Yayasan Raudlatul Makfufin

Akar Konflik Umat Islam (Jeje Zaenudin Abu Himam) 1

PENDAHULUAN

 

Adalah fakta sejarah yang tidak dapat dibantah bahwa hingga saat ini umat Islam terkotak-kotak ke dalam berbagai madzhab pemikiran. Meskipun pengkotakan itu sendiri tidak secara otomatis harus dipahami sebagai perpecahan di tubuh umat Islam yang mengakibatkan satu kelompok madzhab berdiri sendiri secara terpisah dari keseluruhan umat Islam. Seringkali perbedaan antara satu madzhab dengan yang lainnya hanya perselisihan interpretative dalam persoalan-persoalan yang tidak prinsipil. Seperti perbedaan madzhab Syafi’I dengan madzhab Hambali, Hanafi dan Maliki dalam berbagai masalah hukum praktis atau fikih. Perbedaan-perbedaan di antara mereka tidak mengakibatkan mereka saling mengklaim kebenaran mutlak di pihak mereka dan menafikan kebenaran pihak lain.

Tetapi ada juga pengkotakan umat dalam arti perpecahan yang sesungguhnya. Di mana satu kelompok madzhab atau sekte berbeda dengan yang lainnya secara mendasar pada bidang-bidang yang prinsipil dan ajaran Islam. Sehingga satu kelompok tidak dapat menerima dan mengakui kelompok lain sebagai bagian dari kelompoknya. Bahkan adakalanya penolakan ini sampai pada tahap keyakinan bahwa kelompok tertentu sudah berada di luar garis keislaman. Baik dipandang keluar dari Islam dalam arti murtad atau syirk, maupun dipandang keluar dari Islam dalam arti melakukan penyelewengan yang berat dalam ajaran pokok Islam, sehingga memusuhi dan menghambat perkembangan madzhab tersebut dipandang sebagai suatu keharusan bagi kesucian agama. Contoh dalam hal ini adalah pertentangan madzhab Sunny dan Syi’ah secara umum. Perbedaan antara kedua aliran Islam ini menyentuh persoalan-persoalan yang esensial di bidang teologis, ideologis bahkan metodologis. Dengan catatan bahwa di tubuh intern dua aliran besar ini, dan yang tidak masuk di antara keduanya, juga terdapat banyak madzhab dengan intensitas perbedaan yang variatif. Perbedaan mana pada tahap-tahap tertentu mungkin saja tidak diterima baik oleh mayoritas kalangan Sunny atau Syi’ah. Sebagai contoh ada aliran Mu’tazilah dan Khawarij yang ditolak baik oleh Sunny maupun Syi’ah mayoritas.

Kristalisasi aliran-aliran pemikiran Islam tentu tidak muncul secara spontan pada satu kurun tertentu, melainkan tumbuh dan berkembang dalam dinamika perjalanan sejarah yang panjang. Dinamika sejarah berikut situasi dan kondisi social budaya dan politik yang melingkupinya, ditengarai oleh para ilmuwan sebagai penyumbang terbesar bagi tumbuhnya berbagai aliran baru di lapangan pemikiran keagamaan.

Bangkitnya aliran teology Qadariyah – umpamanya – yang menekankan aspek kebebasan manusia dalam bertindak; menentukan nasib dan memilih jalan hidupnya sendiri, tidak dapat dilepaskan dari kondisi sosial politik zaman Bani Umayah. Dimana tekanan plotok penguasa saat itu sangan mendominasi pemikiran keagamaan masyarakat. Apatisme hamper menjadi gejala umum yang menjurus kepada teologi patalisme akibat kejenuhan masyarakat atas konflik kekerasan yang berlarut-larut antara pemerintahan Bani Umayah dengan kelompok oposisi yang dimotori kaum Khawarij dan Syi’ah Ali. Sebaliknya teologi Irja’ dan anti Qadariyah yang menanamkan doktrin ketidakberdayaan manusia dalam merubah takdirnya, menolak memberi penilaian terhadap seseorang atas perilaku dosa yang diperbuatnya di dunia melainkan menyerahkan penilaian dan keputusan sepenuhnya kepada Allah saja nanti pada hari kiamat, menjadi penting dikembangkan oleh penguasa Bani Umayah pada saat itu untuk menjaga stabilitas politik dan kemapanan masyarakat dari upaya-upaya provokasi kaum oposisi.

