Sinar Ilmu Menggantikan Penglihatan

Pendidikan merupakan hal yang penting dalam kehidupan setiap orang. Pada dasarnya, manusia tidak mengetahui apa-apa. Pendidikan kemudian menjadi jendela kehidupan manusia dimana sinar ilmu pengetahuan masuk kedalam diri seseorang. Dengan ilmu pengetahuan, seseorang dapat menguasai suatu bidang ilmu tertentu.

Manusia telah diberikan akal oleh Allah untuk memahami ilmu-ilmunya yang bertebaran di muka bumi seperti tafsir, hadits, fiqh dan masih banyak lagi lainnya. Dapat kita bayangkan, seseorang yang tidak mendapatkan ilmu pengetahuan seperti seseorang yang berada di dalam ruangan gelap tanpa lampu. Dengan Pendidikan, manusia menjadi lebih terarah dalam berfikir dan berpendapat. Bahkan, wahyu yang pertama kali turun adalah sebuah perintah untuk membaca. Allah SWT berfirman:

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al’Alaq 1:5)

Di dalam ayat lainnya, Allah berfirman:

“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (QS. An-Nahl 78)

Adapun sejumlah manfaat dan keutamaan dari buah pendidikan adalah sebagai berikut:

  1. Tumbuhnya kesadaran dalam diri bahwa Allah SWT Maha Besar dan Maha Kuasa
  2. Membuka jendela dunia yang jauh lebih luas
  3. Mendapatkan kemuliaan dengan berbagi ilmu pengetahuan
  4. Membuka pintu rizki
  5. Mendapat kemudahan dalam melakukan banyak hal sesuai ilmu yang dimiliki
  6. Meningkatkan rasa syukur karena masih memperoleh kesempatan untuk menikmati manisnya ilmu pengetahuan

Demikian halnya dengan teman-teman tunanetra. Meskipun secara kasat mata pandangan mereka gelap, dengan ilmu pengetahuan mereka akan tahu kemana arah melangkah, dan bagaimana impian dan cita-cita dapat diwujudkan. Karenanya, tiadanya penglihatan tidak menjadi alasan dan penghalang bagi tunanetra untuk memperoleh pendidikan.

 

Bila Malu Sudah Tiada

Malu merupakan salah satu sifat terpuji yang bisa mengendalikan orang yang memilikinya dari perbuatan-perbuatan yang tidak sepatutnya dilakukan.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْحَيَاءُ لَا يَأْتِي إِلَّا بِخَيْرٍ

“Rasa malu itu hanya mendatangkan kebaikan.” (HR. Bukhari dan Muslim dari ‘Imron bin Hushain)

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْحَيَاءُ خَيْرٌ كُلُّهُ قَالَ أَوْ قَالَ الْحَيَاءُ كُلُّهُ خَيْرٌ

Rasulullah bersabda, “Rasa malu adalah kebaikan seluruhnya atau rasa malu seluruhnya adalah kebaikan.” (HR. Muslim)

Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, “Iman itu terdiri dari 70 sekian atau 60 sekian cabang. Cabang iman yang paling utama adalah ucapan la ilaha illalloh. Sedangkan cabang iman yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari tempat berlalu lalang. Rasa malu adalah bagian dari iman.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Suatu ketika Nabi menjumpai seorang yang sedang mencela saudaranya karena dia sangat pemalu, Nabi lantas bersabda, “Biarkan dia karena rasa malu itu bagian dari iman.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Menurut penuturan Imam Ibnul Qoyyim, alhaya’ (rasa malu) diambil dari kata-kata hayat (kehidupan). Sehingga kekuatan rasa malu itu sebanding lurus dengan sehat atau tidaknya hati seseorang. Berkurangnya rasa malu merupakan pertanda dari matinya hati dan ruh orang tersebut. Semakin sehat suatu hati maka akan makin sempurna rasa malunya.

Hakikat rasa malu adalah suatu akhlak yang mendorong untuk meninggalkan hal-hal yang buruk dan kurang memperhatikan haknya orang yang memiliki hak.

Rasa malu itu ada dua macam. Yang pertama adalah rasa malu kepada Allah. Artinya seorang hamba merasa malu jika Allah melihatnya sedang melakukan kemaksiatan dan menyelisihi perintah-Nya. Yang kedua adalah rasa malu dengan sesama manusia.

Untuk rasa malu dengan kategori pertama, Nabi jelaskan dalam sabdanya, “Malulah kalian kepada Allah dengan sebenar-benarnya”. “Kami sudah malu duhai Rasulullah”, jawab para sahabat. Nabi bersabda,

لَيْسَ ذَاكَ وَلَكِنَّ الِاسْتِحْيَاءَ مِنْ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ أَنْ تَحْفَظَ الرَّأْسَ وَمَا وَعَى وَالْبَطْنَ وَمَا حَوَى وَلْتَذْكُرْ الْمَوْتَ وَالْبِلَى وَمَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ تَرَكَ زِينَةَ الدُّنْيَا فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدْ اسْتَحْيَا مِنْ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ

“Bukan demikian namun yang dimaksud malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya adalah menjaga kepala dan anggota badan yang terletak di kepala, menjaga perut dan anggota badan yang berhubungan dengan perut, mengingat kematian dan saat badan hancur dalam kubur. Siapa yang menginginkan akhirat harus meninggalkan kesenangan dunia. Siapa yang melakukan hal-hal tersebut maka dia telah merasa malu dengan Allah dengan sebenar-benarnya.” (HR. Tirmidzi dll, dinilai hasan karena adanya riwayat-riwayat lain yang menguatkannya oleh Al Albani dalam Shahih Jami’ Shaghir no. 935)

Dalam hadits ini, Nabi menjelaskan bahwa tanda memiliki rasa malu kepada Allah adalah menjaga anggota badan agar tidak digunakan untuk bermaksiat kepada Allah, mengingat kematian, tidak panjang angan-angan di dunia ini dan tidak sibuk dengan kesenangan syahwat serta larut dalam gemerlap kehidupan dunia sehingga lalai dari akhirat.

Rasa malu yang kedua adalah malu dengan sesama manusia. Malu inilah yang mengekang seorang hamba untuk melakukan perbuatan yang tidak pantas. Dia merasa risih jika ada orang lain yang mengetahui kekurangan yang dia miliki.

Rasa malu dengan sesama akan mencegah seseorang dari melakukan perbuatan yang buruk dan akhlak yang hina. Sedangkan rasa malu kepada Allah akan mendorong untuk menjauhi semua larangan Allah dalam setiap kondisi dan keadaan, baik ketika bersama banyak orang ataupun saat sendiri tanpa siapa-siapa menyertai.

Rasa malu kepada Allah adalah di antara bentuk penghambaan dan rasa takut kepada Allah. Rasa malu ini merupakan buah dari mengenal betul Allah, keagungan Allah. Serta menyadari bahwa Allah itu dekat dengan hamba-hambaNya, mengawasi perilaku mereka dan sangat paham dengan adanya mata-mata yang khianat serta isi hati nurani.

Rasa malu kepada Allah adalah termasuk tanda iman yang tertinggi bahkan merupakan derajat ihsan yang paling puncak. Nabi bersabda, “Ihsan adalah beribadah kepada Allah seakan-akan memandang Allah. Jika tidak bisa seakan memandang-Nya maka dengan meyakini bahwa Allah melihatnya.” (HR Bukhari).

Orang yang memiliki rasa malu dengan sesama tentu akan menjauhi segala sifat yang tercela dan berbagai tindak tanduk yang buruk. Karenanya orang tersebut tidak akan suka mencela, mengadu domba, menggunjing, berkata-kata jorok dan tidak akan terang-terangan melakukan tindakan maksiat dan keburukan.

Rasa takut kepada Allah mencegah kerusakan sisi batin seseorang. Sedangkan rasa malu dengan sesama berfungsi menjaga sisi lahiriah agar tidak melakukan tindakan buruk dan akhlak yang tercela. Karena itu orang yang tidak punya rasa malu itu seakan tidak memiliki iman. Nabi bersabda, “Di antara perkataan para Nabi terdahulu yang masih diketahui banyak orang pada saat ini adalah jika engkau tidak lagi memiliki rasa malu maka berbuatlah sesuka hatimu.” (HR. Bukhari)

Makna hadits, jika orang itu sudah tidak lagi memiliki rasa malu maka dia akan berbagai perilaku buruk yang dia inginkan. Ini dikarenakan rasa malu yang merupakan faktor penghalang berbagai tindakan buruk tidak lagi terdapat pada diri orang tersebut. Siapa yang sudah tidak lagi memiliki rasa malu akan tenggelam dalam berbagai perbuatan keji dan kemungkaran.

