Amal Wakaf Mengalir Sepanjang Masa

Wakaf adalah syari’at Islam yang dipraktikan oleh Rasulullah, diikuti para sahabat dan umat Muslim sampai saat ini. Amalan wakaf tidak hanya bermanfaat bagi penerima saja, namun juga menjadi ladang sumur pahala bagi pemberinya sepanjang masa tanpa terputus. Terlebih, apabila manfaat wakaf dapat terus memberikan manfaat, maka pahalanya akan terus mengalir.

Ibadah wakaf adalah seumpama buah dengan rasa yang manis dimana biji dari buah dapat ditanam lagi di lahan yang berbeda untuk menumbuhkan pohon-pohon dan buah-buahnya yang baru. Siklus ini terus berputar tanpa terputus. Seperti itulah perumpamaan pahala orang-orang yang mengambalkan syari’at wakaf.

Seiring berkembangnya zaman, model-model wakaf juga turut berkembang. Diantaranya adalah wakaf al-Qur’an braille yang dapat memberikan manfaat di dunia tunanetra. Al-Quran braille secara khusus diperuntukkan bagi tunanetra Muslim. Al-Qur’an braille ditulis dengan titik-titik timbul dengan ukuran huruf yang tidak dapat diperkecil, ataupun diperbesar. Dalam pencetakannya, 1 juz al-Qur’an braille dijilid menjadi 1 volume/buku sehingga, dengan demikian, 1 al-Qur’an braille 30 juz terdiri dari 30 buku/volume al-Qur’an. Dengan volume produksi yang lebih besar, pencetakan 1 al-Qur’an braille membutuhkan durasi waktu yang lebih lama.

Penyimpanan al-Qur’an braille juga tidak boleh menumpuk. Hal ini akan menyebabkan titik-titik huruf yang menonjol menjadi hilang dan tidak teraba. Oleh karena itu, kertas yang dipakai untuk pencetakan al-Qur’an braille perlu cukup tebal. Apabila kertas yang dipakai terlampau tipis, saat dicetak kertas tersebut akan berlubang, atau daya tahan timbul dari titik-titik tersebut tidak akan bertahan lama. Tidak mengherankan apabila biaya pencetakan al-Qur’an bisa jauh berkali-kali lipat lebih mahal dibandingkan dengan mushaf al-Qur’an yang biasa dipakai oleh orang-orang berpenglihatan.

Al-Qur’an adalah pentunjuk dari Allah yang menjadi obor penerang bagi manusia dalam menjalani kehidupannya. Tanpa al-Qur’an, manusia akan kehilangan arah, dan hatinya menjadi kering dari nilai-nilai luhur ajaran Islam. Di Yayasan Raudlatul Makfufin, ada sebuah slogan yang masyhur di kalangan tunanetra: “Buta mata tapi tidak buta hati.” Meskipun mata tidak melihat, tapi mata hati tetap dapat melihat melalui cahaya al-Qur’an. Dasar ini yang mendorong Yayasan Raudlatul Makfufin untuk terus mengembangkan program wakaf al-Qur’an yang akan disebarkan ke seluruh penjuru Indonesia.

Rasulullah bersabda: “Ada 7 perkara yang pahalanya mengalir bagi seorang hamba di dalam kuburnya setelah kematiannya: Orang yang mengajarkan ilmu, mengalirkan air sungai, membuat sumur, menanam pohon kurma, membangun masjid, mewariskan mushaf al-Quran, anak yang memintakan ampunan untuknya setelah kematiannya.” (Shahih al-Jami’ 3602 dan Shahih at-Targhib 2600)

 

***Windra

 

Santri Tunanetra Menjalankan Ibadah Ramadhan

Hati senang sekali dapat bertemu kembali dengan bulan suci ramadhan. Dimana beberapa saat lagi
seluruh umat Islam di dunia dan khususnya di Indonesia. Melaksanakan ibadah puasa wajib bagi yang mampu menjalankannya. Tentunya tanpa terkecuali, selama tak ada halangan yang dibenarkan oleh syariat tetap harus melakukan ibadah tersebut. Termasuk tunanetra, juga harus menunaikan ibadah puasa ramadhan. Jika kondisi jasmaninya memang memungkinkan untuk menjalaninya. Karena siapapun orangnya baru dibolehkan tak melaksanakan puasa di bulan ramadhan apabila sedang sakit, dalam perjalanan jauh dan sebagainya. Mau dia tunanetra ataupun bukan jika ada di dalam kreteria tersebut, dibolehkan untuk tak berpuasa. Tetapi tetap harus menggantinya sejumlah hari yang ditinggalkannya, di bulan lain.

