Yayasan Raudlatul Makfufin

Memahami Pengertian Perkawinan (Fasakh)

Pengertian batalnya perkawinan yaitu “rusaknya hukum yang ditetapkan terhadap suatu amalan seseorang, karena tidak memenuhi syarat dan rukunnya, sebagaimana yang ditetapkan oleh syara”.

Selain tidak memenuhi syarat dan rukun, juga perbuatan itu dilarang atau diharamkan oleh agama. Jadi, secara umum, batalnya perkawinan yaitu “rusak atau tidak sahnya perkawinan karena tidak memenuhi salah satu syarat atau salah satu rukunnya, atau sebab lain yang dilarang atau diharamkan oleh agama”.

Batalnya perkawinan atau purusnya perkawinan disebut juga dengan fasakh. Yang dimaksud dengan memfasakh nikah adalah memutuskan atau membatalkan ikatan hubungan antara suami dan istri.

Fasakh bisa terjadi karena tidak terpenuhinya syarat-syarat ketika berlangsung akad nikah, atau karena hal-hal lain yang datang kemudian dan membatalkan kelangsungan perkawinan.

 

  1. Fasakh (batalnya perkawinan karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi ketika akad nikah.
  1. Setelah akad nikah, ternyata diketahui bahwa istrinya adalah saudara kandung atau saudara sesunan pihak suami.
  2. Suami istri masih kecil, dan diadakannya akad nikah oleh selain ayah atau datuknya. Kemudian setelah dewasa ia berhak meneruskan perkawinannya yang dahulu atau mengakhirinya. Cara seperti ini disebut khiyar baligh. Jika yang dipilih mengakhiri ikatan suami istri maka hal ini disebut faakh baligh.
  3. Bila salah satu seorang dari suami istri murtad atu keluar dari agama Islam dan tidak mau kembali sama sekali, maka akadnya batal (fasakh) karena kemurtadan yang terjadi belakangan.
  4. Jika suami yang tadinya kafir masuk islam, tetapi istri masih tetap dalam kekafirannya yaitu tetap menjadi musyrik, maka akadnya batal (fasakh). Lain halnya kalau istri orang ahli kitab, maka akadnya tetap sah seperti semula. Sebab perkawinannya dengan ahli kitab dari semulanya dipandang sah.
  1. Fasakh karena hal-hal yang datang setelah akad.

 

B. Memahami Sebab-sebab Terjadinya Fasakh (Batalnya Perkawinan)

Selain hal-hal tersebut di atas ada juga hal-hal lain yang menyebabkan terjadinya fasakh. Yaitu sebagai berikut:

  1. Karena ada balak (penyakit belang kulit). Dalam kaitan ini, Rasullulas bersabda dari Ka‘ab bin Zaid ra. Bahwasannya Rasulullah SAW pernah menikahi seorang perempuan bani Gifa. Maka tatkala ia akan bersetubuh dan perempuan itu telah meletakkan kainnya dan ia duduk di atas pelaminan, kelihatanlah putih (balak) di lambungnya, lalu beliau berpaling (pergi dari pelaminan itu) seraya berkata: Ambilah kainmu, tutuplah badanmu, dan beliau tidak menyuruh mengambil kembali barang yang telah diberikan kepada perempuan itu.
  2. Karena gila.
  3. Karena penyakit kusta.
  4. Karena ada penyakit menular, seperti sipilis, TBC dan lain sebagainya.
  5. Karena ada daging tumbuh pada kemaluan perempuan yang menghambat maksud perkawinan (bersetubuh).
  6. Karena “anah (zakar laki-laki impoten, tidak hidup untuk jima’) sehingga tidak dapat mencapai apa yang dimaksudkan dengan nikah.

Di samping itu, fasakh juga bisa terjadi oleh sebab-sebab berikut:

  1. Perkawinan yang dilakukan oleh wali dengan laki-laki yang bukan jodohnya, umpamanya: budak dengan merdeka, orang pezinah dengan orang terpelihara, dan sebagainya.
  2. Suami tidak mau memulangkan istrinya, dan tidak pula memberikan belanja sedangkan istrinya itu tidak rela.
  3. Suami miskin, setelah jelas kemiskinannya oleh beberapa orang saksi yang dapat dipercaya, sehingga ia tidak sanggup lagi memberi nafkah, baik pakaian yang sederhana, tempat, ataupun emas kawinnya belum dibayarkan sebelum campur.
  4. Pelaksanaan Fasakh (pembatalan perkawinan).

Apabila terdapat hal-hal atau kondisi penyebab fasakh yaitu jelas, dan dibenarkan syara’, maka untuk menetapkan fasakh tidak diperlukan putusan pengadilan. Misalnya, terbukti bahwa suami istri masih saudara kandung, atau saudara sesusuan.

Akan tetapi jika terjadi hal-hal seperti berikut, maka pelaksanaannya adalah:

  1. Jika suami tidak memberi nafkah bukan karena kemiskinannya, sedangkan hakim telah pula memaksa dia untuk itu, maka dalam hal ini hendaklah diadukan terlebih dahulu kepada pihak yang berwenang, seperti qadi nikah di pengadilan agama, supaya yang berwenang dapat menyelesaikannya sebagaimana mestinya, sebagaimana dijelaskan dalam suatu riwayat berikut:

Yang artinya dari Umar ra. Bahwa ia pernah berkirim surat kepada pembesar-pembesar tentara tentang laki-laki yang telah jauh dari istri-istri mereka supaya pemimpin-pemimpin itu menangkap mereka, agar mereka mengirimkan nafkah atau menceraikan istrinya. Jika mereka telah menceraikannya hendaklah mereka kirim semua nafkah yang telah mereka tahan.

 

  1. Setelah hakim memberi janji kepada suami sekurang-kurangnya tiga hari, mulai dari hari istri itu mengadu. Jika masa perjanjian itu telah habis, sedangkan si suami tidak juga dapat menyelesaikannya, barulah hakim memfasakhkan nikahnya. Atau dia sendiri yang memfasakhkan di muka hakim setelah diizinkan olehnya. Rasulullah SAW bersabda:

Yang artinya dari Abu Hurairah ra. Rasulullah SAW bersabda tentang laki-laki yang tidak memperoleh apa yang akan dinafkahkannya kepada istrinya, bolehlah keduanya bercerai (HR. Daruquthni dan Al’Baihaqi).

 

Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila:

  1. Seorang suami melakukan poligami tanpa izin pengadilan agama.
  2. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi istri pria lain yang mafqud.
  3. Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam ‘iddah dari suami lain.
  4. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan, sebagaimana ditetapkan dalam pasal 7 UU No. 1 tahun 1974.
  5. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak.
  6. Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.

 

Yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan adalah:

  1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atau istri.
  2. Suami atau istri.
  3. Penjabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut undang-undang.
  4. Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum islam dan peraturan perundang-undangan sebagaimana tersebtu dalam pasal 67.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

;