Yayasan Raudlatul Makfufin

Akar Konflik Umat Islam (Jeje Zaenudin Abu Himam) 2

AWAL KONFLIK POLITIK UMAT ISLAM

 

Hakikat, Sebab-sebab dan Macam-Macam Konflik

Konflik berasal dari kata Inggris conflict yang berarti perselisihan; percekcokan; atau pertentangan. Baik percekcokan itu sebatas pertengkaran mulut atau sampai pertentangan dengan mengadu kekuatan fisik dan senjata. Baik pertentangan individual ataupun kolektif dan missal. Baik pertentangan itu terselubung dan bersifat internal maupun terbuka dan bersifat eksternal. Sedang secara terminology, konflik dapat didefinisikan dari dua pendekatan; psikologis dan sosiologis. Secara psikologis, konflik dijelaskan sebagai “benturan dua atau lebih motiv yang kuat yang tidak dapat diselesaikan secara bersamaan”. Benturan dua motiv ini seringkali dipicu oleh jurang yang lebar antara apa yang menjadi cita-cita ideal dengan kenyataan. Atau antara “dunia dalam” dengan “dunia luar”-nya. Konflik internal individual seperti ini manakala tidak dapat teratasi dan tidak terealisasikan secara memuaskan sering menjadi penyebab gangguan kesehatan jiwa seseorang.

Secara sosiologis, konflik dimaksudkan sebagai situasi pertentangan social yang ditandai dengan adanya interaksi dua pihak atau lebih yang bertikai dengan kepentingan yang berbeda. Konflik social biasanya melewati dua tahap; tahap disorganisasi dan tahap disintegrasi. Disorganisasi merujuk kepada suatu situasi social dimana satu atau beberapa kelompok masyarakat mereka tidak cocok dengan norma-norma yang ada dan berlaku. Baik karena kesalahpahaman terhadap norma-norma tersebut atau karena norma tersebut dipandang asing serta tidak sesuai dengan keyakinan yang dianutnya, atau juga kegagalan untuk menyesuaikan diri dengan norma-norma tersebut. Sedang disintegrasi bukan hanya kegagalan kelompok masyarakat dalam beradaptasi dengan norma-norma yang baru dan dipandang asing atau norma-norma lama yang dianggap sudah usang, melainkan sudah diwujudkan dengan sikap dan tindakan penentangan sebagai protes terhadap norma-norma tersebut.

Yang dimaksud norma dalam konteks sosiologis adalah tata aturan perilaku dalam masyarakat yang meliputi empat bentuk: pertama, bentuk usage atau cara. Norma dalam bentuk ini adalah tatacara perilaku dalam suatu masyarakat yang bersifat longgar. Dimana tiap individu dalam perilaku ini sangat memungkinkan mempunyai cara sendiri yang belum tentu disukai oleh keumuman orang. Baik itu dalam berpakaian, makan, minum, berkata atau tertawa, akan tetapi pelanggaran atas cara-cara ini tidaklah dipandang oleh masyarakat sebagai pelanggaran berat, melainkan dianggap suatu ketidaksopanan di depan orang lain. Dengan kata lain, usage adalah norma yang daya ikatnya terhadap perilaku individu dalam sebuah masyarakat yang sangat lemah karena lemahnya daya sanksi masyarakat atasnya. Kedua, bentuk folkways atau kebiasaan. Norma dalam bentuk ini adalah kebiasaan yang terus menerus dilakukan masyarakat sebagai sesuatu yang disukai dan dipandang baik. Penghormatan seorang anak muda atas orang yang lebih tua, umpamanya, dapat dikatagorikan ke dalam norma kebiasaan. Pelaku pelanggaran atas kebiasaan ini dikatagorikan sebagai bersalah di pandangan masyarakat. Karena itu, folksway adalah adalah norma yang memiliki daya ikat setingkat lebih kuat di atas usage. Ketiga, mores atau tata laku. Menurut Mac Iver dan Page, sebagaimana dikutip oleh Soerjono Soekanto, mores adalah kebiasaan tingkah laku masyarakat yang sudah diapndang sebagai norma-norma pengatur, dimana setiap individu terikat untuk menyesuaikan perilakunya dengan norma tersebut. Keempat, custom atau adapt istiadat. Yaitu norma tatalaku yang sangat kuat integrasinya dengan pola-pola perilaku masyarakat serta mempunyai sanksi yang berat bagi pelanggarnya, bukan hanya karena dipandang menyimpang dari tata perilaku yang berlaku di masyarakat, melainkan dianggap menodai norma-norma religi atau ajaran kepercayaan yang sakral.

Penentangan kelompok-kelompok masyarakat terhadap norma-norma yang ada menimbulkan suasana ketegangan dan konflik yang membawa kepada situasi disintegrasi atau perpecahan. Disintegrasi masyarakat tidaklah terjadi secara tiba-tiba melainkan melalui proses yang bertahap. Proses disintegrasi ini menurut Astrid S. Susanto melalui lima tahapan:

  1. Anggota-anggota kelompok masyarakat mulai tidak sepaham tentang tujuan bersama yang semula disepakati dan dijadikan pegangan kelompok.
  2. Norma-norma yang ada dipandang sudah tidak sesuai dan tidak membantu lagi dalam mecapai tujuan yang disepakati.
  3. Norma-norma yang dihayati anggota masyarakat tidak lagi seragam malah saling bertentangan.
  4. Sangsi yang diberikan oleh masyarakat terhadap pelanggaran norma sudah menjadi lemah.
  5. Masyarakat sudah bertindak bertentangan dengan norma-norma kelompok.

Ketika pertentangan-pertentangan di tengah masyarakat tidak dapat lagi dikendalikan atau diselesaikan dengan norma-norma umum yang masih disepakati, dapat dipastikan masyarakat tersebut telah memasuki babak disintegrasi yang sesungguhnya.

Manusia adalah makhluk bidimensional, dimana dua unsur yang mempunyai karakter berbeda – yaitu ruh dan jasad – menjelma sebagai satu pribadi. Unsur yang disebut pertama, karena ia merupakan tiupan langsung dari ruh Allah, mempunyai sifat dasar yang suci dan kekal abadi. Karena itu kecenderungan dan kebutuhannyapun kepada kesucian dan keabadian hidup. Sementara jasad atau tubuh manusia tercipta dari bahan materi yang terdapat dalam tanah yang menjadi tempat tinggal manusia itu sendiri. Tidaklah menherankan kalau kebutuhan utama jasad manusia juga dari segala yang bersifat materi. Yang memuaskan jiwa adalah nilai-nilai, sementara yang memuaskan tubuh adalah makanan dan minuman yang lezat. Karakter yang berbeda dari dua unsur penciptaan manusia ini menyebabkan manusia secara kodrati terus menerus berada dalam konflik internal, di dalam dirinya sendiri. Konflik internal ini adalah penting sebab dinamika kehidupan serta kebahagiaan manusia justru terletak dalam keberhasilannya memenuhi sekaligus menjaga dua kecenderungan tersebut secara proporsional dan adil.