Puasa di bulan ramadhan merupakan ibadah wajib untuk setiap umat Islam, dimanapun tempat tinggalnya. Demikian juga dengan tunanetra, yang mempunyai keterbatasan dalam penglihatan. Namun jika fisiknya atau tak mempunyai riwayat sakit apapun seperti magh misalnya, juga harus melaksanakan ibadah tersebut. Sesuai apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW, terhadap sahabatnya Ummi Maktum. Dimana beliau adalah seorang tunanetra, yang hidup pada zaman Rasulullah. Tetapi Ummi Maktum tetap melaksanakan ibadah puasa di bulan ramadhan dan Rasulullah tak melarangnya mengetahui hal itu. Selama menunaikan ibadah puasa Ummi Maktum, juga sama dengan sahabat yang lainnya sejak pagi hingga waktu maghrib tiba. Jadi tak ada kompensasi untuk Ummi Maktum, dari mulai jadwal jam maupun jumlah harinya tetap sama dengan apa yang telah ditetapkan. Semangat tersebut yang ditiru oleh sahabat santri tunanetra muslim di Raudlatul Makfufin. Hal tersebut dapat diketahui jelas dari raut wajah para santri Makfufin, dalam menyambut momen bahagia yang ditunggu-tunggu yakni bulan suci ramadhan. Setiap selesai shalat subuh, secara bergantian kuliah tujuh menit Kultum selama bulan ramadhan. Dan membaca Al-quran bersama-sama sebelum waktu buka tiba. Dari kegiatan tersebut diharapkan agar nanti sahabat-sahabat tunanetra muslim yakni para santri Raudlatul Makfufin. Dapat mengaplikasikan apa yang telah dipelajarinya di tengah-tengah masyarakat. Lantaran selama tenggelam dalam arus pembelajaran para sahabat santri tunanetra Raudlatul Makfufin, bukan hanya diberikan ilmu duniawi saja. Tetapi pembekalan untuk menuju akhiratpun tak ditinggalkan. Karena setiap perjalanan hidup manusia akan berhenti di ujung cerita jalan kehidupan.

Bulan ramadhan merupakan ajang berlomba-lomba melakukan hal kebaikan, yang dimana segala amal
dilipat gandakan. Sampai-sampai tidur juga mempunyai nilai ibadah. Apalagi dalam membaca Al-quran. Sehingga tak sedikit orang berusaha untuk menghatamkan keseluruhan isi Al-quran, juz 1 sampai juz 30 selama satu bulan penuh. Demikian juga dengan sahabat-sahabat santri tunanetra yang ada di Raudlatul Makfufin. Mereka juga tak mau ketinggalan sama teman-teman awas, yang notabennya dapat melihat. Dengan huruf arab braille, sahabat santri tunanetra di Raudlatul Makfufin. Melakukan hal yang sama membaca arab braille huruf demi huruf, berusaha untuk menghatamkan isi Al-quran, juz 1 hingga juz 30. Setiap sore sampai menjelang waktu buka puasa tiba. Membaca dengan bersama-sama walau surat dan juznya berbeda sesuai apa yang telah dipelajarinya dari ustad dan ustazah. Tetapi keterbatasan penglihatan tak menjadi penghalang bagi sahabat santri tunanetra yang ada di Raudltul Makfufin tersebut. Bisa karena mau belajar, namun tak bisa karena tak belajar. Semangat yang terus menyala dapat di lihat dari gerakkan jari, menelusuri huruf arab braille. Dan lembaran kertas di balik untuk berpindah antar surat maupun ayat. Selain itu kehangatan kebersamaan di antara sahabat-sahabat seperti di tengah-tengah keluarga sendiri. Jadi dalam melaksanakan ibadah puasa di bulan ramadhan, di lalui dengan diwarnai hati yang gembira. Memang sebaiknya seperti itu, tetap berjalan sesuai tenaga yang dimilikinya.

Allah SWT, tak pernah melihat siapa dan bagaimana orang tersebut. Melainkan hanya di lihat dari
pakaian taqwanya. Dan berlomba-lomba dalam lautan kebaikkan bebas untuk siapa saja.