Konflik-konflik politik di sepanjang sejarah masyarakat Islam diyakini memberi kontribusi yang signifikan bagi kelahiran berbagai aliran pemikiran. Dari perjalanan sejarah masyarakat Islam. Dari perjalanan sejarah masyarakat Islam, pase sejarah yang paling berpengaruh atas terbentuknya aliran pemikiran yang fundamental adalah konflik politik yang terjadi pada generasi salaf, tegasnya masa pemerintahan Ali bin Abu Thalib. Dapat dikatakan, corak pemikiran teologi dan politk Islam dari berbagai madzhab di kemudian hari hingga masa kini masih ada ikatan benang merah dengan aliran pemikiran yang terjadi pada masa itu. Umpamanya perbedaan konsep Imamah dan Negara antara yang dikembangkan oleh kaum Syi’ah dan Sunny saat ini, atau oleh berbagai aliran di intern Sunny maupun syi’ah itu sendiri, demikian pula adanya aliran-aliran pemikiran teologis dan politik pada zaman modern; dari yang bercorak radikal, ekstrim, moderat, hingga yang rasional dan liberal, telah menemukan dasar-dasar pijakannya dari pemikiran dan sikap politik kelompok-kelompok Islam saat itu, yaitu Syi’ah Ali, Syi’ah Mu’awiyah, Khawarij, dan kelompok netral.

Mempertimbangkan asumsi-asumsi di atas, maka upaya dalam rangka mengeksplorasi, merekonstruksi, mendeskripsi dan menganalisis peristiwa-peristiwa berikut konteks sosial politik yang menyelimuti zaman itu untuk mendapatkan informasi yang mendekati sempurna dan kemudian memberikan penilaian yang lebih tepat dan adil terhadap aliran pemikiran dalam Islam, menjadi suatu kerja ilmiah yang terus dibutuhkan. Terlebih lagi pada saat umat Islam mendambakan jiwa perekat yang lebih segar dari agamanya dalam menghadapi berbagai pertentangan pemikiran dan ideology, internal maupun eksternal. Dengan demikian arti penting dari penulisan topik ini bukan hanya ditujukan untuk menambah khazanah ilmiah yang murni teoritis, melainkan diharapkan juga memberi landasan bagi pemikiran dan sikap politik Islam yang prkatis.

Politik hanyalah merupakan salah satu aspek kehidupan bermasyarakat. Konsekwensinya sebagai agama yang sangat konsen terhadap penataan hidup bermasyarakat, maka ajaran islam diyakini pula. Memberikan perhatian yang proporsional terhadap urusan politik. Sejarah perjuangan Nabi Muhammad dalam mendakwahkan dan mengimplementasikan ajaran islam sejak awal sudah melibatkan persoalan-persoalan politik. Salah satu substansi politik yang kerap kali dijadikan isi wahyu Al-Qur’an kepada Nabi adalah masalah hukum. Hukum dapat lahir dari adanya kekuasaan dan kewenangan membuat aturan. Sementara dalam ajaran Islam kedua hal itu hanyalah mutlak milik Allah. Maka kepada Allah, dan dalam batas-batas tertentu, kepada orang yang diberi kuasa Allah saja kedua hal itu harus diserahkan untuk ditaati oleh seluruh manusia yang beriman. Karena itu, pertentangan tokoh-tokoh Musyrikin Mekah dan para penguasa saat itu atas ajakan Nabi untuk memeluk Islam, ditinjau dari sudut ini, ditengarai lebih bersifat kekhawatiran-kekhawatiran politis daripada ketidaksetujuan terhadap subtansi yang didakwahkan Nabi secara keseluruhan.

