Yayasan Raudlatul Makfufin

Hormati yang Tua, Sayangi yang Muda

SUATU ketika, Ali radiyallahu’anhu berangkat ke masjid hendak menunaikan shalat fardhu. Di tengah perjalanan, ia terhadang oleh seorang kakek yang berjalan tertatih-tatih. Kakek yang sudah renta itu berjalan perlahan tetapi mengambil posisi di tengah, bukan di tepi. Padahal jalan yang mereka lalui tidak terlalu lebar, sehingga jika sahabat Ali berusaha mendahului si kakek, ia khawatir akan menabrak, atau setidaknya menyerempet.

Yang membuat Ali bingung, karena ia saat itu sudah hampir terlambat mengikuti shalat berjamaah. Jika tidak berjalan cepat dengan mendahului si kakek, ia akan terlambat sampai di masjid. Tetapi karena si kakek tidak juga mengubah posisinya dan juga kecepatannya, akhirnya memaksa Ali untuk bersabar. Dugaannya pun benar, ketika sampai di masjid ia telah tertinggal shalat berjamaah.

Tapi pepatah yang mengatakan, “Yang tua menyayangi yang muda dan yang muda menghormati yang tua,” adalah pepatah bagus yang tidak mudah untuk dilaksanakan. Apa yang dilakukan sahabat Ali mungkin tidak akan dilakukan oleh orang lain.

Betapa hormatnya ia kepada kakek yang berjalan di depannya. Walaupun ia tahu sang kakek tersebut berjalan lambat tidak untuk pergi ke masjid, tetap ia sangat menghormatinya. Beliau pun tidak berkeinginan mengganggu dengan mendahuluinya, khawatir sang kakek terkejut atau terdesak jalannya karenanya.

Bila terhadap orang yang tak dikenal saja begitu, semestinya kita lebih hormat lagi terhadap orangtua yang kita kenal, atau bahkan orangtua kita sendiri. Tetapi kenyatannya, menghormati orangtua sendiri sering kali tidak lebih mudah dari pada menghormati orangtua lain.

Justru terhadap orangtua sendiri, kakek dan nenek sendiri, yang sering bertemu, sering terjadi perbedaan pendapat, perbedaan persepsi, perbedaan kebiasaan yang mengakibatkan sering terjadi kesalahpahaman. Akhirnya percekcokan juga yang terjadi. Dan memang penyakit yang satu ini lebih mungkin menyerang mereka yang masih satu keturunan darah daging dibanding dengan orang lain.

Pepatah lain mengatakan, “Kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang penggalah.”Itulah pepatah yang menggambarkan betapa seorang anak seringkali tidak bisa membalas kasih ibunya yang diberikan ketika ia masih kecil. Tetapi justru dia membiarkan ibunya dalam kesendirian, kemelaratan atau kesengsaraan di hari tuanya.

Rasulullah saw menggambarkan hal ini dengan perbedaan yang cukup jauh. Setiap orangtua yang merawat dan memelihara anak-anaknya semenjak kecil, akan ikhlas karena memiliki pengharapan besar untuk masa depan anaknya. Tetapi anak yang memelihara orangtuanya yang sudah renta, seringkali kurang ikhlas karena berpengharapan agar orangtuanya tersebut cepat meninggal sehingga terbebaslah tugas pemeliharaannya.

Benar sekali bahwa merawat orangtua yang sudah renta itu teramat berat. Kalaupun seseorang bisa melaksanakan kewajiban ini, masih banyak yang sekadar merawat asal menunggu ajal menjemput. Ada harapan, toh merawat hanya sebentar, bukankah orangtua ini sudah dekat ajal?

Niat seperti ini belum bisa dikatakan ikhlas seratus persen. Masih ada yang perlu dibenahi. Untuk melatih meningkatkan keikhlasan, semestinya kita mencoba berpikir, bersiap-siap untuk melayani dan merawat orangtua kita walau ia akan hidup seratus tahun lagi, walau kita akan meninggal lebih dahulu dari pada mereka. Harapan bahwa perawatan yang kita lakukan akan segera berakhir, harus dihapus. Kita bersiap melakukan penghormatan, pelayanan, dan perawatan sampai kapanpun. Dan ini sungguh bukan pekerjaan ringan.

Tidak sedikit orangtua yang kondisinya sudah payah, sehingga berperilaku layaknya seorang bayi. Buang air kecil dan besar sembarangan, harus digendong ke mana ia mau pergi, kebiasaannya yang cerewet dan suka marah, atau yang tak pernah lagi ingat mana anaknya dan mana bukan, sudah makan atau belumkah ia, dan sebagainya. Sungguh tak ada orang yang akan kuat menghadapi ujian merawat orangtua seperti ini kecuali hanya mereka yang bisa ikhlas.

Orangtua yang sehatpun, tak ada yang tidak membawa masalah. Yang namanya perbedaan pendapat hampir selalu ada. Hal ini sangat wajar, mengingat perbedaan satu atau dua generasi ini sudah cukup memberikan perbedaan yang sangat jauh.