Konflik yang terjadi antar manusia adalah refleksi dari konflik internalnya. Dorongan memenuhi tuntutan kebutuhan hidup – jasmani dan ruhani – menyebabkan manusia senantiasa berfikir dan bertindak. Dalam proses memenuhi kebutuhan hidup itulah perbedaan pemikiran dan tindakan antara satu individu atau satu kelompok manusia dengan individu atau kelompok lainnya tidak dapat dihindari. Sebab tidaklah setiap orang menggunakan landasan pemikiran dan tindakan yang sama. Seringkali orang mempunyai sudut pandang yang berbeda tentang satu masalah yang sama, sehingga terjadi perbedaan kepentinga. Perbedaan kepentingan dan perbedaan perilaku dalam memenuhi kebutuhan hidup menyebabkan terjadinya benturan satu kelompok masyarakat dengan yang lainnya. Inilah proses munculnya konflik sosial.

Sebelum jasad dan ruh menyatu, maka dorongan kepentingan yang berbeda akan terus ada. Demikian pula selama manusia itu hidup bermasyarakat, konflik kepentingan akan terus berlangsung. Karena itu sebagiab sosiolog, seperti yang disinyalir oleh Paul B. Horton, beranggapan bahwa masyarakat adalah suatu keadaan konflik yang berkesinambungan di antara kelompok dan kelas serta berkecenderungan kea rah perselisihan, ketegangan dan perubahan. Sejarah masyarakat manusia memang tidak dapat dipisahkan dari konflik.

Menurut teks atau ayat-ayat kitab suci agama-agama samawi,kehadiran manusia di muka bumi diawali dengan konflik Adam dengan Iblis. Allah menurunkan Adam ke bumi karena kekalahannya dari tipu daya Iblis. Karenanya, kehadiran manusia di dunia membawa suatu kodrat ilahiyah untuk senantiasa bersaing dan bermusuhan dengan Iblis dan para pengikutnya. Seperti diberitakan dalam kitab suci juga bahwa konflik antar manusia yang pertama kali membawa korban jiwa telah terjadi pada generasi awal dari kehadiran manusia di muka bumi ini. Habil adalah korban pembunuhan pertama akibat konflik kekerasan yang justru dilakukan oleh saudara kandungnya sendiri, Qabil. Pemicu permusuhan Qabil atas Habil dalam sebagian riwayat malah sangat jelas adalah persaingan memperebutkan calon istri.

Disamping factor perbedaan kepentingan dan perilaku, sebagaimana dikemukakan di atas, factor lain pemicu konflik sosial adalah diskriminasi dan etnosentris. Diskriminasi adalah tindakan berat sebelah akibat pengaruh prasangka yang berlatarbelakang sejarah, social cultural, factor kepribadian, perbedaan keyakinan, kepercayaan atau agama. Sedangkan etnosentris adalah suatu kecenderungan yang menganggap nilai dan norma kebudayaan sendiri paling unggul dan paling sempurna, sedang nilai dan norma kebudayaan orang lain dipandang rendah dan buruk. Akibatnya timbul perilaku yang melanggar atau bahkan melecehkan norma budaya pihak lain serta menghukumkan budaya orang lain dengan budayanya sendiri.

Ditinjau dari alasannya, komflik social dapat dikatagorikan kepada konflik rasional dan irrasional. Suatu konflik disebut rasional jika ia terjadi karena memperebutkan tujuan-tujuan yang rasional; seperti perebutan kekayaan atau jabatan tertentu, dan dinamakan irrasional manakala ia terjadi tanpa suatu tujuan yang jelas, melainkan terjadi demi konflik itu sendiri. Sedang dari sudut keterlibatan pelakunya, konflik terjadi dalam tiga tingkatan; konflik di dalam diri, konflik pada tingkatan kelompok, dan konflik dalam lingkup masyarakat luas. Konflik memang berkonotasi buruk, tetapi tidak berarti bahwa setiap konflik membawa keburukan. Sepanjang dapat dikendalikan dengan baik dan dapat dicegah dari tindakan anarkis serta kekerasan fisik dan senjata, konflik memberi manfaat bagi kehidupan masyarakat dalam meningkatkan saling memahami, meningkatkan hubungan antar kelompok yang berbeda serta meningkatkan kemampuan masyarakat dalam memecahkan masalah bersama. Tetapi konflik akan menimbulkan kerusakan dan kerugian besar – materil maupun moril – jika gagal dicarikan solusinya.

 

Konflik politik dan cara-cara penyelesaiannya.

Para ahli politik menelusuri kata politics dalam bahasa Inggris dari tiga kata Yunani; politicos, yang ertinya hal menyangkut kewarganegaraan; polites, yang artinya seorang warga Negara; polis, yang artinya kota atau Negara; atau politeia, yang artinya kewargaan. Jadi secara bahasa, politik adalah sesuatu yang berkenaan dengan hal kenegaraan, kewargaan atau kewarganegaraan baik dalam tataran pemikiran ataupun dalam praktek perilaku manusia yang berkaitan dengannya.

Aktivitas pemikiran maupun perilaku manusia dalam masyarakatnya yang terkait dengansubstansi ilmu politik sudah lama sekali dikenal dalam peradaban manusia. Secara teotitis, bagian-bagian tertentu dari aspek politik sudah lama pula menjadi pembicaraan kaum ilmuwan. Di Yunani, sejak kurang lebih tahun 450 SM, para filosof sudah menaruh perhatian tentang masalah Negara dan masyarakat. Herodotus, Demokritos, Plato dan Aristoteles adalah di antara contoh filosof-filosof Yunani yang sudah membicarakan rumusan politik secara teoritis. Pada abad-abad yang kurang lebih berbarengan dengan Yunani, di India sudah termahsyur kitab kesusastraan Dharmasastra dan Arthasastra yang di dalamnya banyak mengandung didikan etika bernegara. Demikian halnya di Cina, sejak tahun 500 SM hingga 350 SM, sudah menyebar ajaran filsafat Confucius dan Mencius.