 

***Aksara Wicara

Cakupan Ibadah

Ibadah dalam agama Islam mencakup ibadah mahdhah dan ibadah ghairu mahdhah.

1) Ibadah Mahdhah

Ibadah mahdhah adalah perbuatan-perbuatan dan perkataan-perkataan yang asalnya memang merupakan ibadah, berdasarkan nash atau lainnya yang menunjukkan perkataan dan perbuatan tersebut haram dipersembahkan kepada selain Allah  عزّوجلّ.

Dalam kitab ad-Dinul Khalish, 1/215, disebutkan pengertian ibadah mahdhah, “Segala yang diperintahkan oleh Pembuat syari’at (yaitu: Allah عزّوجلّ-pen), baik berupa perbuatan atau perkataan hamba yang dikhususkan kepada keagungan dan kebesaran Allah  عزّوجلّ.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله menyatakan, “Wudhu adalah ibadah, karena ia tidak diketahui kecuali dari Pembuat syari’at, dan semua perbuatan yang tidak diketahui kecuali dari Pembuat syari’at, maka itu adalah ibadah, seperti shalat dan puasa, dan karena hal itu juga berkonsekuensi pahala.” (Al-Mustadrak ‘ala Majmu’ al-Fatawa, 3/29; Mukhtashar al-Fatawa al-Mishriyah, hlm. 28)

Maka semua perbuatan atau perkataan yang ditunjukkan oleh nash atau ijma’ atau lainnya, atas kewajiban ikhlas padanya, maka itu adalah ibadah dari asal disyari’atkannya, sedangkan yang tidak demikian maka itu bukan ibadah dari asal disyari’atkannya, namun bisa menjadi ibadah dengan niat yang baik, sebagaimana penjelasan berikutnya.

Ibadah mahdhah ini mencakup hal-hal sebagai berikut:

a. Ibadah hati yaitu keyakinan dan amalan

Ibadah hati terbagi menjadi dua bagian:

  1. Qaulul qalbi (perkataan hati), dan dinamakan i’tiqad (keyakinan;   kepercayaan).   Yaitu keyakinan bahwa tidak ada Rabb (Pencipta; Pemilik; Penguasa) selain Allah, dan bahwa tidak ada seorangpun yang berhak diibadahi selain Dia, mempercayai seluruh nama-Nya dan sifat-Nya, mempercayai para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, hari Akhir, taqdir baik dan buruk, dan lainnya.
  2. ‘Amalul qalbi (amalan hati), di antaranya ikhlas, mencintai Allah عزّوجلّ, mengharapkan pahala-Nya, takut terhadap siksa-Nya, tawakkal kepada-Nya, bersabar melaksanakan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya dan lainnya.
  3. Ibadah perkataan atau lisan

Di antaranya adalah mengucapkan kalimat tauhid, membaca al-Qur’an, berdzikir kepada Allah dengan membaca tasbih, tahmid, dan lainnya; berdakwah untuk beribadah kepada Allah, mengajarkan ilmu syariat, dan lainnya.

b. Ibadah badan

Di antaranya adalah melaksanakan shalat, bersujud, berpuasa, haji, thawaf, jihad, belajar ilmu syari’at, dan lainnya.

c. Ibadah harta

Di antaranya adalah membayar zakat, shadaqah, menyembelih kurban, dan lainnya.

 

2) Ibadah Ghairu Mahdhah

Ibadah ghairu mahdhah adalah perbuatan-perbuatan dan perkataan-perkataan yang asalnya bukan ibadah, akan tetapi berubah menjadi ibadah dengan niat yang baik.

Namun, jika perbuatan-perbuatan dan perkataan-perkataan ini dilakukan dengan niat yang buruk akan berubah menjadi kemaksiatan, dan pelakunya mendapatkan dosa. Seperti, melakukan jual beli untuk mendapatkan harta dengan niat untuk melakukan maksiat; makan minum agar memiliki kekuatan untuk mencuri; mempelajari ilmu yang mubah, seperti kedokteran atau teknik, dengan niat untuk mendapatkan pekerjaan yang dengan pekerjaan itu dia bisa melakukan perbuatan maksiat.

Jika seseorang melakukan perbuatan-perbuatan dan perkataan-perkataan ini dengan tanpa niat yang baik atau niat buruk, maka perbuatan tersebut tetap pada hukum asalnya, yaitu mubah.