Nabi bersabda,

الحياء و الإيمان قرنا جميعا فإذا رفع أحدهما رفع الآخر

“Rasa malu dan iman itu terikat menjadi satu. Jika yang satu hilang maka yang lain juga akan hilang.” (HR. Hakim dari Ibnu Umar dengan penilaian ‘shahih menurut kriteria Bukhari dan Muslim. Penilaian beliau ini disetuju oleh Dzahabi. Juga dinilai shahih oleh al Albani dalam Shahih Jami’ Shaghir, no. 1603)

Salman al Farisi mengatakan,

إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا أَرَادَ أَنْ يُهْلِكَ عَبْدًا نَزَعَ مِنْهُ الْحَيَاءَ فَإِذَا نَزَعَ مِنْهُ الْحَيَاءَ لَمْ تَلْقَهُ إِلَّا مَقِيتًا مُمَقَّتًا فَإِذَا لَمْ تَلْقَهُ إِلَّا مَقِيتًا مُمَقَّتًا نُزِعَتْ مِنْهُ الْأَمَانَةُ فَإِذَا نُزِعَتْ مِنْهُ الْأَمَانَةُ لَمْ تَلْقَهُ إِلَّا خَائِنًا مُخَوَّنًا فَإِذَا لَمْ تَلْقَهُ إِلَّا خَائِنًا مُخَوَّنًا نُزِعَتْ مِنْهُ الرَّحْمَةُ فَإِذَا نُزِعَتْ مِنْهُ الرَّحْمَةُ لَمْ تَلْقَهُ إِلَّا رَجِيمًا مُلَعَّنًا فَإِذَا لَمْ تَلْقَهُ إِلَّا رَجِيمًا مُلَعَّنًا نُزِعَتْ مِنْهُ رِبْقَةُ الْإِسْلَامِ

“Sungguh jika Allah berkehendak untuk membinasakan seseorang maka akan Allah hilangkan rasa malu dari diri orang tersebut. Jika rasa malu sudah tercabut dari dirinya maka tidaklah kau jumpai orang tersebut melainkan orang yang sangat Allah murkai. Setelah itu akan hilang sifat amanah dari diri orang tersebut. Jika dia sudah tidak lagi memiliki amanah maka dia akan menjadi orang yang suka berkhianat dan dikhianati. Setelah itu sifat kasih sayang akan dicabut darinya. Jika rasa kasih sayang telah dicabut maka dia akan menjadi orang yang terkutuk. Sesudah itu, ikatan Islam akan dicabut darinya.”

kata-kata di atas ada yang menganggapnya sebagai sabda Nabi karena jika dinisbatkan kepada Nabi maka berstatus sebagai hadits palsu, diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Ibnu Umar. Lihat Silsilah Dhaifah karya al Albani no. 3044.

Ibnu Abbas mengatakan,

الحياء والإيمان في قرن ، فإذا سلب أحدهما اتبعه الآخر

“Rasa malu dan iman itu satu ikatan. Jika dicabut salah satunya maka akan diikuti oleh yang lain.” (Diriwayatkan dalam Mu’jam Ausath secara marfu’ dari Ibnu Abbas no. 8548. Namun riwayat yang marfu’ ini dinilai sebagai hadits palsu oleh al Albani dalam Dhaif Jami’ no 1435)

Hadits dan perkataan dua orang sahabat Nabi di atas menunjukkan bahwa orang yang tidak lagi memiliki rasa malu itu tidak memiliki faktor pencegah untuk melakukan keburukan. Dia tidak akan sungkan-sungkan untuk melakukan yang haram dan sudah tidak takut dengan dosa. Lisannya juga tidak berat untuk mengucapkan kata-kata yang buruk.

Oleh karena itu di zaman ini, suatu zaman yang rasa malu sudah berkurang bahkan hilang bagi sebagian orang, kemungkaran merajalela, hal-hal yang memalukan dilakukan dengan terang-terangan bahkan keburukan dinilai sebagai sebuah kebaikan. Bahkan sebagian orang merasa bangga dengan perbuatan tercela dan hina sebagaimana artis yang suka buka-bukaan atau sexy dancerWal’iyadu billah…

 

Kautamaan dan Perintah Mensucikan Hati

Allah berfirman yang artinya, “(Yaitu) pada hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” (QS. asy-Syu’ara: 88-89)

Ibnu Katsir berkata, “‘(Yaitu) pada hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna’ Artinya, harta seseorang tidak akan bisa menjaga diri orang tersebut dari azab Allah, walaupun dia menebusnya dengan emas seluas dan sepenuh bumi. ‘Dan tidak pula anak-anak laki-laki’, artinya tidak pula bisa menghindarkan dirinya dari azab Allah, walaupun dia menebus dirinya dengan semua manusia yang bisa memberikan manfaat kepadanya. Yang bermanfaat pada hari kiamat hanyalah keimanan kepada Allah dan memurnikan peribadatan hanya untuk-Nya, serta berlepas diri dari kesyirikan dan dari para pelakunya. Oleh karena itu, Allah kemudian berfirman, ‘Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.’ Yaitu, hati yang terhindar dari kesyirikan dan dari kotoran-kotoran hati.”

Imam asy-Syaukani berkata, “Harta dan kerabat tidak bisa memberikan manfaat kepada seseorang pada hari kiamat. Yang bisa memberikan manfaat kepadanya hanyalah hati yang selamat. Dan hati yang selamat dan sehat adalah hati seorang mukmin yang sejati.”

Ayat-Ayat yang Lain

1. Allah berfirman,

“(Ingatlah) ketika dia (Ibrahim) datang kepada Tuhannya dengan hati yang suci.” (QS. ash-Shaffat: 84)

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata di dalam tafsirnya, “Yakni dia datang menghadap Allah dengan membawa hati yang selamat dari kesyirikan, syubhat-syubhat, dan syahwat-syahwat yang bisa menghalanginya dari mengetahui kebenaran dan mengamalkannya. Apabila hati seorang hamba telah selamat dari hal-hal di atas, maka hati tersebut akan terhindar dari segala keburukan-keburukan, dan sebaliknya hati tersebut akan memunculkan kebaikan-kebaikan. Dan di antara bentuk keselamatan hati adalah bahwa ia selamat dari perbuatan menipu daya manusia, serta selamat dari hasad dan dari berbagai bentuk akhlak yang tercela.”

2. Allah berfirman,

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa, ‘Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan ada kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyanyang.’” (QS. al-Hasyr: 10)

Imam asy-Syaukani berkata tentang ayat di atas yang maknanya bahwa yang dimaksud orang-orang yang datang setelah para sahabat adalah semua orang yang mengikuti mereka sampai hari kiamat. Dalam ayat ini Allah memerintahkan mereka untuk memohon ampunan untuk diri mereka sendiri dan juga untuk para pendahulu mereka yang telah mendahului mereka dalam beriman. Allah juga memerintahkan mereka untuk berdoa kepada-Nya agar dihilangkan dari hati mereka perasaan ghill, yaitu rasa dendam, dongkol, dan dengki terhadap kaum mukminin -dan tentunya yang menduduki peringkat utama dalam golongan kaum mukminin adalah para sahabat karena merekalah generasi paling mulia dari umat ini.

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata, “Doa ini berlaku secara umum untuk semua kaum mukminin baik dari kalangan sahabat atau umat sebelum sahabat atau generasi-generasi setelah sahabat. Dan ini termasuk di antara keutamaan-keutamaan iman, yaitu bahwa kaum mukminin itu saling memberi manfaat satu sama lain, saling mendoakan satu sama lain. Semua itu karena adanya kebersamaan dalam keimanan yang berimplikasi adanya ikatan ukhuwwah antar mukmin, yang di antara cabangnya adalah saling mendoakan dan saling mencintai antara satu dengan yang lain. Oleh karena itu, Allah menyebutkan dalam doa tersebut permintaan dihilangkannya rasa ghill dari hati mereka, sedikit ataupun banyak. Apabila sifat ghill tersebut telah hilang dari hati, maka akan muncul sifat yang menjadi lawan dari sifat tersebut, yaitu rasa cinta antara sesama mukmin, saling menolong dan menasehati, serta sifat-sifat terpuji lainnya yang termasuk hak-hak orang mukmin yang harus ditunaikan.”

Hadits-Hadits Rasulullah

1. Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, beliau berkata, “Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya, ‘Siapakah orang yang paling utama?’ Beliau menjawab, ‘Setiap orang yang bersih hatinya dan benar ucapannya.’ Para sahabat berkata, ‘Orang yang benar ucapannya telah kami pahami maksudnya. Lantas apakah yang dimaksud dengan orang yang bersih hatinya?’ Rasulullah menjawab, ‘Dia adalah orang yang bertakwa (takut) kepada Allah, yang suci hatinya, tidak ada dosa dan kedurhakaan di dalamnya serta tidak ada pula dendam dan hasad.’” (Dikeluarkan oleh Ibnu Majah 4216 dan Thabarani, dan dishahihkan oleh Imam Albani di dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah)

2. Diriwayatkan dari an-Nu’man bin Basyir, dia berkata, “Rasulullah bersabda, ‘… Ketahuilah sesungguhnya di dalam jasad itu ada segumpal darah. Apabila dia baik, maka menjadi baik pula semua anggota tubuhnya. Dan apabila rusak, maka menjadi rusak pula semua anggota tubuhnya. Ketahuilah dia itu adalah hati.’” (Muttafaq ‘alaihi)

3. Diriwayatkan dari Anas bin Malik, beliau berkata, “Suatu ketika kami duduk-duduk bersama Rasulullah. Tiba-tiba beliau berkata, ‘Akan lewat di hadapan kalian saat ini seorang calon penghuni surga.’ Lalu lewatlah seorang pemuda Anshar dalam keadaan dari jenggotnya menetes sisa-sisa air wudhu dan tangan kirinya menenteng sandal. Pada keesokan harinya, Rasulullah bersabda lagi persis sebagaimana sabdanya kemarin, lalu lewatlah pemuda tersebut dengan keadaan persis dengan keadaannya yang kemarin. Dan pada hari yang ketiga Rasulullah mengulang lagi sabdanya seperti sabdanya yang pertama dan pemuda itu pun muncul lagi dengan keadaan seperti keadaannya yang pertama. Maka, ketika Rasulullah beranjak pergi, Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash segera mengikuti pemuda tersebut (ke rumahnya), lalu berkata kepadanya, ‘Sesungguhnya antara aku dan bapakku telah terjadi perselisihan, maka aku bersumpah tidak akan masuk ke rumahnya selama 3 hari. Jika engkau tidak keberatan, aku ingin menumpang padamu selama 3 hari tersebut.’ Pemuda tersebut berkata, ‘Ya, tidak apa-apa.’”