Bukan hanya itu, percobaan mempraktekkan rumusan-rumusan politik ke dalam kenyataan hidup bernegara telah dilaksanakan di Athena pada masa pemerintahan Pericles yang berkuasa dengan pilihan bebas warganya selama 30 tahun (460 SM – 430 SM). Pada masa ini Negara dengan system pemerintahan yang demokratis telah berhasil diimplementasikan dengan beberapa cirri yang utama: Pertama, warga Negara telah dilibatkan dalam perumusan dan penentuan kebijakanpemerintah. Hanya saja pada waktu itu masih dibatasi bagi warga Negara yang laki-laki saja. Kedua, telah terbentuknya lembaga-lembaga negara yang berupa Badan Perhimpunan, Dewan Eksklusif dan Majlis Kehakiman. Dan cirri yang Ketiga, adalah diselenggerakannya pemilihan pemimpin secara demokratis.

Meskipun demikian sampai akhir abad ke 19 M. dimana ilmu politik telah lahir dan berkembang pesat sebagai ilmu tersendiri berdampingan dengan ilmu-ilmu social lainnya, politik tetap masih merupakan peristilahan yang labil. Bukan tidak adanya upaya pendefinisian, tetapi sulit didapatkan batasan tunggal yang disepakati. Kesulitan memberikan batasan tunggal atas politik ini, menurut Duverger, disebabkan karena terlalu populernya kata politik. Kata tersebut “ada dalam kosakata setiap orang” sehingga “karena seringnya dipakai dia menjadi sangat samara-samar dan umum”. Di sisi lain, objek kajian politik adalah aktivitas masyarakat dengan sifatnya yang sulit didefinisikan karena senantiasa berubah dan berkembang. Sementara itu, kata politik tidak mengandung pengertian dalam dirinya sendiri, ia membutuhkan penjelasan dari luar yang sangat ditentukan oleh sudut pandang dari para sarjana penelitinya.

Sejak manusia pertama kali berfikir tentang politik, mereka terombang ambing di antara dua interpretasi yang saling bertentangan secara diametric. Bagi sebagian orang politik secara hakiki adalah pergolakan pertempuran. Kekuasaan memungkinkan kelompok-kelompok dan individu-individu yang memegangnya untuk mempertahankan dominasinya terhadap masyarakat yang mengeksploitasinya; kelompok dan individu lain menentang dominasi dan eksploitasinya dengan berusaha melawan dan membinasankannya. Tafsiran kedua menganggap politik sebagai usahan untuk menegakkan ketertiban dan keadilan. Kekuasaan melindungi kemakmuran umum dan kepentingan umum (common good) dari tekanan dan tuntutan kelompok-kelompok kepentingan yang khusus. Bagi yang pertama politik bertugas mempertahankan hak-hak istimewa suatu minoritas terhadap mayoritas. Bagi yang kedua, ia adalah alat untuk mengintegrasikan setiap orang ke dalam komunitas dan menciptakan “kota adil” yang dibicarakan Aristoteles.

Plato dan Aristoteles memang lebih menekankan pemaknaan politik dari sudut tujuan ideal sebuah masyarakat. Bagian keduanya politik ada demi tujuan mulia; mencari kebaikan umum, kebaikan warga dan kesempurnaan moral. Sebagai konsekwensinya, dengan politik para pembuat keputusan harus mengacu kepada tujuan-tujuan moral. Cara-cara pemilihan pejabat, struktur kekuasaan dan keputusan-keputusan, semuanya mesti ditujukan untuk maksud-maksud ideal. Pendek kata, dalam teori Plato dan Aristoteles esensi politik teletak pada tujuannya. Selebihnya adalah perangkat-perangkat, sarana, alat dan metode bagi terlaksana dan untuk mencapai tujuan tersebut. Jadi pada akhirnya, sebagaimana terlaksana oleh Robert A. Dahl, tujuan itu telah dengan sengaja membangun “pola-pola hubungan manusia yang terus-menerus melibatkan, pada tingkat tertentu, kekuasaan undang-undang atau otoritas”.

Bagaimanapun sulitnya mencari batasan tunggal bagi istilah politik, pengertian umum yang lebih terbuka dan mengakomodir berbagai sisi dari sudut pandang yang beragam bukan hanya masih tetap mungkin, menlainkan menjadi harus dilakukan. Karena bagaimanapun kasarnya batasan-batasan itu tetap menjadi keputusan bagi jelasnya wilayah yang menjadi kajian politik sebagai sebuah ilmu. Identifikasi atas objek-objek atau masalah-masalah yang tercakup dalam katagori politik adalah jalan terdekat untuk mengatasi kesulitan mencari definisi tunggal yang disepakati. Demi keperluan ini, mengutip pendapat yang memilah-milah pengertian politik menjadi relevan dilakukan.

Geoffrey menjelaskan arti politik dari dua pendekatan; politik sebagai kativitas dan politik sebagai studi atas aktivitas tersebut. Sebagai aktivitas, politik adalah proses dalam sebuah system social, yang tidak mesti dalam skala nasional suatu negara, dengan tujuannya memilih dan mengatur serta melakukan alokasi sumberdaya dengan melibatkan kelompok dan individu masyarakat. Termasuk ke dalamnya kerjasama dan pemecahan konflik dengan peranan penting penggunaan kekuasaan politik. Ia dibedakan dari proses social yang lain dari sudut tujuannya yang dikonsentrasikan bagi pencapaian cita-cita bersama sebuah masyarakat. Sedang sebagai studi, politik mencakup ilmu politik, sejarah politik dan filsafat politik yang berusaha menggambarkan dan menjelaskan, mengklasifikasi serta menganalisa aktivitas politik berikut nilai-nilai yang diterapkan dalam keputusan politik.

Sementara itu, Lorens Bagus menginventarisir tidak kurang dari empat pengertian yang biasa terkandung dalam kata politik. Menurutnya politik ialah:

  1. apa yang berhubungan dengan pemerintah.
  2. Perkara mengelola, mengarahkan, dan menyelenggarakan kebijakan umum dan keputusan-keputusan atau kebijaksanaan yang menyangkut partai-partai yang berperan dalam kehidupan bangsa.
  3. Bidang studi yang berkaitan dengan masalah-masalah sipil social dan mengabungkan pendekatan-pendekatan terhadap pemecahan masalah-masalah tersebut.
  4. Aktivitas yang berkaitan dengan relasi-relasi antar bangsa-bangsa dan kelompok-kelompok social lainnya yang berhubungan dengan penggunaan kekuasaan Negara.