Ibadah ghairu mahdhah ini mencakup hal-hal berikut:

1. Melaksanakan wajibat (perkara-perkara yang diwajibkan) dan mandubat (perkara-perkara yang dianjurkan) yang asalnya tidak masuk ibadah, dengan niat mencari wajah Allah

Misalnya:

  • Mengeluarkan harta untuk keperluan diri sendiri, seperti makan, minum, dan sebagainya, dengan niat menguatkan badan dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah عزّوجلّ.
  • Berbakti kepada orang tua dengan niat melaksanakan perintah Allah عزّوجلّ.
  • Memberi nafkah kepada anak dan istri dengan niat melaksanakan perintah Allah عزّوجلّ.
  • Mendidik anak dan membiayai sekolahnya dengan niat agar mereka bisa beribadah kepada Allah عزّوجلّ dengan baik.
  • Menikah dengan niat menjaga kehormatan diri sehingga tidak terjatuh ke dalam zina.
  • Memberi pinjaman hutang dengan niat menolong dan mencari pahala Allah عزّوجلّ.
  • Memberi hadiah kepada orang dengan niat mencari wajah Allah عزّوجلّ.
  • Memuliakan tamu dengan niat, melaksanakan perintah Allah عزّوجلّ.
  • Memberi tumpangan kepada seorang yang tua agar sampai ke tempat tujuannya dengan niat mencari wajah Allah عزّوجلّ.

Di antara dalil yang menunjukkan hal itu sebagai ibadah adalah hadits Nabi صلى الله عليه وسلم:

عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِذَا أَنْفَقَ الرَّجُلُ عَلَى أَهْلِهِ يـَحْتَسِبُهَا فَهُوَ لَهُ صَدَقَةٌ

Dari Abu Mas’ud رضي الله عنه dari Nabi صلى الله عليه وسلم, Beliau bersabda, “Jika seorang laki-laki mengeluarkan nafkah kepada keluarganya yang dia mengharapkan wajah Allah dengannya, maka itu shadaqah baginya”. (HR. Al-Bukhari, no. 55)

Dalam hadits lain diriwayatkan:

عَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ أَنَّهُ أَخْبَرَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِـهَا وَجْهَ اللهِ إِلَّا أُجِرْتَ عَلَيْهَا حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِي فَمِ امْرَأَتِكَ

Dari Sa’ad bin Abi Waqqash رضي الله عنه , bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda, “Sesungguhnya engkau tidak mengeluarkan nafkah yang engkau mencari wajah Allah dengan-Nya kecuali engkau diberi pahala padanya, termasuk apa yang engkau taruh di mulut istrimu”. (HR. Al-Bukhari, no. 56)

2. Meninggalkan muharramat (perkara-perkara yang diharamkan) untuk mencari wajah Allah عزّوجلّ.

Termasuk dalam hal ini adalah meninggalkan riba, meninggalkan perbuatan mencuri, meninggalkan perbuatan penipuan, dan perkara-perkara yang diharamkan lainnya. Jika seorang Muslim meninggalkannya karena mencari pahala Allah عزّوجلّ, takut terhadap siksa-Nya, maka itu menjadi ibadah yang berpahala.

Namun jika seorang Muslim meninggalkan suatu perbuatan   maksiat   karena     tidak mampu melakukannya, atau karena takut terhadap had dan hukuman, atau tidak ada keinginan, atau sama   sekali tidak pernah memikirkannya, maka dia     tidak mendapatkan pahala.

Dalilnya adalah hadits:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: يَقُولُ اللَّهُ: إِذَا أَرَادَ عَبْدِي أَنْ يَعْمَلَ سَيِّئَةً فَلَا تَكْتُبُوهَا عَلَيْهِ حَتَّى يَعْمَلَهَا فَإِنْ عَمِلَهَا فَاكْتُبُوهَا بِمِثْلِهَا وَإِنْ تَرَكَهَا مِنْ أَجْلِي فَاكْتُبُوهَا لَهُ حَسَنَةً وَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَعْمَلَ حَسَنَةً فَلَمْ يَعْمَلْهَا فَاكْتُبُوهَا لَهُ حَسَنَةً فَإِنْ عَمِلَهَا فَاكْتُبُوهَا لَهُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِ مِائَةِ ضِعْفٍ

Dari Abu Hurairah رحمه الله, bahwa Rasululldh صلى الله عليه وسلم bersabda, “Allah berfirman: Jika hamba-Ku berkeinginan melakukan keburukan, maka janganlah kamu menulisnya sampai dia melakukannya. Jika dia telah melakukannya, maka tulislah dengan semisalnya. Dan jika dia meninggalkannya karena Aku maka tulislah satu kebaikan untuknya. Jika dia berkeinginan berbuat kebaikan, kemudian dia tidak melakukannya, maka tulislah satu kebaikan untuknya. Jika dia telah melakukannya, maka tulislah baginya sepuluh kalinya sampai 700 kali”. (HR. Al-Bukhari, no. 7501)

Melakukan mubahat (perkara-perkara yang dibolehkan) untuk mencari wajah Allah عزّوجلّ.

