Mendidik remaja, memang tidak semudah mendidik balita. Walau demikian, mendidik remaja di era teknologi lebih sulit dibanding remaja yang belum akrab dengan teknologi
Anak merupakan anugerah yang tidak ternilai harganya. Bersyukurlah bagi yang Allah karuniai anak, karena anak menjadi salah satu jalan bagi orangtuanya untuk ke surga. Sebaliknya, jika orangtua tidak mendidiknya dengan baik, dan menjadikannnya durhaka kepada Allah SWT, maka anak yang sangat disayangi itu menjadi jalan ke neraka. Na’udzubillah.
Memiliki anak usia balita, memang menyenangkan. Berbagai kesusahan seperti merawat, mendidik, menjaga, dan lain-lainnya akan sirna tatkala melihatnya tumbuh sehat, pintar, dan tersenyum menggemaskan. Namun, perasaan itu akan berbeda ketika sang anak mulai beranjak remaja. Rasa was-was tidak bisa terhindarkan dari hati para orangtua manapun.
Mendidik anak bukanlah perkara mudah. Tidak semudah membalikkan telapak tangan. Proses panjang, ilmu yang tidak hanya alakadarnya, menjadikan proses pendidikan tersebut memerlukan kesabaran tiada bertepi. Terlebih pada anak remaja. Untuk menjadikannya berakhlak mulia, diperlukan proses disertai pengetahuan dan cara tepat untuk mendidik anak sesuai karakter dan usianya.
Saat Usia Remaja
Dalam Islam, fase remaja dimulai sejak usia baligh yakni usia 13-22 tahun pada laki-laki sedangkan pada perempuan, 12-21 tahun. Biasanya fase remaja ini akan berakhir kisaran usia 18-20-an. Pada fase ini anak mengalami beberapa perubahan, baik fisik maupun psikologisnya, khususnya perubahan hormon. Perubahan hormon menyebabkan perubahan mood/suasana hati. Kadang-kadang anak bersemangat terhadap sesuatu hal, tapi lain waktu ia tidak bersemangat dan menyukai hal lain. Selain itu, anak pun menjadi lebih sensitif dan mudah tersinggung.
Secara fisik, anak mengalami perubahan pada tubuhnya, sedangkan secara psikologis, remaja pada fase ini mengalami masa pubertas. Masa ini cenderung dirasa sulit bagi anak, maka tidak jarang ditemukan sifat-sifat yang tak biasa seperti sulit diatur, butuh perhatian lebih, tidak semangat belajar, dan lain sebagainya. Berbagai kegiatan kontraproduktif pun dilakukan sebagai ekspresi dari gejolak jiwanya.
Nah, di sinilah peran orangtua sangat dibutuhkan. Orangtua yang cerdas, perhatian, dan peka sangat dibutuhkan untuk mengatasi kegalauan anak remajanya. Orangtua demikian akan sangat dibutuhkan oleh mereka. Dengan berbagai “jurus” andalannya, orangtua akan memberikan pelayanan yang prima untuk buah hatinya, sehingga sang anak merasa nyaman dan merasakan keberadaan orangtuanya. Hal ini membuat anak tidak perlu lagi mencari sosok lain untuk mengatasi kegalauannya. Karena di matanya, orangtuanya adalah sahabat untuknya.
Usia remaja juga disebut sebagai masa pencarian jati diri. Karenanya, pada usia tersebut sangat diperlukan pendampingan khusus dari orangtua agar anak tidak “tersesat”. Menurut Ninih Muthmainnah (Teh Ninih), ada tiga kekurangan orangtua saat mendidik anak remajanya.
Pertama, kurang waktu. Selain menjadi lebih dekat dengan orangtuanya, waktu efektif yang diberikan orangtua kepada anaknya dapat membuat anak senang. Anak merasa diperhatikan dan berpikir bahwa orangtuanya akan selalu ada untuknya.