Dengan rumusan yang agak berbeda, Syahrial (dkk) mengemukakan lima pengertian politik yang menurutnya biasa tercakup dalam penggunaan kata politik; pertama, politik ialah usaha-usaha yang ditempuh warga negara untuk membicarakan dan mewujudkan cita-cita bersama. Kedua, politik ialah segala yang berkaitan dengan penyelenggaraan Negara dan pemerintahan. Ketiga, politik ialah segala kegiatan untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan dan masyarakat. Keempat politik sebagai kegiatan yang berkaitan dengan perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum. Kelima, politik sebagai konflik dalam rangka mencari dan atau mempertahankan sumber-sumber yang dianggap penting.

Untuk merangkum pengertian-pengertian yang dikemukakan di atas, penulis sepakat dengan rumusan konsep politik yang dikemukakan oleh Salman Surbekti, sebagaimana dikutip juga oleh Syahrial (dkk), politik ialah “interaksi antara pemerintah dan masyarakat dalam rangka proses pembuatandan pelaksanaan keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama masyarakat yang tinggal dalam satu wilayah tertentu”.

Jika politik diletakkan sebagai bagian dari system social yang luas, maka konflik politik hanyalah bagian dari jenis konflik social yang karakteristik serta latarbelakang penyebabnya telah digambarkan pada pembahasan di muka. Konflik politik berarti sejenis konflik social dengan seluruh ragam dan tingkatannya yang berada dalam wilayah politik. Dari sekian aspek yang tercakup dalam wilayah atau makna politik, kekuasaan adalah di antara maknanya yang punya peran paling dominant. Karena dengan kekuasaan di tangannya seorang politikus akan benar-benar merealisasikan gagasan-gagasan politiknya melalui keputusan-keputusan kebijakan yang dibuatnya. Kebijakan-kebijakan mana dapat dianggap menguntungkan sekelompok orang dan dapat dianggap merugikan kelompok lain dalam sebuah msyarakat politik. Sementara itu, kepentingan-kepentingan masyarakat politik itu tidak melulu bersifat materi. Desakan kepentingan ideologis atau tuntutan yang lahir dari kepercayaan dan kebutuhan spiritual tertentu, umpamanya, sering juga menjadi alasan ketiadakpuasan suatu kelompok atas suatu kebijakan pemerintah yang didukung oleh kelompok lainnya. Saat itulah konflik tidak dapat dihindari. Dengan argument seperti inilah, wajar jika konflik politik lebih sering dimaksudkan dalam makna perselisihan memperebutkan kekuasaan atau jabatan strategis pada suatu masyarakat politik.

Namun demikian, tidak berarti bahwa perebutan kekuasaan merupakan sebab utama konflik politik. Karena sebagai subsistem dari system social, politik bertalian erat dengan aspek-aspek social lainnya. Sangat mungkin terjadi konflik politik dilatarbelakangi oleh masalah non politik, dan sebaliknya konflik non politik dapat disebabkan dan atau berbuntut kepada antagonisme politik. Jadi sebuah konflik social dapat dimulai dan atau diakhiri sebagai suatu konflik politik.

Ada beberapa pendekatan yang mencoba memberi penjelasan tentang sebab-sebab konflik politik. Kaum konserfativ tradisional menganggap konflik politik diakibatkan rakyat umum atau massa merebut hak-hak istimewa kaum elit yang sudah ditakdirkan sebagai para pemimpin bagi orang umum. Dalam tahap tertentu, kaum konservatif juga meyakini adanya ras atau suku tertentu dari manusia yang memiliki bakat alamiah sebagai manusia-manusia pilihan untuk menjadi pemimpin bagi orang atau kelompok lain. Maka terjadinya konflik adalah perjuangan mempertahankan atau menegakkan kembali kedudukan yang menjadi hak kaum elite ini. Kaum liberal menolak teori ini. Dalam keyakinan mereka, manusia itu sama dan sejajar. Maka tidak ada satu kelompok ataupun ras yang boleh mengklaim bahwa mereka adalah ras yang ditetapkan tuhan sebagai pemimpin atas orang lain. Bagi kaum liberal, konflik politik merupakan bagian dari struggle for life yang sebab utamanya adalah perebutan benda-benda konsumsi yang tidak banyak tersedia. Kekuasaan memberi keuntungan untuk mempermudah memperoleh benda-benda konsumsi tadi. Jadi konflik politik tidak ada bedanya dengan persaingan ekonomi. Kekuasaan hanya tersedia bagi segelintir orang saja, sementara hamper semua orang berambisi untuk berkuasa.

Kaum Marxis mengemukakan pendekatan yang hampir sama dengan kaum liberal, bahwa konflik politik pada hakikatnya bersifat ekonomis. Hanya saja dalam padangan mereka bukan benda-benda konsumsinya yang jadi objek perebutan dan persaingan, tetapi masalah system produksi yang mengakibatkan munculnya kelas-kelas social. Kelas pemilik alat produksi atau tuan tanah terus ingin mempertahankan posisi mereka dalam menindas kelas yang tak punya harta milik sebagai buruh dan pekerja mereka yang secara alami, kelas yang disebut belakang ini, akan berjuang mengubah nasib hidup mereka supaya bias sejajar dengan kelas yang disebut pertama. Inilah sebab paling mendasar – menurut kaum Marxis – yang mengakibatkan terjadinya konflik politik.

Selain itu, pendekatan psikologis juga dipakai untuk mengurai sebab-sebab konflik politik. Dengan menggunakan teori psikoanalisa, umpamanya, dapat dijelaskan bahwa motivasi psikologis sangat besar pengaruhnya kepada pergolakan-pergolakan politik. Tidaklah benar jika keinginan memperoleh keuntungan material dari kekuasaan selelu menjadi motiv utama dalam setiap konflik politik. Konflik-konflik batin di internal masyarakat, baik secara individual atau kolektif, sangat besar potensinya menjadi kekuatan konflik yang melibatkan ras, kelas social, maupun sosiokultural.