Ketika Nabi hijrah ke Madinah, beliau juga segera membuat kebijakan politis, membuat perjanjian tertulis untuk hidup damai berdampingan dengan suku-suku Arab dan Yahudi yang tinggal di wilayah Madinah. Naskah perjanjian damai antara kaum muslimin dengan kaum Musyrik dan kaum Yahudi Madinah, dipandang sebagai piagam, atau tegasnya konstitusi kenegaraan yang pertama di dunia. Demikian juga masalah penting yang dihadapi para sahabat setelah wafatnya Rasulullah adalah masalah politik. Siapakah yang paling berhak menjadi pengganti beliau? Kemudian, posisi serta peran apakahyang harus digantikan oleh pemimpin umat sepeninggal beliau itu; apakah kedudukan sebagai pemimpin masyarakat dan Negara, ataukah sebagai pemimpin agama pembuat syari’at?

Semenjak Kahlifah Umar, Utsman, hingga Ali, banyak persoalan penting juga berkenaan dengan urusan politik. Kemelut yang paling berbahaya yang dihadapi umat Islam pada generasi salaf juga masalah politik. Jika pada masa Abu Bakar, kemelut politik dapat teratasi dengan baik, dan masa Umar hingga masa pertengahan kepemimpinan Utsman, kaum muslimin dapat menikmati stabilitas politik yang mantap hingga dengan leluasa mengadakan perluasan wilayah dan penyebaran dakwah Islamiyah serta dapat menikmati kemakmuran ekonomi yang terus berkembang, maka lain halnya di akhir pemerintahan Utsman dan sepanjang pemerintahan Ali. Kemelut politik dalam skala besar tidak dapat dikendalikan oleh oleh para tokoh sahabat. Konflik politik internal umat Islam di masa Khalifah Ali memuncak menjadi perang saudara yang tidak terelakkan. Tiga perang besar terjadi antara pihak Ali dengan Muawiyah, pihak Ali dengan Aisyah dan pihak Ali dengan Khawarij. Orang-orang terbaik didikan nabi, semisal Ali bin Abu Thalib, Thalhah, Zubair berikut ribuan jiwa orang-orang shaleh dari generasi sahabat dan tabi’in harus direlakan jadi tumbal konflik politik yang tak pilih kasih. Bukan hanya itu, konflik pada generasi salaf ini telah meninggalkan luka yang mendalam di tubuh umat dan telah mewariskan perpecahan teologis dan ideologis di kemudian hari.

Kenyataan dari konflik-konflik itu menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang rumit dicarikan jawabannya. Mengapa peristiwa tragis itu bias terjadi pada generasi salaf, masa dimana orang-orang yang Al-Qur’an memuji mereka sebagai umat terbaik masih pada hidup, dan Rasulullah menyebutnya bahwa mereka adalah generasi terbaik dari umat Islam? Bagaimanakah kedudukan mereka yang terlibat dalam konflik berdarah itu sementara mereka telah dipuji Al-Qur’an dan telah disinyalir Rasulullah sebagai para penghuni surga? Lantas bagaimana bias terjadi kekuatan unsure-unsur pendorong konflik politik dapat mengalahkan kekuatan integritas dan moralitas orang-orang shaleh semisal Ali, Aisyah, Thalhah, Zubair dan yang lainnya?