Masing-masing generasi pasti memiliki pola pandang yang berbeda. Begitu juga luas tidaknya wawasannya, cara berpikir hingga kebiasaan-kebiasaannya. Semua ini terbentuk dengan dipengaruhi kondisi lingkungan di masa hidupnya masing-masing. Mereka yang hidup di zaman perang dengan mereka yang hidup di zaman merdeka jelas memiliki pola pikir yang berbeda. Mereka yang hidup dalam kondisi melarat dan sengsara pun membentuk prinsip hidup berbeda dengan anaknya yang dibesarkan dalam kondisi berkecukupan. Kondisi pergaulan masyarakat, juga kebutuhan-kebutuhan, hingga gaya hidup yang berbeda di antara dua atau tiga generasi ini membentuk kepribadian yang berbeda pula.

Maka sangat wajar, jika perbedaan-perbedaan ini sering menjadi bibit perselisihan antara anak dan orangtua. Jika masing-masing ingin menang, maka kekacauanlah yang terjadi. Karena sudah lazim pula bahwa orangtua memiliki pola pemikiran kolot dan sulit berubah. Orang muda yang berkeinginan mengubah cara berpikir orangtuanya, hanya akan sia-sia, kalaupun bisa itupun hanya sedikit, hanya luar-luarnya saja.

Mereka yang sudah uzur, yang sudah terbentuk puluhan tahun cara berpikirnya, tidak akan bisa berubah hanya dengan beberapa tahun hidup di alamnya orang muda sekarang. Mereka rata-rata sudah tidak bisa lagi menerima informasi-informasi baru yang sudah sangat maju, berbeda, dan terasa aneh bagi mereka.

Tak ada jalan lain bagi kaum muda, kecuali mengalah kepada kaum tua. Mengalah bukan berarti harus mengikuti pendapat mereka. Tetapi yang muda harus bisa mengerti, dan memahami keadaan kaum tua. Jika ada perbedaan pendapat, hendaklah mengalah dalam perdebatan. Carilah cara untuk berbuat sesuai kehendak sendiri tanpa menyinggung pendapat orangtua.

Kadang kala hal ini memerlukan diplomasi, mengingat kaum tua seringkali memiliki sikap kolot dan tak mau kompromi, tak mau tahu pendapat kaum muda. Pendeknya, kaum muda harus bisa memberi pengertian sesuai dengan kemampuan berpikir kaum tua. Harus bisa berbicara sesuai dengan batas kemampuan bicara kaum tua, sebatas luasnya wawasan berpikir mereka.

Satu hal penting lagi yang harus dimengerti kaum muda adalah bahwa mereka tetap harus menghargai kaum tua sebagai manusia. Walaupun mereka bukan lagi manusia produktif, mereka tetap memiliki harga diri. Yang jika ini tidak dihargai sebagaimana mestinya, mereka akan tersinggung dan membawa dampak negatif.

Kaum tua yang tidak dihargai bisa berubah menjadi cerewet, pengomel, pengatur, atau bertingkah laku aneh-aneh meminta perhatian dari sekitarnya. Gejala ini persis seperti pada anak-anak yang juga tidak dihargai orangtuanya.

Menghargai harga diri kaum tua, seperti apakah itu? Yang utama adalah penghormatan. Ini adalah kebutuhan utama kaum tua. Setiap orangtua selalu merasa memiliki kelebihan dibanding anak-anaknya, mengingat dia lebih kenyang pengalaman baik suka maupun duka. Sebodoh-bodoh apapun orangtua dibanding anaknya, sudah pasti perasaan seperti ini ada pada mereka. Sudah pasti ada kelebihan yang tidak dimiliki sang anak.

Maka wajiblah bagi kaum muda, untuk memberi penghormatan selayaknya bagi mereka. Ingatlah nasehat dalam surat Al Israa’ 23 mengatakan:

وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُواْ إِلاَّ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاَهُمَا فَلاَ تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلاً كَرِيماً

Artinya,” …Hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang dari keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”

Inilah standar penghormatan kaum muda kepada orangtua. Bukan main beratnya. Marilah kita instropeksi diri, berapa kali kita menyepelekan orangtua kita? Menghina pendapat-pendapatnya yang terasa konyol? Berapa kali pula kita berkata kasar dan keras hanya karena mereka sangat susah diberi pengertian? Atau kita merasa malu memperlihatkan mereka di muka umum karena keadaannya?

Ingatlah bahwa mereka tetap manusia yang memiliki harga diri. Hormatilah pendapat-pendapatnya sekonyol apapun pendapat mereka. Berilah mereka kesempatan untuk melakukan keinginan-keinginannya sejauh itu memungkinkan. Beri mereka kesempatan mewujudkan harapan-harapannya.

Akhirnya, untuk menjaga istiqamah kelurusan niat kita, teruslah mengingat janji-janji Allah akan keutamaan-keutamaan merawat orangtua seperti ini. Rasulullah saw ditanya tentang peran kedua orangtua. Beliau lalu menjawab, “Mereka adalah (yang menyebabkan) surgamu atau nerakamu.” (HR Ibnu Majah).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

;