Pembahasan di atas memberi kesimpulan bahwa konflik merupakan kenyataan social yang diterima secara teoritis maupun praktis. Bukan hanya teori-teori sosiologis yang telah merumuskan kemunculan konflik itu melainkan doktrin teologis agama, sebagaimana terbaca pada bagian yang telah lalu, juga mengajarkan tentang suatu konflik abadi antar manusia jahat dengan manusia baik. Hanya saja fenomena konflik bukanlah untuk diterima apa adanya dan kemudian dibiarkan berjalan menurut kemauannya sendiri. Konflik, sejauh ia sebagai pertentangan persaingan yang mendorong dinamika kehidupan social secara sehat dan sportif tentu sangat bermanfaat. Tetapi manakala konflik telah melewati garis kewajaran dan menjadi pemicu benturan social yang melibatkan perangkat kekerasan senjata untuk saling memusnahkan, maka ia telah menjadi kendaraan penghancuran satu kelompok social oleh kelompok yang lainnya yang akan membawa kerugian jiwa dan materi yang harus dicegah semaksimal mungkin. Karena itu, upaya-uapaya penyelesaian konflik yang sudah menjurus kepada pertikaian fisik dan kekerasan senjata menjadi kebutuhan masyarakat manusia.

  1. Bandura, sebagaimana dikutip oleh M. Arifin Hakin, mengemukakan lima cara penyelesaian konflik yang biasa ditempuh oleh masyarakat:

Pertama, elimination. Yaitu suatu penyelesaian konflik dengan cara satu kelompok yang terlibat dalam pertikaian menarik diri dari konflik tersebut.

Kedua, subjugation atau domination. Yaitu penyelesaian konflik dengan cara satu kelompok yang lebih kuat menekan dan memaksa kelompok lawan yang lebih rendah dan lemah agar tunduk dan patuh kepada kelompoknya. Cara seperti ini biasanya tidak berlangsung lama. Hanya bias bertahan manakala kelompok yang satu tetap kuat dan terus mampu mengontrol pihak lawan yang dikalahkannya. Tetapi pihak yang ditundukkan seringkali dapat mengorganisir diri dan berjuang keras agar mampu mengimbangi kekuatan lawannya untuk kemudian melawan atau balik mengalahkannya jika mampu. Maka jikapun konflik kekerasan terhenti itu hanya bersifat semu dan sementara saja.

Ketiga, majority rule. Yaitu penyelesaian konflik dengan mengambil keputusan berdasarkan suara terbanyak. Cara ini bias dimbil jika konflik masih bersifat pertentangan pendapat atau pemikiran dan mereka sepakat untuk menyelesaikan perbedaan tersebut lewat pemungutan suara.

Keempat, minority consent. Yaitu penyelesaian konflik dengan memenangkan mayoritas tetapi tidak mengecewakan minoritas serta tidak dikalahkan.

Kelima, compromise. Upaya penyelesaian dengan cara mengambil jalan tengah antara dua kepentingan dari dua kelompok yang bertikai.

Keenam, integration. Yaitu penyelesaian konflik dengan mencari keputusan yang disepakati bersama secara memuaskan melalui pendekatan dialog, diskusi, dan mempertimbangkan semua pendapat dan kepentingan dari kelompok-kelompok yang bertikai. Cara ini adalah cara yang paling dewasa dan memberi hasil yang paling baik meskipun pada kenyataan adalah cara yang tidak mudah untuk ditempuh.

 

Konflik politik dalam perspektif Islam.

Bagaimana konsep politik dipahami dalam Islam? Paling tidak ada dua jalur pendekatan untuk menjelaskan konseptualisasi Islam tentang politik. Pertama, pendekatan dari sudut teologi Islam. Doktrin sentral agama Islam adalah tauhid. Yaitu mengesakan Allah secara mutlak. Konsep tauhid bukan sekedar mengesakan Allah dalam beribadah ritual kepadanya, tetapi juga menjadikan Allah sebagai sumber segala sesuatu. Hanya Allah;ah pencipta, pengatur, pemelihara, penguasa, penetap huku dan sebagainya. Ikrar tauhid Islam bukan hanya meniadakan segala Tuhan sembahan selain Allah, melainkan juga menolak segala dominasi kekuasaan dan hokum yang tidak bersumber secara sah dari kehendak Allah, kehendak yang telah dinyatakan-Nya dalam firman-firman yang diwahyukan kepada NabiNya. Tauhid Islam juga menuntut pemeluknya agar menegakkan keadilan sesuai dengan prinsip-prinsip yang diajarkan wahyu Allah kepada mereka, mengajak manusia kepada kebajikan dan mencegah dari berbagai kekejian moral. Dengan demikian tauhid menuntut peran aktif seluruh lapisan masyarakat dalam mewujudkan hokum dan keadilan social. Karena itu kekuasaan dalam Islam bukanlah tujuan melainkan sekedar alat untuk merealisasikan hokum-hukum Allah dalam menegakkan keadilan yang hakiki. Masyarakat suatu Negara, dalam pandangan Islam tidak berhak merumuskan hukum dan tujuan kolektifnya yang bertentangan dengan tujuan-tujuan universal ilahi.

Masyarakat Islam mengabdi kepada tujuan-tujuan yang ditetapkan oleh Tuhan, yaitu tujuan yang lebih tinggi dari sekedar masyarakat. Oleh karena itu transendensi ganda ini, yakni transendensi masyarakat terhadap manusia dan transendensi Tuhan terhadap masyarakat, tidak ada suatu hirarki atau pemerasan manusia terhadap manusia (exploitation del’homme par ll’homme)….”

Dalam pandangan R. Garaudy, doktrin tauhid Islam memberi landasan bagi realisasi tiga konsep social yang pokok yaitu ekonomi, hokum dan politik. Dengan tauhid berarti hanya Allah yang memiliki, hanya Allah yang mengeluarkan hokum, dan hanya Allah yang memerintah. Implikasi dari rumusan-rumusan di atas meniscayakan masyarakat Islam selalu menghubungkan persoalan ekonomi, hokum dan politik dengan transendensi ilahiyah. Jika dalam bidang ekonomi Islam menolak hak kepemilikan seseorang atas kekayaan secara absolute dengan kebebasan penggunaannya secara mutlak sekalipun berdampak penghamburan dan merugikan orang lain, dalam bidang hokum Islam menolak kewenangan masyarakat merumuskan hukumnya sendiri tanpa batas-batas etika wahyu, maka dalam politik Islam menolak kekuasaan mutlak manusia atas manusia lainnya dengan alasan apapun. Ketaatan hanya dibenarkan kepada kekuasaan yang mengimplementasikan kebenaran dan keadilan yang diperintahkan Allah.