Menjawab keriasuan-kerisauan di atas, para sarjana Islam dengan berbagai latar belakang aliran pemikirannya, di sepanjang sejarah Islam telah berjuang keras melacak dan meneliti akar persoalan konflik internal ini. Di antara mereka ada yang mengarahkan penelitiannya kepada pengumpulan data selengkap mungkin dan menuliskannya dalam rangkaian catatan sejarah. Kemudian mempublikasikannya untuk umum tanpa memberi penilaian atau interpretasi yang mengarahkan pembacanya kepada suatu madzhab tertentu. Contoh macam ini adalah kitab “Tharik al Umam wa al Muluk” yang bermakna “Sejarah umat-umat dan raja-raja”, karya Imam Ath Thabari. Di antara keistimewaan kitab ini adalah memuat berita-berita sejarah Islam berdasarkan urutan tahun kejadiannya menurut perhitungan tahun Hijriyah. Konflik politik di masa pemerintahan Ali termaktub dalam jilid keempat dan kelima dari sebelas jilid keryanya dengan ukuran yang tebal-tebal.

Adalah Ibnu Katsir yang melangkah lebih jauh dari Ath Thabari dalam kitab sejarahnya yang diberi judul “Al Bidayah wa al Nihayah”. Ia bukan hanya menampilkan berita yang dierimanya, yang sebagian besar data-datanya diambil dari Ath Thabari di atas, melainkan juga menyeleksi dan memilih berita-berita yang dinilainya shahih untuk dimuat dalam kitabnya. Sebagai sarjana muslim yang Sunni dan mengecam riwayat-riwayat yang mendeskriditkan salah satu pihak dari sahabat Nabi yang terlibat dalam konflik berdarah di masa pemerintahan Ali maupun Utsman dan dengan bersemangat mengarahkan pembacanya kepada pemahaman yang dianutnya.

Dari masa klasik hingga masa modern, para penulis sejarah Islam tidak dapat sama sekali melepaskan diri dari kecenderungan subjektif dalam menilai pihak-pihak yang berkonflik pada generasi salaf ini. Subjektifitas ini seringkali mendorong para peneliti hanya menonjolkan sisi-sisi positif dan keutamaan tokoh-tokoh panutannya dan mengemukakan sebanyak-banyaknya data negatif atau kebejatan tokoh-tokoh konflik yang dibencinya. Karya-karya ilmiah di seputar konflik politik pada masa pemerintahan Ali seringkali diarahkan kepada penyerangan atau pembelaan terhadap pribadi tokoh-tokoh sahabat yang berkonflik. Sehingga mengesankan bahwa sejarah umat Islam yang besar dan wilayahnya yang luas pada masa itu hanya digerakkan satu dua tokoh yang hebat-hebat. Sementara factor-faktor social, politik, ekonomi, budaya, letak geografis dan lain-lain yang sangat kompleks sepertinya dipandang tidak mempunyai peran apapun. Dapatlah diperhatikan umpamanya buku “Voice of Justice” yang terjemah Indonesianya popular dengan “Suara Keadilan: Sosok Agung Ali bin Abu Thalib” buah karya Geoge Jordac. Dalam buku ini dikemukakan data-data keutamaan dan kehebatan Khalifah Ali serta kebusukan musuh-musuhnya. Bagi pengarang ini konflik politik yang kompleks dinilainya hanya dari sudut dendam lama dan permusuhan yang turun temurun kaum Quraesy (Bani Umayyah) terhadap keagungan Bani Hasyim yang terwakili dalam pribadi Ali. Sehingga kesimpulan dari penelitian yang dimuat pada buku ini menekankan kesan keagungan Ali dan kejahatan lawan-lawan politiknya. Padahal kita ketahui bahwa mereka semua adalah generasi salaf, sahabat-sahabat Nabi yang utama.