Kedua, kurang ilmu. Jika ada waktu lebih untuk anak, alangkah lebih baiknya jika ditambahkan dengan ilmu. Menurut Teh Ninih, salah satu contoh kurangnya ilmu yakni suka membandingkan anak yang satu dengan yang lainnya. “Misalnya membandingkan seorang adik dengan kakaknya di hadapan keduanya. Bisa-bisa nanti ada dengki di antara mereka,” tuturnya.
Ketiga, kurang contoh. Anak usia remaja sangat membutuhkan figur yang nyata dalam kehidupan sehari-harinya. Dalam keluarga, ibu dan ayah adalah contoh nyata bagi anak tersebut. “Kalau anak marah-marah, seharusnya kita introspeksi diri. Jangan-jangan ibunya yang suka marah-marah sehingga anak mencontoh perilaku tersebut,” tambah Teh Ninih.
Remaja Era Digital
Mendidik remaja, memang tidak semudah mendidik balita. Walau demikian, mendidik remaja di era teknologi lebih sulit dibanding remaja yang belum akrab dengan teknologi. Perkembangan dunia teknologi saat ini membuat segala sesuatu menjadi mudah. Manusia dimanjakan dengan kecanggihan teknologi dan kemudahan-kemudahan yang ditawarkannya. Adapun remaja dapat menjadi salah satu korban dari kemajuan teknologi tersebut.
Saat remaja sudah kenal dengan gadget, maka ia akan lebih senang menghabiskan waktu bersama gadget dibandingkan dengan orangtuanya. Ia pun lebih dekat dengan gadget dibandingkan dengan orangtuanya. Ia lebih sedih kehabisan kuota internet dibanding kehabisan uang jajan. Hal inilah yang akan terjadi jika gadget sudah menguasai kehidupannya. Tanpa pengawasan orang tua, anak dengan bebas mengakses apapun yang membuatnya terlena dan terjerumus.
Hal ini senada dengan pernyataan Ustaz Felix Siauw, penulis buku Al-Fatih. Menurutnya, generasi yang sudah terlatih dengan internet dan hidup di era digital memiliki saah satu ciri sebagai berikut: Mereka lebih banyak menghabiskan uang untuk paket data, daripada untuk membeli makan. Mereka ternyata lebih suka kehilangan pendengaran daripada kehilangan koneksi internet, dan mereka akan lebih banyak menghabiskan waktunya untuk dunia online.
Dalam hal ini, orangtua diharuskan tidak mau kalah dengan anaknya. Pengetahuan yang dimiliki harus melebihi pengetahuan anak-anaknya agar orangtua tidak kalah dan tidak bisa dibohongi oleh anak-anaknya. Terlebih jika anak sudah kenal dengan pacaran. Mau tidak mau orangtua harus lebih ekstra hati-hati dan “melindungi” anak-anaknya secara ekstra pula.
Boleh dikatakan saat ini dunia maya lebih berbahaya daripada dunia nyata. Banyak kejahatan bermula dari dunia maya. Serangannya pun dilakukan dari berbagai arah dan tidak terlihat secara kasat mata.
Menurut Ustaz Felix, ada dua cara untuk mencegah anak terpuruk di dunia maya. Cara pertama, orangtua harus paham tentang cara-cara komunikasi yang terjadi di antara anak muda sekarang. Jadi, orangtua bisa memonitor anak-anaknya. Bagaimana caranya?
Orangtua harus sedikit banyak mengerti teknologi itu seperti apa, bagaimana mereka berkomunikasi satu sama lain, dan tahu siapa saja teman-temannya sehingga pengawasan terhadap anak bisa maksimal dilakukan. Orangtua bisa mendeteksi secara dini, kesalahan yang dilakukan oleh anak-anaknya.
Cara kedua, sadari bahwa orangtua tidak hanya memberi makan, tapi juga menjadi perantara Allah untuk membimbing kehidupan mengenal-Nya. Orangtua tidak hanya mendidik, tetapi juga mengawal, membimbing, dan menemani setiap aspek kehidupannya. Ya, posisikan diri untuk menjadi sahabat bagi mereka. Menjadi orangtua sahabat remaja.