Memang diakui bahwa sumber Islam, Al Qur’an dan Hadits Nabi, tidak menentukan model pemerintahan atau Negara secara baku. Tetapi prinsip-prinsip Islam secara tegas bertentangan dengan model teokrasi dan demokrasi parlementer. Karena Islam tidak mengenal system kependetaan. Seorang khalifah atau Imam ditaati bukan karena kedudukannya yang suci sebagai wakil Tuhan di bumi. Ia tidak punya wewenang membuat hokum secara merdeka dan berdiri sendiri. Ia tidak lebih dari pemimpin bagi orang beriman dalam melakukan syariah yang mungkin keliru dan dapat dikritik dan bahkan diberhentikan manakala secara nyata melanggar prinsip-prinsip Islam yang utama atau nyata-nyata tidak mampu menunaikan tugasnya sebagai pemimpin orang beriman.

Salah satu ayat yang diyakini sebagai ayat terakhir yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad secara eksplisit menegaskan kesempurnaan agama Islam, “…pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu…”. Bagaimanapun ayat ini sangat kuat membentuk konsepsi pemikiran kaum muslimin dalam segala hal, tak terkecuali dalam bidang politik. Keyakinan akan kesempurnaan Islam menyebabkan kaum muslimin percaya diri bahwa segala persoalan kehidupan akan ditemukan solusinya dalam teks kitab suci dan hadits nabi. Sebaliknya mengabaikan kitab suci dalam merumuskan pemecahan masalah agama maupun social berarti telah mengingkari kesempurnaan ajaran Islam yang mesti mengacu kepada teks dan etika wahyu.

Kedua, pendekatan historis. Adalah fakta sejarah bahwa Nabi Muhammad bukan sekedar pemimpin spiritual dan imam shalat kaum muslimin yang membatasi wewenang keagamaannya hanya di seputar doa atau ibadah ritual. Tetapi juga memainkan peran sebagai seorang pemimpin politik dalam sebuah Negara yang majemuk. Dikatakan majemuk karena masyarakat yang dipimpin nabi terdiri dari berbagai suku dan klan, juga bukan kelompok muslim pengikut Nabi melainkan ada komunitas Yahudi dan muasyrikin Arab. Peran politik Nabi ini mulai tampak secara nyata sejak kedatangannya di Madinah. Sebagaimana diakui secara mantap oleh Huston Smith, walaupun ia mengimbuhi pernyataannya dengan kata “terpaksa”, bahwa Muhammad di Madinah “menunjukkan peran yang berbeda. Dari kenabian dia terpaksa menuju pemerintahan”. Mungkin yang dimaksud “terpaksa” dalam pernyataan Smith itu bahwa peran kepemimpinan politik Nabi Muhammad bukan sesuatu yang telah menjadi agenda perjuangan Nabi sebelumnya. Karena peran politik dipandang sebagai sesuatu yang di luar misi suci kenabian. Jika ini yang dimaksud, maka hakikatnya Smith menolak prinsip kesatuan politik (negara) dan agama dalam Islam. Hanya ia menolak lebih halus – dengan mengakui apa yang menjadi fakta sejarah hidup nabi bukan sebagai suatu ide yang murni lahir dari perintah wahyu – daripada apa yang dilakukan oleh Dr. Ali Abdul Raziq yang sama sekali mengingkari penyatuan peran risalah dan pemerintahan atau peran politik pada Nabi meskipun dalam tataran fakta sejarah. Dimana pada bukunya “Al Islam wa ushul al hukmu” dia menyatakan “…Muhammad Saw. tidak lain hanya seorang rasul yang murni mendakwahkan agama, tidak ada tendensi kekuasaan, tidak mendakwahkan dawlah. Nabi tidak memilih kerajaan dan pemerintahan, Nabi Saw. meletakkan dasar-dasar kerajaan mamlakah”.

Masih menurut Huston Smith, di Madinah, Nabi Muhammad bukan hanya mampu menjalankan peran politiknya itu melainkan secara sukses membuktikan diri sebagai “seorang negarawan yang ulung” dan “seorang politisi yang handal”. Dengan brilian beliau dapat mengatasi berbagai kesulitan sebagai konsekwensi mengurus Negara yang baru didirikannya dengan tetap menjalani kehidupan sederhana sebagaimana pada masa-masa penderitaannya.

Peran politik Nabi di Madinah benar-benar sesuatu yang dilakukan secara sadar dan terencana. Bukan sesuatu yang kebetulan atau keterpaksaan seperti yang dikatakan Smith. Hal ini dapat terlacak dari beberapa kebijakan dan keputusan Nabi dalam menjalankan kepemimpinannya. Pertama-tama Nabi membangun masjid sebagai pusat peribadatan utama kaum muslimin, yaitu shalat, yang pada gilirannya masjid juga jadi tempat dimana Nabi mengorganisir umat; menyampaikan pengajaran wahyu, bermusyawarah, menghimpun harta zakat kaum muslimin, menerima delegasi kenegaraan, mengeluarkan instruksi dan sebagainya. Kedua, mempersaudarakan kaum muhajirin dengan kaum anshar. Inilah peristiwa yang amat penting dimana secara legal formal Nabi Muhammad membangun sebuah ikatan kemasyarakatan di atas persaudraan iman yang melebihi kekuatan ikatan kekerabatan dan kesukuan yang merupakan tradisi social masyarakat Arab yang telah berurat berakar dalam dada mereka sebelum munculnya Islam. Ketiga, membuat perjanjian damai dengan suku-suku Yhudi dan Arab yang belum masuk Islam untuk hidup secara rukun dan saling menghormati dengan menjadikan Madinah sebagai tanah tumpah darah bersama yang harus dilindungi dari setiap rongrongan eksternal. Perjanjian yang dibuat Nabi Muhammad untuk mengatur hubungan kerjasama dengan semua komunitas dan unsur-unsur kekuatan masyarakat yang ada di Madinah ternyata tidak sesederhana lazimnya perjanjian damai biasa, tetapi memuat prinsip-prinsip aturan yang layak disebut sebagai konstitusi sebuah Negara. Oleh sebab itu tidak mengherankan jika para ahli Islam lebih suka mempopulerkan perjanjian ini sebagai piagam Madinah atau Konstitusi Madinah. Seorang ulama Pejuang Indonesia, H. Zaenal Abidin Ahmad, telah memberi ulasan cukup luas dengan mengutip berbagai pandangan sarjana muslim dan non muslim, dari timur maupun barat, lengkap dengan lampiran beberapa terjemahan bahasa dunia dalam sebuah buku yang diberinya judul “Piagam Nabi Muhammad, Konstitusi Negara Tertulis Yang Pertama di Dunia”.