Selanjutnya Anas berkata, “Maka Abdullah menceritakan bahwa selama 3 hari bersama pemuda tersebut, dia tidak melihatnya melakukan qiyamul lail (shalat malam) sedikitpun. Yang dia lakukan hanyalah bertakbir dan berzikir setiap kali dia terjaga dan menggeliat di atas tempat tidurnya sampai dia bangun untuk shalat shubuh. Selain itu, Abdullah berkata, ‘Hanya saja, aku tidak pernah mendengarnya berbicara kecuali yang baik-baik. Setelah 3 hari berlalu dan hampir saja aku meremehkan amalannya, aku berkata kepadanya, ‘Wahai hamba Allah, sebenarnya tidak pernah ada pertengkaran antara aku dengan bapakku, dan tidak pula aku menjauhinya. Sebenarnya, aku hanya mendengar Rasulullah berkata tentang engkau tiga kali, ‘Akan muncul di hadapan kalian saat ini seorang laki-laki calon penghuni surga.’ Dan ternyata engkaulah yang muncul sebanyak 3 kali itu. Karena itu, aku jadi ingin tinggal bersamamu agar aku bisa melihat apa yang engkau lakukan untuk kemudian aku tiru. Akan tetapi, aku tidak melihat engkau melakukan amalan yang besar. Lantas, amalan apa sebenarnya yang bisa menyampaikan engkau kepada kedudukan sebagaimana yang dikatakan oleh Rasulullah?’ Orang tersebut berkata, ‘Aku tidak melakukan kecuali apa yang kamu lihat.’ Maka ketika aku telah berpaling (pergi), dia memanggilku dan berkata, ‘Sebenarnyalah aku memang tidak melakukan apa-apa selain yang engkau lihat. Hanya saja, selama ini aku tidak pernah merasa dongkol dan dendam kepada seorang pun dari kaum muslimin, serta tidak pernah menyimpan rasa hasad terhadap seorang pun terhadap kebaikan yang telah Allah berikan kepadanya.’ Maka Abdullah berkata, ‘Inilah amalan yang membuatmu sampai pada derajat tinggi, dan inilah yang tidak mampu kami lakukan.’” (HR. Ahmad)

Perkataan Para Salaf

1. Abu Dujanah berkata, “Tidak ada sebuah amalan yang paling aku yakini bisa memberi manfaat bagiku di akhirat selain dua perkara. Yang pertama, aku tidak pernah berbuat sesuatu yang tidak bermanfaat bagiku. Dan yang kedua, selamatnya hatiku terhadap kaum muslimin.” (Siyar A ‘lam an-Nubala’ I/243).

2. Sufyan bin Dinar berkata, “Aku berkata kepada Abu Bisyr -dan dia termasuk di antara murid-murid Ali bin Abu Thalib-, ‘Beri tahu kepadaku amalan-amalan orang-orang sebelum kita.’ Dia berkata, ‘Mereka sedikit beramal tetapi mendapatkan pahala yang banyak.’ Aku berkata, ‘Mengapa bisa demikian?’ Dia berkata, ‘Karena selamatnya (bersihnya) hati mereka.’” (Az-Zuhud II/600).

3. Al-Fudhail bin ‘Iyadh berkata, “Tidak akan bisa mengejar kami orang yang mengejar dengan memperbanyak puasa dan shalat, akan tetapi kami hanya bisa dikejar dengan bermurah hati dan selamatnya hati dan memberi nasehat kepada umat.” (Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam I/225).

4. Ibnul Qayyim berkata, “Jadi, hati adalah ibarat raja bagi anggota tubuh. Anggota tubuh akan melaksanakan apa yang diperintahkan oleh hati dan akan menerima semua arahan-arahan hati. Anggota tubuh tidaklah akan melaksanakan sesuatu kecuali yang berasal dari tujuan dan keinginan hati. Jadi, hati tersebut merupakan penanggung jawab mutlak terhadap anggota tubuh karena seorang pemimpin akan ditanya tentang yang dipimpinnya. Jika demikian adanya, maka upaya memberi perhatian yang besar terhadap hal-hal yang menyehatkan hati dan meluruskannya merupakan upaya yang terpenting, dan memperhatikan penyakit-penyakit hati serta berusaha untuk mengobatinya merupakan ibadah yang paling besar.” (Ighatsah al-Lahfan halaman 5).

Di tempat yang lain beliau berkata, “Jenis hati yang ketiga adalah hati yang sakit, yaitu hati yang hidup namun berpenyakit. Dengan begitu, di dalam hati tersebut terdapat dua unsur, di mana unsur yang pertama terkadang mengalahkan yang kedua dan begitu pula sebaliknya. Sedangkan hati sendiri akan mengikuti yang menang di antara keduanya.

Di dalam hati tersebut terdapat perasaan cinta dan iman kepada Allah, ikhlas dan bertawakkal hanya kepada-Nya. Semua itu merupakan unsur kehidupan hati. Namun, di dalam hati tersebut juga terdapat perasaan cinta kepada syahwat, lebih mementingkan syahwat dan berupaya untuk memperturutkannya, dan terdapat pula rasa hasad, sombong, ujub, dan ambisi untuk menjadi orang yang paling unggul, serta bertindak semena-mena di muka bumi dengan kekuasaan yang dimiliki. Semua itu merupakan unsur yang akan membuat diri hancur dan binasa.”

Beliau juga berkata, “Karena itu, surga tidak bisa dimasuki oleh orang-orang yang berhati kotor, dan tidak pula bisa dimasuki oleh orang yang di hatinya terdapat noda-noda dari kotoran tersebut. Barangsiapa yang berusaha untuk mensucikan hatinya di dunia, lalu menemui Allah (mati) dalam keadaan bersih dari najis-najis hati, maka dia akan memasuki surga tanpa penghalang. Adapun tentang orang yang belum membersihkan hatinya selama di dunia, maka jika najis hati tersebut najis murni -seperti hatinya orang-orang kafir-, maka dia tidak bisa masuk surga sama sekali. Dan jika najis tersebut sekadar noda-noda yang mengotori hati, maka dia akan memasuki surga tersebut setelah dia disucikan di dalam neraka dari najis-najis tersebut.”

5. Ibnu Qudamah berkata, “Dan ketahuilah bahwasanya Allah apabila menghendaki kebaikan pada seseorang, maka dia akan dibuat mengetahui aibnya. Barangsiapa yang mempunyai mata hati yang tajam, maka tidak akan tersembunyi baginya aib-aib dirinya, dan apabila dia telah mengenali aib-aibnya, maka memungkinkan baginya untuk mengobatinya penyakit-penyakit tersebut. Sayangnya, kebanyakan manusia tidak mengenal aib-aib dirinya sendiri. Mereka bisa melihat kotoran yang ada di mata saudaranya, tetapi tidak bisa melihat anak sapi yang ada di matanya sendiri.”

Di tempat yang lain beliau berkata, “Barangsiapa yang mengenal hatinya, maka dia akan mengenal Rabbnya. Sayangnya, kebanyakan manusia tidak mengenali dirinya sendiri. Allah-lah yang menghalangi antara seseorang dengan hatinya, dan penghalang tersebut berupa ketidakmampuan seseorang mengenali hatinya dan terhalangnya dirinya dari mengawasi hatinya, padahal mengenali hati dan sifat-sifatnya adalah merupakan pokok agama.”

Penutup

Kita akhiri pembahasan ini dengan doa yang diajarkan oleh Rasulullah: Allohumma aati nafsii taqwaahaa wa zakkihaa anta khoiru man zkkaahaa. Aamiin. “Ya Allah, berikanlah ketakwaan kepada jiwaku dan bersihkanlah ia karena Engkaulah sebaik-baik zat yang bisa membersihkannya.” Amin.

Bahaya Kelalaian

Banyak orang kaget dan terperangah ternyata setahun sudah usianya berlalu. Mereka tidak merasa jam demi jam berlalu, hari demi hari bahkan bulan demi bulan. Seakan-akan setahun berlalu dengan tiba-tiba tanpa memberi peringatan terlebih dahulu. Setelah setahun berlalu mereka buru-buru mengadakan evaluasi amal.

Demi Allah, ini adalah tanda kelalaian, panjang angan-angan dan bergantung dengan dunia seakan-akan tinggal di dunia selamanya. Siapa di antara kita yang tidak akan mati? Siapa di antara kita yang selalu sehat tanpa sakit, kuat tanpa lemah, muda tanpa tua?

Allah berfirman yang artinya, “Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. Bagi-Nya lah segala penentuan, dan hanya kepada-Nya lah kamu dikembalikan.” (QS al Qashash[28]: 88)

Menunda evaluasi amal, keinginan bertaubat dan beramal shalih setelah genap satu tahun berlalu bukanlah ajaran Salafus Shalih bahkan itu adalah bukti lalai dan panjang angan-angan.