Sementara penelitian lain dilakukan oleh Amhazun dengan judul “Al Fitnatul Kubra” memberi kesimpulan yang berbeda dari George Jordac. Dengan mengacu kepada data-data yang dikemukakan Ath Thabari, Amhazun membela kedudukan semua pihak yang bertikai. Karena dalam pandangannya, mereka semua yang bertikai mempunyai nilai kebenaran Ijtihady. Walaupun diakui nilai kebenaran Khalifah Ali lebih besar dari lawan-lawannya. Tetapi tidak ada alasan untuk mencela mereka yang keliru dalam ijtihad dengan niat yang ikhlas. Apalagi tokoh-tokoh yang berkonflik itu, kecuali dari kelompok Khawarij dan para pemberontak Utsman yang bergabung dengan Ali, adalah slafush shalih, sahabat-sahabat Nabi yang mendapat jaminan kemuliaan dari Al Qur’an dan sunnah Nabi. Selain dari itu, para sahabat Nabi, hanyalah korban dari sebuah rekayasa politik tingkat tinggi yang dirancang oleh Abdullah bin Saba, seorang pendeta Yahudi yang berpura-pura masuk Islam pada masa pemerintahan Utsman kemudian menyebarkan faham yang menyesatkan serta memprovokasi masyarakat awam. Sehingga konflik politik pada masa pemerintahan Ali itu dalam kesimpulan Amhazun adalah “fitnah” yang sengaja dinyalakan oleh kaum Yahudi yang dendam kepada umat Islam dan kemudian diikuti oleh orang-orang bodoh yang ambisius. Hal ini bertolak belakang dengan pandangan George Jordac yang menganggap Abdullah bin Saba adalah tokoh fiktif yang diciptakan oleh pihak Sunni untuk melemparkan kesalahan tokoh-tokoh panutan mereka kepada tokoh misterius yang sebenarnya tidak pernah ada.

Apa yang dikemukakan Jordac dan Amhazun merupakan prototype atau pengulangan atas perdebatan Sunni dan Syi’ah yang telah berlangsung sepanjang sejarah Islam pasca kekhalifahan Ali bin Abu Thalib. Karena itu argument-argumen Amhazun dibangun di atas paradigma dan metodologi yang telah dirumuskan oleh tokoh-tokoh pemikir Sunni terdahulu seperti Abu Bakr Ibnu al ‘Araby dalam kitabnya “Al Awashim min al Qawashim” dan Syekh Islam Ibnu Taimiyah dalam “Minhaj al Sunnah”

Pendekatan yang agak berbeda ditempuh oleh beberapa penulis. Seperti yang dilakukan oleh sastrawan Mesir terkemuka, ‘Abbas Mahmud Al Aqqad dalam bukunya, “’Abqariyyah al Imam ‘Ali”, sastrawan dan budayawan Mesir, Ahmad Amin dalam bukunya “Fajrul Islam”, dan sarjana politik dari Iraq, Luay Syafi dalam karyanya, “Al Aqidah wa al Siyasah”. Mereka melakukan analisis yang lebih luas dari sudut geografis, sosiologis, ekonomis dan politis. Bagi mereka, persoalan konflik dalam sejarah generasi salaf umat Islam bukan hanya tanggungjawab tokoh-tokoh tertentu yang bersifat individual, melainkan sebagai bagian dari problem social yang konfleks. Karena itu tidak relevan jika persoalan konflik internal di tubuh generasi awal Islam hanya disorot dari sisi, dan diseret ke tataran perseturuan individual di antara tokoh-tokoh yang berkonflik.

Meski sudah cukup banyak sumber-sumber yang mengungkap masalah konflik politik pada zaman salaf, khususnya pada masa pemerintahan Khalifah Ali ini, tetap saja menyisakan ruang terbuka yang terus membutuhkan kajian ulang secara mendalam. Terutama tentang bagaimana seharusnya kita membayangkan kehidupan para sahabat Nabi sebagai generasi salafus saleh secara lebih utuh dari berbagai aspeknya, kemudian memahami dan mensikapi konflik politik internal yang senantiasa terjadi sepanjang waktu. Demikian pula seputar faktor-faktor yang menjadi pemicu timbulnya konflik politik tersebut. Baik dari unsur-unsur keagamaan maupun unsur-unsur non agama. Kemudian bagaimana Islam berperan dalam memberi landasan sekaligus mengendalikan timbulnya konflik politik pada umatnya. Terakhir adalah mengenai implikasi konflik politik terhadap penafsiran teks agama, dan sebaliknya implikasi penafsiran teks agama terhadap etika berkonflik.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

;