Di antaranya tidur, makan, menjual, membeli, dan usaha lainnya dalam rangka mencari rezeki. Semua ini dan yang semacamnya hukum asalnya adalah mubah. Jika seorang Muslim melakukannya dengan niat menguatkan diri untuk melaksanakan ketaatan kepada Allah, maka hal itu menjadi ibadah yang berpahala.

Dalil adalah hadits Abu Mas’ud dan Sa’ad yang telah lewat. Demikian juga perkataan Mu’adz bin Jabal, ketika ditanya oleh Abu Musa al-Asy’ari, “Bagaimana engkau membaca al-Qur’an?” Beliau  رضي الله عنه  menjawab:

أَنَامُ أَوَّلَ اللَّيْلِ، فَأَقُومُ وَقَدْ قَضَيْتُ جُزْئِي مِنْ النَّوْمِ، فَأَقْرَأُ مَا كَتَبَ اللَّهُ لِي، فَأَحْتَسِبُ نَوْمَتِي كَمَا أَحْتَسِبُ قَوْمَتِي

Aku tidur di awal malam, lalu aku bangun dan aku telah memberikan bagian tidurku, lalu aku membaca apa yang Allah takdirkan untukku. Sehingga aku mengharapkan pahala pada tidurku, sebagaimana aku mengharapkan pahala pada berdiri (shalat) ku”. (HR. Al-Bukhari, no. 4341)

Ini semua menunjukkan bahwa ibadah mencakup seluruh sisi kehidupan manusia. Semoga Allah memberikan kemudahan dan kemampuan kepada kita untuk beribadah kepada-Nya dengan sebaik-baiknya.

Makna Ibadah

IBADAH ADALAH HIKMAH PENCIPTAAN

Allah عزّوجلّ telah memberitakan kepada kita bahwa Dia menciptakan jin dan manusia hanya untuk beribadah kepada-Nya. Allah عزّوجلّ berfirman:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. (QS. Adz-Dzariyat/51:56)

Oleh karena itu Allah memberikan ujian dengan perintah ibadah, melaksanakan perintah, dan menjauhi segala larangan-Nya. Allah  عزّوجلّ  berfirman:

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلا

(Allah) Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. (QS. Al-Mulk/67: 2)

Maka semua yang berakal, dari kalangan jin dan manusia, semenjak dewasa sampai meninggal dunia dia berada dalam ujian dan cobaan.

Kalau kita memahami hal ini, maka alangkah pentingnya kita mengetahui makna ibadah dan cakupannya, sehingga kita bisa mengisi hidup kita dengan ibadah untuk bisa meraih ridha Allah عزّوجلّ.

 

TA’RIF IBADAH SECARA BAHASA DAN ISTILAH

Ibadah secara bahasa adalah ketundukan dan kerendahan atau kepatuhan,  seperti perkataan bangsa Arab,  “thariq mu’abbad” artinya jalan yang merendah karena diinjak oleh telapak kaki. Atau seperti perkataan “ba’ir mu’abbad” artinya onta yang patuh.

Az-Zajaj رحمه الله (wafat 311 H), seorang ahli bahasa Arab, berkata, “Ibadah dalam bahasa maknanya ketaatan disertai ketundukan”. (Lisanul ‘Arab, bab: ‘abada)

Ar-Raghib al-Ash-bihani رحمه الله (wafat 425 H), seorang ahli bahasa Afab, berkata, ‘”Ubudiyah adalah menampakkan ketundukan, sedangkan ibadah lebih tinggi darinya, karena ibadah adalah puncak ketundukan”. (Mufradat Alfazhil Qur’an, hlm. 542)

Sedangkan, ibadah secara istilah, para ulama telah menjelaskannya dengan ungkapan yang berbeda-beda, namun intinya sama.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله (wafat 728 H) berkata, “Ibadah adalah satu istilah yang menghimpun seluruh apa yang dicintai dan diridhai oleh Allah, baik berupa perkataan dan perbuatan, yang lahir dan yang batin.” (Al-‘Ubudiyah, hlm: 23, dengan penelitian: Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi hafizhahullah)

Penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ini mencakup seluruh jenis ibadah dalam agama Islam.

