakan objek dari segala sistem kemasyarakatan yang pernah diujicobakan. Mereka (dhuafa) adalah kaum yang terpinggirkan oleh sistem menindas dan rendahnya kepedulian setiap individu.

Mari sejenak kita bertanya, apakah pangkal dari ironi ini? Kiranya, minimnya kepedulian terhadap para mustadhafin (kaum tertindas) adalah sebab itu semua. Karena sistem seadil apa pun, akan berubah jadi menindas jika di dalamnya bernaung orang-orang yang tak peduli terhadap dhuafa. Sebaliknya, kumpulan dari orang-orang yang berjuang melawan kemiskinan, niscaya akan melahirkan sistem yang berpihak pada orang-orang tak punya. Inilah logika yang benar dalam melihat kemiskinan ketika ia tampak terlestarikan.

Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.” (QS al-Ma’un [107]: 1-3)

Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS al-Isra’ [17]: 26-27)

Kemiskinan Mendekatkan kepada Kekufuran
Kemiskinan dapat digolongkan dalam tiga bentuk. Yaitu kemiskinan struktural, kemiskinan kultural dan kemiskinan natural. Perbedaan dari ketiga jenis kemiskinan ini, terletak pada penyebabnya. Kemiskinan struktural disebabkan kondisi struktur perekonomian yang timpang dalam masyarakat, karena faktor-faktor buatan manusia. Ada pun kemiskinan kultural muncul karena faktor mental masyarakat yang kontraproduktif, seperti perilaku malas bekerja, rendahnya kreatifitas dan inovasi serta tidak ada keinginan hidup lebih baik. Sedangkan kemiskinan natural adalah kemiskinan yang terjadi secara alami. Penyebabnya berupa kualitas sumber daya manusia (SDM) yang rendah dan terbatasnya sumber daya alam (SDA).

Sesungguhnya pemberhentian terakhir dari tiga bentuk kemiskinan itu, amatlah memiriskan. Bila hidup susah dan beragam kebutuhan hidup tak terpenuhi, berbagai masalah sosial pun bermunculan. Mulai dari rasa putus asa (depresi), bunuh diri, bermunculan kriminalitas, komersialisasi seks, pelacuran anak-anak jalanan, maraknya gelandangan, hingga menggadaikan akidah (pindah agama). Kemiskinan dapat menggerus keimanan seseorang, dan mengantarnya kepada kekufuran. Sebagaimana sabda Rasulullah, “Kaadal faqru anyakuna kufran (kemiskinan mendekatkan pada kekufuran).” (HR Abu Nua’aim)

Kaum dhuafa (kaum lemah) dan kaum mustadhafin (kaum tertindas), seperti kaum miskin, fakir, perempuan, orang yang terlilit hutang, anak yatim, orang cacat, dan lain-lain, menjadi kelompok yang rentan terhadap bahaya itu semua. Mereka adalah orang-orang miskin di jalanan, pinggiran dan di sudut-sudut lingkungan kumuh (slumdog). Yang mungkin bekerja sebagai pemulung, pengamen, pedagang asongan, pengemis jalanan, buruh bangunan atau pun abang becak.

Sejatinya Islam adalah agama yang membela kaum tersebut. Ini terlihat dalam ajaran-ajaran yang diwahyukan kepada Rasulullah. Bahkan semasa hidupnya, Rasulullah sangat dekat dengan mereka (dhuafa dan mustadhafin). Kaum dhuafa disebut sebagai orang-orang yang sangat dekat dengan Nabi kelak di akhirat. Hidup mereka lebih berharga dan terhormat daripada mereka yang makan uang rakyat (koruptor). Doa orang-orang mustadh’afin pun akan cepat dikabulkan Allah.

Oleh karena itu, ciri manusia sosial menurut Islam ialah manakala kepentingan pribadinya, diletakkan dalam kerangka kesadaran akan kewajibannya sebagai makhluk sosial. Karakter yang melahirkan sikap kesetiakawanan, cinta kasih, dan kepedulian, sebagaimana dicontohkan Rasulullah dan para sahabat. Bukannya parade mobil mewah yang ditunjukkan para pejabat tinggi bangsa ini. Sementara di sisi lain, harga-harga sembilan kebutuhan pokok meningkat tajam, dan turunnya jumlah subsidi beras miskin (raskin) dari Rp.12,9 triliun menjadi Rp. 11,4 triliun (Republika, 19 Januari 2010).

Mengasah Kepedulian untuk Mereka
Rasulullah saw bersabda: “Seorang muslim adalah saudara muslim yang lain. Siapa saja yang berusaha memenuhi kebutuhan saudaranya, Allah akan memenuhi kebutuhannya. Siapa saja yang menghilangkan kesusahan dari seorang muslim, Allah akan menghilangkan salah satu kesusahannya pada Hari Kiamat.” (HR Muttafaq ‘alaih)

Hadits ini secara gamblang memberitahukan bahwa bukti kesempurnaan iman seseorang adalah dengan kecintaan terhadap sesama muslim. Cinta yang tak sekadar ucapan, tapi berupa pembuktian rasa cinta itu dalam kehidupan. Misalnya dengan meringankan beban hidup mereka. Karena cinta tanpa bukti, tak lebih dari fatamorgana dan hiasan bibir semata. Kepedulian kepada sesama muslim ini menjadi barometer sejauh mana kesempurnaan iman seorang muslim. Semakin peduli dia terhadap saudaranya, sejauh itu pula kesempurnaan imannya.

Agama memberikan isyarat sangat jelas untuk mengeluarkan zakat, infak atau pun sedekah. Terutama zakat, 2,5 persen dari kekayaan adalah hak kaum dhuafa. Melalui zakat, tak hanya mensucikan diri dan harta tapi juga meringankan penderitaan hidup mereka dari jerat kemiskinan. Ada pun membiarkan mereka dalam penderitaan, berarti menyia-nyiakan agama. Karena bukankah kehadiran Islam adalah untuk memberikan keselamatan kepada seluruh alam, termasuk bagi orang miskin.

Memampukan diri menjadi orang yang peduli terhadap kaum dhuafa, sudah selayaknya bila mengaku sebagai umat nabi Muhammad saw. Inilah bentuk uswah (keteladanan) terhadap Beliau. Berusaha sekuat tenaga untuk berbagi harta, tenaga, dan fikiran bagi mereka.

Dengan semakin banyaknya informasi akan kehidupan para dhuafa, dan semakin banyaknya sarana untuk meringankan kehidupan mereka, kepedulian yang memandirikan jadi satu-satunya solusi. Amatlah merugi bila keberadaan kaum dhuafa, tak jadi jalan bagi kita untuk berfastabikul khairat (berlomba-lomba dalam kebaikan). Dan semoga ungkapan yang mengatakan, the more i know, the less i care (semakin banyak kutahu, semakin kurang peduliku), bukan sikap dan perilaku umat Rasullulah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

;