Generasi terbaik umat ini sangat perhatian dengan berlalunya kedipan mata, menit, detik, siang dan malam. Mereka koreksi amal mereka di sepanjang waktu dengan disertai bertaubat dan memperbanyak amal kebajikan yang bisa menghilangkan keburukan dan memutihkan lembar catatan amal.

Demikianlah pandangan mereka tentang kehidupan. Hidup adalah berjalannya menit dan detik bukan berlalunya tahun sebagaimana pandangan kita. Mereka sering merenungkan perjalanan waktu, silih bergantinya jam dan betapa cepatnya umur berkurang. Mereka sangat menyadari hal ini. Mereka siap menghadapi bencana dan petaka yang datang silih berganti seiring datangnya sang waktu. Mereka menyadari bahwa mereka sedang berlomba. Dalam lomba tentu ada yang menang dan ada yang kalah. Sedangkan hasil akhir sebuah perlombaan tidak bisa direvisi atau diganggu gugat. Trofi perlombaan tersebut adalah bahagia selamanya atau sengsara selamanya.

يَا أَهْلَ الْجَنَّةِ خُلُودٌ فَلَا مَوْتَ وَيَا أَهْلَ النَّارِ خُلُودٌ فَلَا مَوْتَ

“Wahai penduduk surga, kalian kekal. Tidak ada kematian. Wahai penduduk neraka, kalian kekal, tiada kematian.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Sa’id al Khudri)

Betapa indahnya orang yang beruntung dan betapa sialnya orang yang merugi

Manusia-manusia pilihan tersebut mengetahui bagaimana harus memfungsikan waktu untuk melakukan hal-hal yang mendatangkan kemuliaan bagi mereka di dunia dan kebahagiaan di akhirat nanti. Mereka habiskan waktu mereka untuk berzikir, bersyukur dan beribadah kepada Allah dengan sebaik-baiknya. Demikianlah perilaku mereka sebelum ajal tiba. Dengan itu mereka mendapatkan kemuliaan di dunia dan adanya rasa cinta yang tertanam dalam lubuk hati generasi sesudahnya. Sedangkan di akhirat maka Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala orang yang beramal sebaik-baiknya.

Mereka tiada, ahli maksiat juga tiada. Orang shalih meninggal, orang rusakpun meninggal. Orang yang gemar beribadah mati, orang yang lalai juga mati. Yang bersyukur ataupun tidak, semuanya direnggut oleh malaikat kematian. Yang gemar meneladani Nabi ataupun yang kecanduan bid’ah juga menelan pil pahit kematian. Siapakah yang beruntung di antara mereka dan siapakah yang merugi dari dua golongan tersebut?

Jika orang mengadakan evaluasi amal setiap hari maka apa saja yang diamalkan terpampang jelas di hadapannya. Dia tahu betul apa saja amal buruk atau amal baik yang dia miliki. Dia pun lantas bisa bersyukur kepada-Nya atas taufik-Nya untuk berbuat baik dan bisa segera bertaubat dari segala amal buruknya. Namun jika evaluasi amal ditunda hingga genap satu tahun maka bagaimana mungkin bisa mengingat semua amal keburukan yang sudah dilakukan sepanjang tahun. Setan membuatnya lupa. Panjang angan-angan menguasai dirinya. Nafsunya pun turut memperdaya. Di samping itu secara normal manusia suka melupakan dan menutup mata dari keburukan yang pernah dia lakukan.

Sehingga saat evaluasi akhir tahun, dia pun merasa biasa-biasa saja tanpa beban disebabkan adanya kesalahan besar yang pernah dikerjakan. Pada akhirnya dia buka lembaran tahun berikutnya sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, lalai, ceroboh, meremehkan dan memperturutkan hawa nafsu.

Karenanya salaf shalih tidak pernah membiarkan satu malam pun berlalu tanpa berpikir, merenung, evaluasi amal, memperbaharui taubat, dan memohon maaf serta ampunan-Nya diiringi tangisan.

Generasi emas umat ini tidak pernah menangisi dunia yang tidak bisa direngkuh, popularitas palsu dan jabatan yang hilang. Mereka hanya menyesali waktu yang berlalu tanpa amal shalih.

Ibnu Mas’ud mengatakan, “Aku tidak pernah menyesali sesuatu sebagaimana penyesalannya disebabkan matahari sudah tenggelam yang berarti jatah hidupku berkurang namun amal kebaikanku tidak bertambah”.

Inilah buah dari keyakinan tentang cepatnya perjalanan hidup, habisnya umur tanpa disadari dan pengetahuan tentang betapa manisnya keberuntungan dan betapa pahitnya kerugian.

Oleh karena itu mereka selalu bergerak, meningkatkan diri, memacu prestasi. Mereka benar-benar sadar bahwa hasil akhir dari kecerobohan dalam mengatur hidup hanyalah penyesalan.

Abu Bakar bin ‘Iyyasy demikian heran dengan orang yang menjaga hartanya tapi menelantarkan waktunya. Beliau berkata, “Ada orang yang jika satu dirham uangnya jatuh di jalan akan mengatakan, ‘Inna lillah, uangku sebesar satu dirham amblas’. Ironinya dia tidak pernah berucap, ‘Satu hariku hilang tanpa kumanfaatkan dengan beramal”.

Keadaan yang semisal dengan yang beliau sampaikan mereka buah lalai dari mengingat Allah dan kampung akhirat serta hati yang penuh dengan cinta dan memuja dunia.

Jika malam tiba, Mufadhdhal bin Yunus mengatakan, “Sudah genap sehari umurku berlalu.” Demikian pula jika pagi tiba, beliau menyambutnya dengan berkata, “Genap sudah semalam umurku berkurang”. Saat menjelang meninggal beliau menangis seraya berkata, “Aku sadar dengan beriringnya malam dan siang aku memiliki hari yang sangat menyusahkan, menyedihkan dan menyesakkan. Tiada sesembahan yang berhak disembah melainkan zat yang menetapkan kematian atas makhluknya dan menjadikannya sebagai sebuah keadilan di antara hamba-hambaNya”. Setelah itu beliau membaca firman Allah,

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ

“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. al Mulk[67]: 2). Beliau kemudian menarik napas panjang lantas tak lama kemudian meninggal.

Saudaraku, betapa banyak hari dan malam yang berlalu tanpa kau sadari? Kapan kita akan sadar dari kelalaian ini? Kapan kita akan bangun dari tidur panjang untuk menyongsong akhirat dan mempertanggungjawabkan amal yang ada di pundak kita. Allah berfirman yang artinya, “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (QS. al Ahzab[33]: 72)

Mereka berusaha sungguh-sungguh untuk meningkatkan kualitas amal mereka. Meski demikian mereka tidak menganggap diri mereka telah melakukan yang terbaik. Mereka tetap memandang diri mereka belum berbuat apa-apa. Karena itu mereka khawatir amal mereka ditolak dan tidak ada satupun yang Allah terima.

Ibnul Qayyim berkata, “Siapa saja yang merenungkan keadaan para sahabat tentu akan berkesimpulan bahwa mereka sangat sungguh-sungguh dalam beramal diiringi rasa takut yang begitu mendalam. Sedangkan kita memadukan antara sikap meremehkan amal dengan rasa aman dari siksa Allah.”

Demikian komentar beliau mengenai diri beliau sendiri dan orang yang sezaman dengan beliau. Padahal beliau populer dengan takwa, zuhud dan wara’. Lalu komentar apa yang bisa kita katakan tentang diri kita dan orang-orang di zaman kita saat ini?!

Mufadhdhal bin Yunus bercerita, “Suatu hari aku berjumpa dengan saudara Bani al Harits yang bernama Muhammad bin an Nadhr dalam kondisi murung dan sedih. “Bagaimanakah keadaanmu? Ada apa dengan dirimu”, sapaku. “Satu malam dari umurku sudah berlalu sedangkan aku belum berbuat apa-apa untuk diriku. Satu hari juga sudah berlalu dan aku belum melihat diriku berbuat sesuatu yang berarti. ‘Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un’, jawabnya dengan lugas.

Apakah beliau benar-benar belum berbuat apa-apa? Tentu kita yakin, kata tidak adalah jawaban dari pertanyaan tersebut karena adalah orang yang gemar mengerjakan shalat, berpuasa dan berzikir. Tetapi mereka menilai bahwa mereka belum melakukan apa yang seharusnya mereka kerjakan. Mereka selalu menilai diri mereka belum berbuat yang terbaik padahal mereka telah melakukan yang terbaik dan mereka telah bersusah-payah untuk itu.

 

Bahaya Lisan

Lisan merupakan bagian tubuh yang paling banyak digunakan dalam keseharian kita. Oleh karena itu, sangat penting untuk menjaga lisan kita. Apakah banyak kebaikannya dengan menyampaikan yang haq ataupun malah terjerumus ke dalam dosa dan maksiat.