Langkah-langkah yang diambil Nabi di atas, dan juga penggantian nama kota Yatsrib menjadi Madinah merupakan singkatan Madinat al Nabiy yang berarti kota Nabi, tidak bias diabaikan sebagai fakta sejarah tentang bukti-bukti pendirian pemerintahan baru dengan konsepsi yang mengacu kepada wahyu. Seperti yang dikemukakan oleh Robert N. Bellah, di Madinah Nabi telah membangun sebuah system politik yang bukan hanya sungguh-sungguh baru bagi bangsa Arab, tetapi benar-benar “sesuatu yang terlampau maju bagi organisasi politik Arab yang ada sebelumnya”. Ketika system politik itu secara structural diperluas oleh para khalifah rasyidah sepeninggalnya, maka yang terjadi adalah system pemerintahan yang “benar-benar modern untuk tempat dan masa itu”. Akhirnya system yang dibangun Nabi harus diakui sebagai “sebuah Negara dimana agama dan politik saling terkait erat”. Madinah sah dikatakan sebagai Negara dalam arti yang sesungguhnya mengingat semua persyaratan yang menyebabkan sebuah system masyarakat dikatakan Negara telah terpenuhi. Yaitu adanya wilayah dengan perbatasan tertentu, adanya penduduk yang terikat oleh hak dan kewajiban yang disepakati bersama, adanya pemerintah yang sah, dan adanya kedaulatan.

Sukses Nabi membangun system pemerintahan baru di Madinah dilanjutkan oleh para Khalifah sesudahnya dengan mengembangkan system politik Islam dan melakukan perluasan wilayah secara besar-besaran. Bersamaan dengan itu, jalan penyebaran dakwah Islam semakin licin dan terbuka. Tidak ada rintangan lagi bagi bangsa manapun untuk berbondong-bondong memeluk Islam. Karena hambatan-hambatan structural dan politis yang sering mengintimidasi psikologi masyarakat awam dalam menentukan pilihan keyakinannya telah berhasil dilumpuhkan oleh umat Islam yang telah tumbuh menjadi kekuatan alternative menggantikan imperium Romawi dan Persia yang sudah keropos. Keberhasilan kaum muslimin membangun imperium yang luas, maju dan tangguh memberi kesan yang kuat, bahwa mengutip kata-kata Nurcholis Madjid, “salah satu karakteristik agama Islam pada masa-masa awal penampilannya, ialah kejayaan di bidang politik”. “Kendati demikian…”, lanjut Nurcholis “sejarah mencatat dengan penuh kesedihan bahwa perpecahan, pertentangan dan bahkan penumpahan darah dalam tubuh umat Islam terjadi karena persoalan politik”.

Pernyataan Nurcholis di atas tentu saja harus dilengkapi bahwa kejayaan yang terpenting dalam pandangan dakwah Islam adalah keberhasilan menghancurkan akidah syirik yang telah menjadi dasar fenomena peradaban dunia saat itu. Adapun perpecahan politik yang terjadi kurang lebih dua puluh lima tahun sepeninggal Rasulullah, memang fakta sejarah yang mutawatir. Sepertinya telah menjadi takdir politik, bahwa bersama kedudukannya yang penting dalam masyarakat manusia, ia juga menyimpan potensi konflik yang besar. Banyak konflik social yang ditengarai sebagai konflik politik. Meskipin bukan berarti bahwa politik harus ditempatkan sebagai tertuduh dalam setiap konflik berdarah yang terjadi. Justru tujuan yang utama dari politik seharusnya “untuk menggantikan konflik berdarah dengan bentuk-bentuk perjuangan sipil yang lebih dingin”. Atau dengan ungkapan lain, “politik adalah konflik, akan tetapi juga pembatasan konflik, dan konsekwensinya suatu permulaan dari proses intergrasi.”

Konflik politik dengan batasannya seperti tersebut di atas adalah lumrah terjadi di sepanjang sejarah umat manusia. Kehidupan masyarakat manusia mempunyai hokum tersendiri, mengenai integrasi dan konflik sebagai salah satu karakter social yang abadi. Umat Islam tidaklah dikecualikan dari karakter social yang bersifat umum ini. Jika konflik dan integrasi adalah hukum yang abadi dalam bingkai hukum kasualitas social, maka suatu keniscayaan bahwa factor-faktor penyebabnya berasal dari akar masalah yang sama dengan pengecualian-pengecualian yang bersifat temporal dan local atau masalah-masalah yang khusus pada suatu umat. Dengan demikian, konflik social merupakan sesuatu yang hanya dapat dikaji sebagai fakta yang telah terjadi, tetapi juga dapat dicegah dengan mengantisipasi sebab-sebab yang dapat diandaikan sebelumnya.

Konflik politik di tubuh umat Islam – sebagaimana juga di tubuh umat agama lain – adalah fakta sejarah yang tidak dapat dipungkiri. Sebagai hokum social, fakta sejarah itu adalah hal yang manusiawi dan wajar saja terjadi. Tetapi secara doctrinal, konflik politik di tubuh umat Islam adalah masalah besar yang patut diratapi, mengingat salah satu doktrin social Islam yang utama dan penting adalah menekankan wajibnya persatuan dan persaudaraan serta mengharamkan perselisihan dan perpecahan. Banyak sekali ayat Al Qur’an maupun hadits Nabi Muhammad Saw. yang secara eksplisit mengecam perselisihan dan perpecahan. Di antara ayat yang popular di tengah kaum muslimin adalah firman Allah,

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatNya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.

Al Qur’an menegaskan kewajiban bersatu dan mengecam perpecahan sebagai sesuatu yang tercela bukan hanya dari tinjauan religius, tetapi juga secara social bagi kaum muslimin. Umat manapun akan sangat dirugikan oleh perselisihan dan perpecahan di dalam tubuhnya sendiri, apalagi bagi kaum muslimin yang dipercayakan membawa misi perdamaian dan rahmat bagi segenap umat manusia.

Salah satu dampak buruk berpecah belah disebutkan oleh Al Qur’an yaitu “akan menimbulkan rasa takut dalam menghadapi musuh dan hilangnya kekuatan”. Ini dalam mengingatkan bahayanya konflik. Sedang jika konflik itu telah terjadi, maka Al Qur’an mendorong agar dilakukan rekonsiliasi atau perdamaian yang sesungguhnya.

Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.

