Sutrah adalah sesuatu yang dijadikan oleh seorang yang shalat di depannya sebagai pembatas antaranya dengan orang yang lewat di depannya. Perintah Bersutrah Ketahuilah wahai saudaraku yang mulia—semoga Alloh menambahkan ilmu bagimu—bahwasanya Nabi صلى الله عليه وسلم selalu menjadikan sutrah dalam shalatnya, baik ketika safar ataupun tidak, di bangunan atau tanah lapang, di masjid, di rumah, dan sebagainya. Beliau terkadang bersutrah dengan tembok, tiang, ranjang, pelepah kurma, dan sebagainya. Tak hanya itu, Nabi صلى الله عليه وسلم juga memerintahkan secara lisan sebagaimana tertera dalam banyak hadits, di antaranya:
عَنِ ابْنِ عُمَرَقَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ: لاَ تُصَلِّ إِلاَّ إِلىَ سُتْرَةٍ وَلاَ تَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْكَ، فَإِنْ أَبىَ فَلْتُقَاتِلْهُ فَإِنَّ مَعَهُ الْقَرِيْنَ
Dari Ibnu Umar رضي الله عنهما berkata: Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda, “Janganlah engkau shalat kecuali menghadap sutrah dan janganlah engkau biarkan seorangpun lewat di depanmu. Apabila dia enggan, maka perangilah karena sesungguhnya bersamanya ada qarin (setan).” (HR. Muslim 260)
عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ: إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيُصَلِّ إِلىَ سُتْرَةٍ وَالْيَدْنُ مِنْهَا وَلاَ يَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا فَإِنْ جَاءَ أَحَدٌ يَمُرُّ فَلْيُقَاتِلْهُ فَإِنَّهُ شَيْطَانٌ
Dari Abu Sa’id Al-Khudri رضي الله عنه berkata: Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda, “Apabila salah seorang di antara kalian melakukan shalat, maka hendaknya dia bersutrah dan mendekat kepadanya. Dan janganlah dia membiarkan seorangpun lewat di depannya, apabila dia enggan maka perangilah karena dia adalah setan.”(HR. Abu Dawud 697, Ibnu Majah 954, dan lainnya dengan sanad hasan)
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلىَ سُتْرَةٍ فَلْيَدْنُ مِنْهَا لاَ يَقْطَعُ الشَّيْطَانُ عَلَيْهِ صَلاَتَهُ. وَفيِ لَفْظٍ عِنْدَ ابْنِ خُزَيْمَةَ: إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَتِرْ وَلْيَقْتَرِبْ مِنَ السُّتْرَةِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْهِ
Dari Sahl bin Abu Hatsmah رضي الله عنه dari Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda, “Apabila seorang di antara kalian shalat menghadap sutrah, maka hendaknya dia mendekat pada sutrah, janganlah setan memotong shalatnya.” (Shahih. Riwayat Ibnu Abi Syaibah 1/279, Ahmad 4/2, Abu Dawud 695, dan lain-lain). Dan dalam lafazh Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya 2/10, “Apabila salah seorang di antara kalian shalat, maka hendaknya dia bersutrah dan mendekat padanya, karena setan lewat di depannya.”
Hadits-hadits di atas menjelaskan secara gamblang disyari’atkannya bersutrah, baik dia imam atau shalat sendirian, dan baik di bangunan atau tanah lapang sebagaimana disepakati oleh para ulama, seperti dinukil oleh Ibnu Rusyd dalam Bidayah Al-Mujtahid 1/116, Ibnu Hazm dalam Maratibul Ijma’ hal. 30, Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid 4/197, An-Nawawi asy-Syafi’i dalam Al-Majmu’ 3/209, Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni 2/237, dan As-Saffarini dalam Syarh Tsulatsiyat Ahmad 2/786. Bahkan lebih dari itu, sebagian ulama berpendapat wajibnya bersutrah sebagaimana madzhab Imam Ahmad, Abu Awanah, Ibnu Habib Al-Maliki, Ibnul Majisyun, Mutharrif, Mahmud As-Subuki, Al-Albani, dan lainnya. (Lihat Ithaf Al-Ikhwah bi Ahkam Shalat ila Sutrah hal. 102-113, Farikh bin Shalih Al-Bahlal)
Berkata Imam Asy-Syaukani رحمه الله tatkala mengomentari hadits Abu Sa’id رضي الله عنه di atas, “Hadits ini menunjukkan bahwa bersutrah hukumnya wajib.” (Nailul Authar 2/4). Beliau juga berkata, “Zhahir perintah menunjukkan wajib, kalau memang dijumpai dali yang memalingkannya kepada sunnah, maka hukumnya sunnah.” (Sailul Jarrar 1/176)