Pada berbagai pertemuan, seringkali kita mendapati pembicaraan berupa gunjingan (ghibah), mengadu domba (namimah) atau maksiat lainnya. Padahal, Alloh Subhanahu wa Ta’ala melarang hal tersebut. Alloh menggambarkan ghibah dengan suatu yang amat kotor dan menjijikkan. Alloh berfirman yang artinya, “Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Apakah salah seorang di antara kamu suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik dengannya.” (Al-Hujurat: 12)

Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam telah menerangkan makna ghibah (menggunjing) ini. Beliau bersabda, “Tahukah kalian apakah ghibah itu?” Mereka menjawab, “Alloh dan Rosul-Nya yang lebih mengetahui” Beliau bersabda, “Engkau mengabarkan tentang saudaramu dengan sesuatu yang dibencinya.” Beliau ditanya, “Bagaimana jika yang aku katakan itu memang terdapat pada saudaraku?” Beliau menjawab, “Jika apa yang kamu katakan terdapat pada saudaramu, maka engkau telah menggunjingnya (melakukan ghibah) dan jika ia tidak terdapat padanya maka engkau telah berdusta atasnya.” (HR. Muslim)

Jadi, ghibah adalah menyebutkan sesuatu yang terdapat pada diri seorang muslim, baik tentang agama, kekayaan, akhlak, atau bentuk lahiriyahnya, sedang ia tidak suka jika hal itu disebutkan, dengan membeberkan aib, menirukan tingkah laku atau gerak tertentu dari orang yang dipergunjingkan dengan maksud mengolok-ngolok. Banyak orang meremehkan masalah ghibah, padahal dalam pandangan Alloh ia adalah sesuatu yang keji dan kotor. Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Riba itu ada tujuh puluh dua pintu, yang paling ringan daripadanya sama dengan seorang laki-laki yang menyetubuhi ibunya (sendiri), dan riba yang paling berat adalah pergunjingan seorang laki-laki atas kehormatan saudaranya.” (As-Silsilah As-Shahihah, 1871)

Wajib bagi orang yang hadir dalam majelis yang sedang menggunjing orang lain, untuk mencegah kemunkaran dan membela saudaranya yang dipergunjingkan. Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam sangat menganjurkan hal itu, sebagaimana dalam sabdanya, “Barangsiapa membela (ghibah atas) kehormatan saudaranya, niscaya pada hari kiamat Alloh akan menghindarkan api Neraka dari wajahnya.” (HR. Ahmad)

Demikian pula halnya dalam mengadu domba (namimah). Mengadukan ucapan seseorang kepada orang lain dengan tujuan merusak hubungan di antara keduanya adalah salah satu faktor yang menyebabkan terputusnya ikatan, serta menyulut api kebencian dan permusuhan antar manusia. Alloh mencela pelaku perbuatan tersebut dalam firmanNya, “Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina, yang banyak mencela, yang kesana kemari menghambur fitnah.” (Al-Qalam: 10-11). Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak akan masuk surga al-qattat (tukang adu domba).” (HR. Bukhari). Ibnu Atsir menjelaskan, “Al-Qattat adalah orang yang menguping (mencuri dengar pembicaraan), tanpa sepengetahuan mereka, lalu ia membawa pembicaraan tersebut kepada orang lain dengan tujuan mengadu domba.” (An-Nihayah 4/11)

Oleh karena itu ada beberapa hal penting perlu kita perhatikan dalam menjaga lisan. Pertama, hendaknya pembicaraan kita selalu diarahkan ke dalam kebaikan. Alloh Subhaanahu wa Ta’ala berfirman, “Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisik-bisikan mereka, kecuali bisik-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia.” (An-Nisa: 114)

Kedua, tidak membicarakan sesuatu yang tidak berguna bagi diri kita maupun orang lain yang akan mendengarkan. Rosululloh shollallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Termasuk kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak berguna.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)

Ketiga, tidak membicarakan semua yang kita dengar. Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhuberkata, Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Cukuplah menjadi suatu dosa bagi seseorang yaitu apabila ia membicarakan semua apa yang telah ia dengar.” (HR. Muslim)

Keempat, menghindari perdebatan dan saling membantah, sekali-pun kita berada di pihak yang benar dan menjauhi perkataan dusta sekalipun bercanda. Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku adalah penjamin sebuah istana di taman surga bagi siapa saja yang menghindari pertikaian (perdebatan) sekalipun ia benar; dan (penjamin) istana di tengah-tengah surga bagi siapa saja yang meninggalkan dusta sekalipun bercanda.” (HR. Abu Daud dan dihasankan oleh Al-Albani)

Kelima, Tenang dalam berbicara dan tidak tergesa-gesa. Aisyah rodhiallohu ‘anha berkata, “Sesungguhnya Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam apabila membicarakan suatu hal, dan ada orang yang mau menghitungnya, niscaya ia dapat menghitungnya” (HR. Bukhari-Muslim). Semoga Alloh Subhanahu wa Ta’ala senantiasa menjaga diri kita, sehingga diri kita senantiasa berada dalam kebaikan. Wallohu’alam.

 

Syarat-Syarat Seorang Dikatakan Sebagai Muslim

Berikut adalah syarat-syarat untuk bisa dikatakan sebagai seorang muslim :

1. Dia mengetahui hakikat bertauhid kepada Alloh -subhanahu wa ta’ala- dalam beribadah. Dan mengamalkan konsekwensinya atau kewajiban-kewajibannya.

2. Membenarkan apa yang dibawa oleh Rasululloh -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, dan mentaati apa yang beliau perintahkan, dan menjauhi dan meninggalkan apa yang beliau larang.

3. Memusuhi kaum musyirikin dan kafirin. Ada diantara kaum muslimin yang tidak terjatuh dalam kesyirikan akan tetapi mereka tidak mau memusuhi para pelaku kesyirikan dan kekafiran. Maka dengan sebab itu dia tidak sampai menjadi seorang muslim yang sejati, karena dia meninggalkan apa yang menjadi inti pokok dakwah para Rosul ‘alaihimus salaam. Perhatikanlah Nabi Ibrohim -‘alaihissalam- ketika beliau berkata kepada kaumnya :

كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ

“Kami ingkari (kekafiranmu) dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Alloh semata.” (QS. Al- Mumtahanah: 4)

4. Menegakkan kewajiban menasihati : Barangsiapa yang mengatakan “aku tidak akan sama sekali menentang kaum muslimin walaupun dia terjatuh dalam kesyirikan dan kekafiran serta kemaksiatan,” maka dia bukanlah seorang muslim yang sejati. Akan tetapi wajib atasnya untuk menasihati sesama saudaranya dan menjelaskan bahaya dari kesyirikan, kekufuran dan kemaksiatan dan selainnya dari amal-amal yang mungkar. Dengan cara yang lemah-lembut dan hikmah dalam rangka mengamalkan firman Alloh -ta’ala- :

ادْعُ إِلى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran/nasihat yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (QS. An Nahl: 125)

 

Ucapkanlah Salam, Jawablah Salam

Betapa banyaknya umat muslim yang berpaling dari sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kemudian menggantinya dengan kebiasaan orang-orang kafir. Lihatlah bagaimana kebiasaan mereka dalam berpakaian, berkata, tata cara makan, dan pola pikir yang sangat jauh dari sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam namun mirip kebiasaan orang-orang kafir.

Pembaca yang budiman, tidakkah kita pernah mendengar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dalam golongan kaum tersebut.” (HR. Ahmad dan Abu Daud)

Maka kita semestinya bersemangat dalam melakukan kebaikan dan menghidupkan serta menyuburkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saudariku seakidah, menebar salam antar umat muslim adalah salah satu sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hendaknya setiap diri menumbuhkan kebiasaan yag mulia ini pada diri sendiri dan lingkungannya.

Dalam Shahih Muslim (54) disebutkan: Dari Abu Hurairah radiallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Kalian tidak akan masuk surga sehingga kalian beriman, dan tidak dikatakan beriman sebelum kalian saling mencintai. Salah satu bentuk kecintaan adalah menebar salam antar sesama muslim.”

Di dalam hadits tersebut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan diantara syarat masuk surga adalah keimanan kemudian menggantungkan keimanan dengan saling cinta-mencintai sesama muslim, dan itu semua tidak akan terwujud kecuali dengan salah satu caranya, yaitu menebarkan salam antara sesama muslim.

Definisi Salam

Ulama berbeda pendapat akan makna salam dalam kaliamat ‘Assalaamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakaatuhu’. Berkata sebagian ulama bahwasanya salam adalah salah satu nama dari nama-nama Allah sehingga kalimat ‘Assalaamu ‘alaik’ berarti Allah bersamamu atau dengan kata lain engkau dalam penjagaan Allah. Sebagian lagi berpendapat bahwa makna salam adalah keselamatan sehingga maknanya ‘Keselamatan selalu menyertaimu’. Yang benar, keduanya adalah benar sehingga maknanya semoga Allah bersamamu sehingga keselamatan selalu menyertaimu.

Wajibnya Menjawab Salam

Saudariku seiman, jika ada yang mengucapkan salam kepada kita sedang kita dalam kondisi sendiri, maka kita wajib menjawabnya karena menjawab salam dalam kondisi tersebut hukumnya adalah fardu ‘ain. Sedang jika salam diucapkan pada suatu rombongan atau kelompok, maka hukum menjawabnya adalah fardu kifayah. Jika salah satu dari kelompok tersebut telah menjawab salam yang diucapkan kepada mereka, maka sudah cukup. Sedang hukum memulai salam adalah sunnah (dianjurkan) namun untuk kelompok hukumnya sunnah kifayah, jika sudah ada yang mengucapkan maka sudah cukup.