Pada ayat selanjutnya Al Qur’an mengingatkan juga bahwa “orang mukmin itu bersaudara, maka damaikanlah antara kedua saudaramu…” maka sepatutnyalah konflik sekecil apapun ditubuh umat harus diatasi dan didamaikan. Al Qur’an dengan nada menasehati, merinci berbagai sikap pergaulan yang buruk yang dapat memicu konflik dan karenanya harus dijauhi dalam masyarakat muslim. Seperti memandang rendah martabat kelompok lain atas dasar perbedaan warna kulit, bahasa dan lainnya; memberikan gelar-gelar atau stigma buruk kepada kelompok lain; banyak berburuk sangka atau prasangka kepada kelompok di luar dirinya; mencari-cari kesalahan orang lain untuk menjatuhkan kredibilitasnya di depan public; menyebarluaskan keaiban pihak lain; dan sebagainya. Meskipun demikian, Al Qur’an mengakui adanya perselisihan yang wajar dan alami serta manusiawi dimana manusia tidak mungkin dapat menghindarinya kecuali mereka yang dipersatukan dengan rahmat Allah.

Umat Islam sebenarnya telah dididik terbiasa dengan perbedaan pendapat yang sehat dalam persoalan-persoalan agama yang bersifat ijtihadiyah dan tidak menjadi penyebab perpecahan, tetapi lain halnya ketika perselisihan itu menyangkut kepentingan politik, ia jadi pemicu konflik yang berbahaya.

Konflik politik intern generasi salaf sudah mulai nampak sejak wafatnya Nabi Muhammad, dimana tejadi perdebatan sengit antara kaum Muhajirin yang diwakili diantaranya Abu Bakar, Umar dan Abu Ubaidah bin Jarrah dengan kaum Anshar yang diwakili oleh Sa’ad bin Ubadah, Hubab bin Mundzir dan Basyir bin Sa’ad mengenai siapa yang lebih berhak menjadi pemimpin sepeninggal beliau. Sementara itu pihak keluarga Nabi yang juga merasa berhak menjadi pemimpin sepeninggal beliau, yaitu Ali dan Abbas, karena alasan tertentu tidak dilibatkan. Namun kedewasaan dan kebijakan sikap para tokoh sahabat yang terbina baik oleh Nabi, mampu mengatasi konflik itu dengan mulus sehingga tidak menjurus kepada tindakan kekerasan dan perpecahan umat. Meskipun kemudian diikuti dengan peristiwa pembangkangan dari beberapa suku Arab atas kepemimpinan Abu Bakar dan Quraesy pada umumnya yang diekspresikan dengan penolakan mereka menyerahkan pembayaran zakat kepada Abu Bakar dan sebagian lagi kepala sukunya mendeklarasikan kenabian berpindah dari Quraesy kepada mereka seperti yang dilakukan oleh Malik bin Nuwairah, Tulaihah bin Khuwailid Al Asadi dan Aswad Al ‘Insi. Walaupun peperangan Abu Bakar menumpas para pembangkang zakat dan para nabi palsu itu dipastikan sarat dengan muatan konflik politis dari kedua belah pihak, tetapi isu yang mengemuka dan opini umum yang diterima oleh masyarakat Islam Madinah yang masih berduka atas kepergian Nabi, bahwa peperangan itu menundukkan orang-orang yang murtad dan menentang kewajiban agama.

Suasana harmonis dan kondisi politik yang mantap mencapai puncaknya pada masa kepemimpinan Khalifah Umar dan tahun-tahun pertama kekhalifahan Utsman bin Affan. Tetapi memasuki tujuh tahun dari kepemimpinannya, isu-isu controversial menyangkut kebijakan Khalifah muali santer. Pendistribusian kekayaan Negara serta pengangkatan pejabat-pejabat propinsi yang dinilai nepotisme adalah rumor-rumor yang menyebarluas di kawasan Islam yang pada akhirnya menyulut konflik berdarah di tubuh umat. Khaliah Utsman mengakhiri kepemimpinannya dengan dibunuh para demonstran, dan Ali menggantikannya dalam situasi yang genting. Dukungan yang tidak bulat terhadap Ali dari senior-senior sahabat yang masih ada, memberikan peluang keberanian kepada Muawiyah, Gubernur Syam yang juga kerabat dekat Utsman, untuk menentang kepemimpinan Ali dengan dalih menuntut dituntaskan dulu kasus pembunuhan Utsman secara hokum. Konflik berdarah tak dapat dihindari oleh Ali dan Aisyah di perang Jamal dan dengan Muawiyah di perang Shiffin.

Sejak itu perebutan kekuasaan di kalangan tubuh umat Islam tidak pernah padam. Pembunuhan Ali yang dilakukan oleh kaum Khawarij, bukan hanya mengakhiri kekuasaan Ali melainkan mengakhiri pula system kekhalifahan Islam yang berdasarkan musyawarah. Berkuasanya Muawiyah menjasi pemimpin sentral kaum muslimin setelah berhasil menekan Hasan bin Ali menyerahkan kekuasaan yang dipegangnya sepeninggal ayahnya sebagai jalan darurat menuju kesatuan kembali kaum muslimin setelah berlarut-larut dalam perang saudara, ternyata mematikan kekhalifahan yang mendasarkan kepemimpinan atas dasar pemilihan. System pemerintahan dinastipun dimulai.

Tapi sepanjang pemerintahan dinasti Umayah, pemberontakan dari kaum Syi’ah dan Khawarij terus terjadi, hingga akhirnya dihancurkan sama sekali oleh pasukan Bani Abbas yang menggantikannya. Sepanjang kekuasaan Bani Abbas, tragedi berdarah terus mewarnai jagat politik dunia Islam saat itu. Meskipun tidak selalu dalam bentuk konflik berskala besar dan terbuka. Dengan tidak melupakan berbagai kemajuan di bidang perkembangan ilmu pengetahuan, ekonomi, ekspansi militer dan penyebarluasan dakwah Islam yang dicapai oleh kedua dinasti itu, sejarah tetap mencatat bahwa konflik politik internal di tubuh umat Islam kerapkali terjadi. Kenyataan itu memaksa setiap peneliti agar memilah antara doktrin atau cita-cita ideal Islam tentang kedamaian dan persatuan umat dengan realitas social-politik yang dihadapi para pemimpin politik Islam saat itu. Realitas mana juga sangat dipengaruhi dan berkaitan erat dengan kebijakan-kebijakan yang diambil oleh para penguasa itu sendiri. Lebih jauh lagi kita harus berusaha menggali dan menemukan akar permasalahan dari konflik-konflik itu. Sehingga dapat terjelaskan bagaimana pemahaman tertentu atas doktrin agama (Islam) dapat menjadi pemicu konflik, dan di sisi lain, bagaimana peranan pemahaman atas sumber ajaran agama dalam mengendalikan, memberikan landasan antisipasi, sekaligus memberi solusi bagi pemecahan konflik politik yang terjadi pada para pelakunya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

;