 

Amalan Bagi Wanita yang Pahalanya Seperti Syahid di Jalan Allah

Sebagai pemeluk agama islam, syahid dijalan Allah adalah sebuah cita – cita yang sangat diimpikan, tak terkecuali bagi para muslimah. Dalam agama islam tidak ada perbedaan derajat antara laki – laki dan perempuan, keduanya memiliki posisi yang sama dihadapan Allah, yang membedakan hanyalah hati dan amal perbuatan saja.

Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.” (QS. An Nisa : 124)

Allah memberikan kesempatan yang sama bagi setiap hambanya untuk belomba – lomba dalam kebaikan, namun sudah menjadi Sunnatullah pada umumnya wanita diciptakan tidak setangguh dan sekuat laki – laki, terlebih lagi setiap wanita akan mengalami priode menstruasi, sehingga tidak akan bisa sempurna dalam menjalankan sholat lima waktu dan puasa ramadhan.

Lalu bagaimana cara wanita untuk masuk surga ?

Rasulullah Shallallahu `alaihi Wa Sallam bersabda :

“Apabila seorang wanita (istri) itu telah melakukan shalat lima waktu, puasa bulan Ramadhan, menjaga harga dirinya dan mentaati perintah suaminya, maka ia diundang di akhirat supaya masuk surga berdasarkan pintunya mana yang ia suka (sesuai pilihannya).”
(HR. Ahmad, Ibnu Hibban dan Thabrani)

Sungguh begitu beruntung para wanita yang beriman, Allah telah menjanjikannya untuk dapat memasuki surga berdasarkan pintu manapun yang ia sukai. Bahkan bagi seorang istri apabila sang suami ridha terhadapnya, maka Insya Allah surga lah sebaik – baik tempat kembalinya.

“Siapapun wanita yang meninggal dan suaminya ridha terhadapnya, maka dia akan masuk surga. “ (HR. Tirmidzi).

Pahalanya seperti para syuhada

Diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu `alaihi Wa Sallam pernah bersabda : “Dari mulai hamil, melahirkan, dan menyapih, seorang perempuan akan mendapatkan pahala layaknya pejuang di jalan Allah. Jika ia meninggal dalam rentang masa tersebut, ia mendapat pahala syahid di jalan Allah.” (HR. Ibnu Jauzi)

“Mati syahid ada 7 selain yang terbunuh di jalan Allah: Orang yang mati karena thaun, syahid. Orang yang mati tenggelam, syahid. Orang yang mati karena ada luka parah di dalam perutnya, syahid. Orang yang mati sakit perut, syahid. Orang yang mati terbakar, syahid. Orang yang mati karena tertimpa benda keras, syahid. Dan wanita yang mati, sementara ada janin dalam kandungannya.” (HR. Abu Daud)

Dari Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjenguknya ketika Ubadah sedang sakit. Di sela-sela itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya,

“Tahukah kalian, siapa orang yang mati syahid di kalangan umatku?”

Ubadah menjawab: ‘Ya Rasulullah, merekalah orang yang sabar yang selalu mengharap pahala dari musibahnya.’

Berarti orang yang mati syahid di kalangan umatku cuma sedikit. Orang yang mati berjihad di jalan Allah, syahid, orang yang mati karena Tha’un, syahid. Orang yang mati tenggelam, syahid. Orang yang mati karena sakit perut, syahid. Dan wanita yang mati karena nifas, dia akan ditarik oleh anaknya menuju surga dengan tali pusarnya. (HR. Ahmad)

Pengorbanan yang dilakukan wanita selama proses kehamilan, melahirkan, nifas, dan menyusui adalah pengorbanan berat yang ditanggung sendiri oleh wanita selama bertahun-tahun. Allah menyamakan hal tersebut layaknya seorang pejuang yang menghadapi bahaya di jalan Allah dan apabila meninggal maka akan mendapat pahala syahid di jalan Allah.

Semoga kita diberikan anugrah untuk menggapai cita – cita tertinggi untuk syahid di jalan Allah, dan dikumpulkan bersama para syuhada di surga.

 

;