Dari Ali bin Abi Thalib, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sudah mencukupi untuk suatu rombongan jika melewati seseorang, salah satu darinya mengucapkan salam.” (HR. Ahmad dan Baihaqi)

Adab Mengucapkan Salam

1. Mengucapkannya Dengan Sempurna

Pembaca, semoga Allah merahmatiku dan merahmati kalian semua, sangat dianjurkan bagi kita untuk mengucapkan salam dengan sempurna, yaitu dengan mengucapkan, “Assalaamu’alaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuhu.”

Hal ini berdasarkan hadits dari ‘Imran bin Hushain radiallau ‘anhu, ia berkata: “Seorang laki-laki datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengucapkan , ‘Assalaamu’alaikum’. Maka dijawab oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam kemudian ia duduk, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sepuluh’. Kemudian datang lagi orang yang kedua, memberi salam, ‘Assalaamu’alaikum wa Rahmatullaah.’ Setelah dijawab oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ia pun duduk, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Dua puluh’. Kemudian datang orang ketiga dan mengucapkan salam: ‘Assalaamu’alaikum wa rahmatullaahi wa baraakaatuh’. Maka dijawab oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian ia pun duduk dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Tiga puluh’.” (Hadits Riwayat Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 986, Abu Dawud no. 5195, dan At-Tirmidzi no. 2689 dan beliau meng-hasankannya).

2. Memulai Salam Terlebih Dahulu

Saudariku di jalan Allah, memulai mengucapkan salam kepada orang lain adalah sangat dianjurkan. Hendaknya yang lebih muda mengucapkan salam kepada yang lebih tua, yang lewat memberi salam kepada yang sedang duduk, dan yang sedikit mengucapkan salam kepada yang banyak, serta yang berkendaraan mengucapkan salam kepada yang berjalan. Hal tersebut sejalan dengan hadist dari Abu Hurairah. Pengucapan salam yang berkendaraan kepada yang berjalan adalah sebagai bentuk syukur dan salah satu keutamaannya adalah agar menghilangkan kesombongan.

Dalam hadits tersebut, bukan berarti bahwa apabila orang-orang yang diutamakan untuk memulai salam tidak melakukannya, kemudian gugurlah ucapan salam atas orang yang lebih kecil, atau yang tidak berkendaraan, dan semisalnya. Akan tetapi Islam tetap menganjurkan kaum muslimin mengucapkan salam kepada yang lainnya walaupun orang yang lebih dewasa kepada yang lebih muda atau pejalan kaki kepada orang yang berkendaraan, sebagaiman sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Yang lebih baik dari keduanya adalah yang memulai salam.” (HR. Bukhori: 6065, Muslim: 2559)

Salah satu upaya menyebarkan salam diantar kaum muslimin adalah mengucapkan salam kepada setiap muslim, walaupun kita tidak mengenalnya.

Hal ini didasari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamDari ‘Abdullah bin Amr bin Ash radiallahu ‘anhuma, ada seorang laki-laki bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Islam bagaimana yang bagus?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Engkau memberi makan ( kepada orang yang membutuhkan), mengucapkan salam kepada orang yang engkau kenal dan yang tidak engkau kenal.” (HR. Bukhori: 2636, Muslim: 39)

3. Mengulangi Salam Tatkala Berjumpa Lagi Walaupun Berselang Sesaat

Bagi seseorang yang telah mengucapkan salam kepada saudaranya, kemudian berpisah, lalu bertemu lagi walaupun perpisahan itu hanya sesaat, maka dianjurkan mengulang salamnya. Bahkan seandainya terpisah oleh suatu pohon lalu berjumpa lagi, maka dianjurkan mengucapkan salam, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Apabila di antara kalian berjumpa dengan saudaranya, maka hendaklah mengucapkan salam kepadanya. Apabila terhalang oleh pohon, dinding, atau batu (besar), kemudian dia berjumpa lagi, maka hendaklah dia mengucapkan salam (lagi).” (HR. Abu Dawud: 4200, dishohihkan oleh Al-Albani dalam Misykat al-Mashobih: 4650, dan lihat Silsilah Shohihah: 186)

4. Tidak Mengganggu Orang yang Tidur Dengan Salamnya

Dari Miqdad bin Aswad radiallahu ‘anhu, beliau berkata: “Kami mengangkat jatah minuman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (karena beliau belum datang), kemudian beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam datang di malam hari, maka beliau mengucapkan salam dengan ucapan yang tidak sampai mengganggu/ membangunkan orang tidur dan dapat didengar orang yang tidak tidur, kemudian beliau masuk masjid dan sholat lalu datang (kepada kami) lalu beliau minum (minuman kami).” (HR. Timidzi: 2719 dan dishohihkan oleh Al-Albani dalam Adab Az-Zifaf hal. 167-196 cet. terbaru)

5. Tidak Memulai Ucapan Salam Kepada Orang Yahudi dan Nasrani

Dari Ali bin Abi Thalib radiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah kalian mengucapkan salam lebih dahulu kepada Yahudi dan Nashrani, dan bila kalian bertemu mereka pada suatu jalan maka desaklah mereka ke sisi jalan yang sempit.”

Hadits ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang mulia dan unggul dari yang lainnya. Jika mereka mengucapkan salam kepada kita, maka balaslah salamnya dengan ucapan ‘Wa ‘alaikum’.

6. Berusaha Membalas Salam Dengan yang Lebih Baik atau Semisalnya

Maksudnya, tidak layak kita membalas salam orang lain dengan salam yang lebih sedikit. Sebagaimana Allah berfirman yang artinya:

“Apabila kalian diberi salam/penghormatan, maka balaslah dengan yang lebih baik atau balaslah dengan yang serupa.” (QS. An-Nisa’: 86)

Kebiasaan Para Sahabat Berjabat Tangan

Adalah kebiasaan para sahabat jika mereka berjumpa maka saling berjabat tangan antar satu dengan yang lain. Maka apabila kita bertemu dengan seorang teman, cukupkanlah dengan berjabat tangan disertai dengan ucapan salam (Assalaamu’alaikum wa rahmatullaahi wa baraakaatuh) tanpa berpelukan kecuali ketika menyambut kedatangannya dari bepergian, karena memeluknya pada saat tersebut sangat dianjurkan. Hal ini berdasarkan hadits Anas bin Malik radiallahu ‘anhu, ia berkata:

“Apabila sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saling berjumpa, maka mereka saling berjabat tangan dan apabila mereka datang dari bepergian, mereka saling berpelukan.” (HR. At-Tabrani dalam Al-Mu’jamul Ausath no. 97 dan Imam Al-Haitsami berkata dalam kitab Majma’uz Zawaa’id VIII/ 36, “Para perawinya adalah para perawi tsiqah.”)

Saudariku muslimah, yang berusaha meniti jalan kebenaran, hendaklah adab-adab di atas kita jaga. Kita berusaha untuk menanamkannya pada diri kita, memupuknya, memeliharanya serta mengajak orang lain kepadanya. Semoga Allah, Dzat yang membalas kebaikan sebesar dzarrah dengan kebaikan dan membalas keburukan sebesar dzarrah dengan keburukan memberikan kita keistiqamahan untuk senantiasa berjalan di atas Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamWa Allahu A’lam.

 

Adab-Adab Makan

a. Memulai makan dengan mengucapkan Bismillah.

Berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Apabila salah seorang diantara kalian hendak makan, maka ucapkanlah: ‘Bismilah.’ Dan jika ia lupa untuk mengucapkan Bismillah di awal makan, maka hendaklah ia mengucapkan ‘Bismillahi Awwalahu wa Aakhirahu (dengan menyebut nama Allah di awal dan diakhirnya).’”(HR. Daud Dishohihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih Ibnu Majah: 3264)

b. Hendaknya mengakhiri makan dengan pujian kepada Allah.

Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Barangsiapa telah selesai makan hendaknya dia berdo’a: “Alhamdulillaahilladzi ath’amani hadza wa razaqqaniihi min ghairi haulin minni walaa quwwatin. Niscaya akan diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. Daud, Hadits Hasan)

Inilah lafadznya,

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَطْعَمَنِي هَذَا وََرَزَقَنِيهِ مِنْ غَيْرِ حوْلٍ مِنِّي وَ لاَ قُوَّةٍ

“Segala puji bagi Allah yang telah memberi makan ini kepadaku dan yang telah memberi rizki kepadaku tanpa daya dan kekuatanku.”

Atau bisa pula dengan doa berikut,

الْحَمْدُ لِلَّهِ حَنْدًا كثِيراً طَيِّباً مُبَارَكاً فِيهِ غَيْرَ (مَكْفِيٍّ وَ لاَ) مُوَدَّعٍ وَ لاَ مُسْتَغْنَيً عَنْهُ رَبَّناَ

“Segala puji bagi Allah dengan puja-puji yang banyak dan penuh berkah, meski bukanlah puja-puji yang memadai dan mencukupi dan meski tidaklah dibutuhkan oleh Rabb kita.” (HR. Bukhari VI/214 dan Tirmidzi dengan lafalnya V/507)

c. Hendaknya makan dengan menggunakan tiga jari tangan kanan.

Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam makan dengan menggunakan tiga jari.”(HR. Muslim, HR. Daud)

d. Hendaknya menjilati jari jemarinya sebelum dicuci tangannya.

Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Apabila salah seorang diantara kalian telah selesai makan maka janganlah ia mengusap tangannya hingga ia menjilatinya atau minta dijilati (oleh Isterinya, anaknya).” (HR. Bukhari Muslim)

e. Apabila ada sesuatu dari makanan kita terjatuh, maka hendaknya dibersihkan bagian yang kotornya kemudian memakannya.

Berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Apabila ada sesuap makanan dari salah seorang diantara kalian terjatuh, maka hendaklah dia membersihkan bagiannya yang kotor, kemudian memakannya dan jangan meninggalkannya untuk syaitan.” (HR. Muslim, Abu Daud)

f. Hendaknya tidak meniup pada makanan yang masih panas dan tidak memakannya hingga menjadi lebih dingin, hal ini berlaku pula pada minuman. Apabila hendak bernafas maka lakukanlah di luar gelas, dan ketika minum hendaknya menjadikan tiga kali tegukan.

Sebagaimana hadits dari Ibnu Abbas Radhiyallahu’anhu:

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang untuk menghirup udara di dalam gelas (ketika minum) dan meniup di dalamnya.” (HR. At Tirmidzi)

g. Hendaknya menghindarkan diri dari kenyang yang melampaui batas.

Berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Tidak ada bejana yang diisi oleh manusia yang lebih buruk dari perutnya, cukuplah baginya memakan beberapa suapan sekedar dapat menegakkan tulang punggungnya (memberikan tenaga), maka jika tidak mau, maka ia dapat memenuhi perutnya dengan sepertiga makanan, sepertiga minuman dan sepertiga lagi untuk bernafasnya.” (HR. Ahad, Ibnu Majah)

h. Makan memulai dengan yang letaknya terdekat kecuali bila macamnya berbeda maka boleh mengambil yang jauh.

Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Wahai anak muda, sebutkanlah Nama Allah (Bismillah), makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah dari apa-apa yang dekat denganmu.” (HR. Bukhari Muslim)

i. Hendaknya memulai makan dan minuman dalam suatu jamuan makan dengan mendahulukan (mempersilakan mengambil makanan terlebih dahulu) orang-orang yang lebih tua umurnya atau yang lebih memiliki derajat keutamaan.

j. Ketika makan hendaknya tidak melihat teman yang lain agar tidak terkesan mengawasi.

k. Hendaknya tidak melakukan sesuatu yang dalam pandangan manusia dianggap menjijikkan.

l. Jika makan bersama orang miskin, maka hendaklah kita mendahulukan mereka.

 

Dahsyatnya Godaan Wanita

Allah ta’ala telah menganugerahkan kepada kaum wanita keindahan yang membuat kaum lelaki tertarik kepada mereka. Namun syariat yang suci ini tidak memperkenankan keindahan itu diobral seperti layaknya barang dagangan di etalase atau di emperan toko. Tapi kenyataan yang kita jumpai sekarang ini wanita justru menjadi sumber fitnah bagi laki-laki. Di jalan-jalan, di acara TV atau di VCD para wanita mengumbar aurat seenaknya bak kontes kecantikan yang melombakan keindahan tubuh, sehingga seolah-olah tidak ada siksa dan tidak kenal apa itu dosa. Benarlah sabda Rasulullah yang mulia dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, di mana beliau bersabda, “Tidak pernah kutinggalkan sepeninggalku godaan yang lebih besar bagi kaum lelaki daripada wanita.” (HR. Bukhari Muslim)

Ya, begitulah realitasnya, wanita menjadi sumber godaan yang telah banyak membuat lelaki bertekuk lutut dan terbenam dalam lumpur yang dibuat oleh syaitan untuk menenggelamkannya. Usaha-usaha untuk menggoda bisa secara halus, baik disadari maupun tidak, secara terang-terangan maupun berkedok seni. Tengoklah kisah Nabi Allah Yusuf ‘alaihis salam tatkala istri pembesar Mesir secara terang-terangan menggoda Beliau untuk diajak melakukan tindakan tidak pantas. Nabi Yusuf pun menolak dan berkata, “Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukanku dengan baik.” (QS. Yusuf: 23)

Muhammad bin Ishaq menceritakan, As-Sirri pernah lewat di sebuah jalan di kota Mesir. Karena tahu dirinya menarik, wanita ini berkata, “Aku akan menggoda lelaki ini.” Maka wanita itu membuka wajahnya dan memperlihatkan dirinya di hadapan As-Sirri. Beliau lantas bertanya, “Ada apa denganmu?” Wanita itu berkata, “Maukah anda merasakan kasur yang empuk dan kehidupan yang nikmat?” Beliau malah kemudian melantunkan syair,”Berapa banyak pencandu kemaksiatan yang mereguk kenikmatan dari wanita-wanita itu, namun akhirnya ia mati meninggalkan mereka untuk merasakan siksa yang nyata. Mereka menikmati kemaksiatan yang hanya sesaat, untuk merasakan bekas-bekasnya yang tak kunjung sirna. Wahai kejahatan, sesungguhnya Allah melihat dan mendengar hamba-Nya, dengan kehendak Dia pulalah kemaksiatan itu tertutupi jua.” (Roudhotul Muhibbin wa Nuzhatul Musytaqin, karya Ibnul Qayyim)

Perhatikanlah bagaimana Rasulullah telah mewanti-wanti kepada kita sekalian lewat sabda beliau, “Hati-hatilah pada dunia dan hati-hatilah pada wanita karena fitnah pertama bagi Bani Isroil adalah karena wanita.” (HR. Muslim) Kini, di era globalisasi, ketika arus informasi begitu deras mengalir, godaan begitu gampang masuk ke rumah-rumah kita. Cukup dengan membuka surat kabar dan majalah, atau dengan mengklik tombol remote control, godaan pun hadir di tengah-tengah kita tanpa permisi, menampilkan wanita-wanita yang berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok memamerkan aurat yang semestinya dijaga.

Lalu, sebagian muslimah ikut-ikutan terbawa oleh propaganda gaya hidup seperti ini. Pakaian kehormatan dilepas, diganti dengan pakaian-pakaian ketat yang membentuk lekuk tubuh, tanpa merasa risih. Godaan pun semakin kencang menerpa, dan pergaulan bebas menjadi hal biasa. Maka, kita perlu merenungkan dua bait syair yang diucapkan oleh Sufyan Ats-Tsauri: “Kelezatan-kelezatan yang didapati seseorang dari yang haram, toh akan hilang juga, yang tinggal hanyalah aib dan kehinaan, segala kejahatan akan meninggalkan bekas-bekas buruk, sungguh tak ada kebaikan dalam kelezatan yang berakhir dengan siksaan dalam neraka.”

Seorang ulama yang masyhur, Ibnul Qayyim pun memberikan nasihat yang sangat berharga: “Allah Subhanahu wa ta’ala telah menjadikan mata itu sebagai cerminan hati. Apabila seorang hamba telah mampu meredam pandangan matanya, berarti hatinya telah mampu meredam gejolak syahwat dan ambisinya. Apabila matanya jelalatan, hatinya juga akan liar mengumbar syahwat…”

Wallahul Musta’an.

 

Bersuci Menggunakan Debu

Syari’at Islam adalah ajaran yang sangat sempurna. Sebuah ajaran yang diturunkan dari sisi Dzat Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Oleh karena itu siapa saja yang dengan lapang dada dan hati gembira menyambut syariat Islam yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai jalan hidupnya maka sesungguhnya dia telah menemukan cahaya penerang serta ruh kehidupannya. Para pembaca yang budiman, Islam mengajarkan umatnya untuk beribadah kepada Allah dalam keadaan suci. Oleh karena itu disyariatkanlah syariat bersuci. Dan sebagaimana sudah dikenal di kalangan umat Islam bersuci itu meliputi wudhu, mandi dan tayamum. Nah, pada kesempatan yang berbahagia ini kita akan membahas tentang masalah tayamum. Semoga Allah ta’ala mengaruniakan ilmu yang bermanfaat kepada kita.

Pengertian Tayamum

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah mendefinisikan tayamum sebagai berikut. Secara bahasa tayamum berarti bermaksud atau menyengaja. Sebagaimana ungkapan orang Arab tayyamamtu asy-syai’a yang maknanya qashadtuhu (saya menginginkannya). Adapun dalam terminologi syariat, yang dimaksud dengan tayamum yaitu: membasuh wajah dan kedua telapak tangan dengan menggunakan ash-sha’id yang suci sebagai pengganti bersuci dengan air yaitu ketika terhalangi memakai air. Bahkan syariat tayamum ini merupakan salah satu keistimewaan yang dimiliki oleh umat ini. Allah mensyariatkannya demi menyempurnakan agama mereka, dan juga sebagai tanda bukti kasih sayang dan cinta kasih-Nya kepada mereka (lihat Tanbiihul Afhaam wa Taisirul ‘Allaam, jilid 1 hal. 112)

Dalil Pensyari’atannya

Diriwayatkan dari sahabat ‘Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat ada seorang lelaki yang memisahkan diri tidak ikut shalat berjamaah bersama orang-orang. Maka beliau pun bertanya kepadanya, “Wahai fulan, apakah yang menghalangimu untuk shalat bersama orang-orang ?” Lelaki itu menjawab, “Wahai Rasulullah, saya mengalami junub sedangkan air tidak ada.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hendaknya engkau bersuci dengan ash-sha’id, itu saja sudah cukup bagimu.” (HR. Bukhari no. 348 dalam At-Tayamum) Yang dimaksud dengan ash-sha’id adalah permukaan bumi serta segala sesuatu yang berdiri di atasnya. Oleh sebab itu diperbolehkan bertayamum dengan apapun yang masih layak disebut sebagai bagian permukaan bumi. Inilah pendapat yang dipilih oleh Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf, Imam Malik serta Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahumullah (lihat Shahih Fiqih Sunnah, I/198) Hadits ini menunjukkan bahwa apabila tidak ada air maka diperbolehkan bersuci dengan cara tayamum. Dan menunjukkan pula bahwa tayamum itu berkedudukan sebagaimana bersuci dengan air, selama air tidak ada atau tidak sanggup memakainya(lihat Tanbiihul Afhaam wa Taisirul ‘Allaam, jilid 1 hal. 113-114)

Sebab-Sebab Dilakukan Tayamum

Tayamum boleh dilakukan karena: (1) Ketika tidak sanggup memakai air, atau (2) Karena tidak ada air, atau (3) Karena khawatir akan bahaya yang timbul bila tersentuh air gara-gara badan sedang menderita sakit atau karena hawa dingin yang sangat menusuk. Bahkan mayoritas ulama berpendapat bahwa seseorang yang khawatir mati disebabkan hawa dingin yang sangat menusuk diperbolehkan untuk bertayamum, karena kondisinya serupa dengan keadaan orang yang sakit (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, I/196) Dalil-dalilnya adalah: Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Dan (apabila) kemudian kalian tidak berhasil menemukan air maka bertayamumlah dengan tanah yang suci.” (QS. An-Nisaa’: 43) Diriwayatkan dari Jabir radhiyallahu’anhu bahwa dia berkata; Pada suatu saat kami bepergian dalam sebuah rombongan perjalanan. Tiba-tiba ada seorang lelaki diantara kami yang tertimpa batu sehingga menyisakan luka di kepalanya. Beberapa waktu sesudah itu dia mengalami mimpi basah. Maka dia pun bertanya kepada sahabat-sahabatnya, “Apakah menurut kalian dalam kondisi ini saya diberi keringanan untuk bertayamum saja?” Menanggapi pertanyaan itu mereka menjawab, “Menurut kami engkau tidak diberikan keringanan untuk melakukan hal itu, sedangkan engkau sanggup memakai air.” Maka orang itu pun mandi dan akhirnya meninggal. Tatkala kami berjumpa dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka beliau mendapat laporan tentang peristiwa itu. Beliau bersabda, “Mereka telah menyebabkan dia mati ! Semoga Allah membinasakan mereka. Kenapa mereka tidak mau bertanya ketika tidak mengetahui. Karena sesungguhnya obat ketidaktahuan adalah dengan bertanya. Sebenarnya dia cukup bertayamum saja.” (HR. Abu Dawud, Ahmad dan Hakim. Dinilai shahih oleh Syaikh Abdul ‘Azhim Badawi. Lihat Al Wajiz hal. 55. Namun hadits ini dinilai lemah oleh Imam Al-Baihaqi dan Ibnu Hazm karena sanadnya lemah. Lihat Shahih Fiqih Sunnah, I/195)

Tata Caranya

Diriwayatkan dari ‘Ammar bin Yasir radhiyallahu’anhu bahwa dia berkata; ‘Saya pernah mengalami junub dan ketika itu saya tidak mendapatkan air (untuk mandi, pen). Oleh karena itu saya pun bergulung-gulung di tanah (untuk bersuci, pen) dan kemudian saya menjalankan shalat. Maka hal itu pun saya ceritakan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi bersabda, “Sebenarnya sudah cukup bagimu bersuci dengan cara seperti ini.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memukulkan kedua telapak tangannya di atas tanah dan meniup keduanya. Kemudian dengan kedua telapak tangan itu beliau membasuh wajah dan telapak tangannya.’ (HR. Bukhari dan Muslim) Berdasarkan hadits ini dan juga hadits lainnya maka tata cara tayamum yang benar adalah cukup dengan menepukkan kedua telapak tangan (1X) ke tanah atau permukaan bumi yang lainnya, kemudian meniupnya, lalu membasuh dengan kedua telapak tangannya itu wajah dan telapak tangannya (dari ujung jari sampai pergelangan, bagian luar dan dalam telapak tangan) (lihat Shahih Fiqih Sunnah, I/202-203)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa tata cara tayamum karena junub sama halnya dengan tayamum karena hadats kecil yaitu dengan cara menepuk tanah dengan kedua telapak tangannya sekali dan kemudian membasuh telapak tangan kirinya dengan bagian dalam telapak tangan kanannya dan juga bagian luar kedua telapak tangannya serta wajahnya. Demikianlah penjelasan beliau tatkala menerangkan hadits ‘Ammar bin Yasir di atas. Syaikh Ibnu Bassam hafizhahullah menerangkan bahwa tayamum itu cukup dengan satu kali tepukan saja. Inilah pendapat yang dipilih oleh mayoritas ulama, di antara mereka adalah Imam Ahmad, Al-Auza’i, Ishaq serta para ulama ahli hadits berdasarkan hadits-hadits shahih (lihat Tanbiihul Afhaam wa Taisirul ‘Allaam, jilid 1 hal. 116 dan 117)

Bertayamum Dengan Dinding

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma bahwa dia berkata; Saya datang bersama dengan ‘Abdullah bin Yasar bekas budak Maimunah isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tatkala kami bertemu dengan Abu Jahim bin Al-Harits bin Ash-Shamah Al-Anshari maka Abu Jahim mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah datang dari arah sumur Jamal. Kemudian ada seorang lelaki yang menemuinya dan mengucapkan salam kepada beliau. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menjawab salamnya hingga beliau menyentuh dinding (dengan tangannya, pen) kemudian membasuh wajah dan kedua telapak tangannya. Baru setelah itu beliau mau menjawab salamnya.” (Muttafaq ‘alaih) Hadits ini menunjukkan bahwa bertayamum dengan mengusap dinding diperbolehkan (lihat Al-Wajiz, hal. 57)

Pembatal Tayamum

Tayamum menjadi batal karena hal-hal yang bisa membatalkan wudhu. Selain itu tayamum juga dinilai batal apabila air berhasil ditemukan oleh orang yang berusaha mencari namun belum menemukannya. Dan tayamum juga dinilai batal apabila seseorang yang pada awalnya tidak sanggup memakai air karena sakit atau alasan lainnya ternyata pada saat itu dia sudah kembali sanggup menggunakannya. Sedangkan shalat yang sudah dilakukan sebelumnya dengan bekal tayamum tersebut tetap dinilai sah dan tidak perlu diulangi. Diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau berkata; ‘Ada dua orang lelaki yang menempuh suatu perjalanan. Maka tibalah waktu shalat sementara mereka berdua tidak mendapati air sama sekali. Oleh sebab itu mereka pun bertayamum dengan tanah yang suci lalu melakukan shalat. Kemudian pada suatu saat ternyata mereka menemukan air. Maka salah seorang dari keduanya mengulangi wudhu dan shalat, sedangkan kawannya yang satu tidak. Kemudian mereka berdua menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan kejadian tersebut kepada beliau. Maka beliau berkata kepada orang yang tidak mengulangi shalatnya, “Engkau telah sesuai dengan tuntunan. Dan shalatmu pun dinilai sah.” Dan beliau berkata kepada orang yang berwudhu dan mengulangi shalatnya, “Engkau memperoleh pahala dua kali.” (HR. Abu Dawud dan An-Nasa’i, Shahih Sunan Abu Dawud : 327. lihat Al-Wajiz hal. 56-57)

Haruskah Mengusap Perban Jika Terluka?

Seseorang yang terluka atau patah salah satu bagian tubuhnya (anggota badan yang dikenai usapan wudhu atau tayamum, pen) maka dia tidak berkewajiban mengusapnya (ataupun perbannya, pen) tatkala berwudhu maupun tayamum. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala yang artinya, “Allah tidak akan membebankan kepada seseorang melainkan menurut kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286) Begitu pula sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam“Apabila aku memerintahkan kalian untuk menjalankan sesuatu maka laksanakanlah menurut kemampuan kalian.” (HR. Muslim dan An-Nasa’i) Berdasarkan ayat al-Qur’an dan As-Sunnah ini maka gugurlah kewajiban dari setiap orang yang tidak berkesanggupan menjalankannya. Menentukan adanya pengganti tata cara tersebut (mengusap anggota badan, pen) dengan mengusap yang lain (seperti perban dan semacamnya, pen) adalah tindakan pensyari’atan. Sedangkan syariat tidak bisa digariskan kecuali dengan al-Qur’an atau as-Sunnah. Padahal tidak ada satu pun dalil dari al-Qur’an maupun as-Sunnah yang menyebutkan adanya pengganti tindakan mengusap anggota badan yang terluka dengan mengusap perban atau pembalut lukanya. Oleh karena itu pendapat yang menyatakan dituntunkan untuk mengusap perban adalah pendapat yang tertolak (lihat Al-Wajiz, hal. 57)

Demikianlah sekelumit pembahasan tentang tayamum. Semoga kaum muslimin bisa memetik faedah darinya, begitu pula penyusunnya serta orang-orang yang turut menyebarkannya. Ya Allah terimalah amal kami, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Mengetahui. Dan terimalah taubat kami, sesungguhnya Engkau Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.

;