Yayasan Raudlatul Makfufin

Hadits Palsu

Banyak tersebarnya hadits dho’if atau yang lebih parahnya lagi hadits palsu dapat menyebabkan berbagai amalan tanpa tuntunan tersebar di tengah-tengah umat beragama Islam. Perusakan Islam dengan cara yang seperti ini sebenarnya lebih parah dari penyerangan oleh tentara Yahudi terhadap umat Islam. Ada beberapa hadits yang palsu saat ini tersebar dan banyak dikenal oleh masyarakat.

Hadits dhoif dan hadits yang palsu ini sangat berbahaya karena yang menyebarkannya adalah umat Islam sendiri dan jarang dari luar Islam.

 

Beberapa Hadits Palsu

إِذَا كَانَتْ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَقُومُوا لَيْلَهَا وَصُومُوا يَوْمَهَا. فَإِنَّ اللَّهَ يَنْزِلُ فِيهَا لِغُرُوبِ الشَّمْسِ إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا فَيَقُولُ أَلاَ مِنْ مُسْتَغْفِرٍ فَأَغْفِرَ لَهُ أَلاَ مُسْتَرْزِقٌ فَأَرْزُقَهُ أَلاَ مُبْتَلًى فَأُعَافِيَهُ أَلاَ كَذَا أَلاَ كَذَا حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ

“Apabila datang malam nishfu sya’ban, maka hidupkanlah malam tersebut dan berpuasalah di siang harinya. Karena ketika itu, Allah turun ke langit dunia pada malam tersebut mulai dari tenggelamnya matahari. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Siapa saja yang meminta ampunan, Aku akan mengampuninya. Siapa saja yang meminta rizki, aku pun akan memberinya. Siapa saja yang tertimpa kesulitan, Aku pun akan membebaskannya. Siapa pun yang meminta sesuatu, Aku akan mengabulkannya hingga terbit fajar”.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah. Sanad hadits ini adalah lemah, bahkan menurut Syeikh Al Albani adalah maudhu’ (palsu) karena di dalamnya terdapat perowi yang bernama Ibnu Abi Sabroh yang tertuduh sering memalsukan hadits sebagaimana dikatakan dalam At Taqrib. Imam Ahmad bin Hambal dan Ibnu Ma’in juga berpendapat demikian yaitu Ibnu Abi Basroh sering memalsukan hadits. Sehingga Syeikh Al Albani berkesimpulan bahwa sanad hadits ini maudhu’ (palsu). (Lihat As Silsilah Adh Dho’ifah, no. 2132)
رَجَبٌ شَهْرُ اللهِ وَ شَعْبَانُ شَهْرِيْ وَ رَمَضَانُ شَهْرُ أُمَّتِي .

Rajab adalah syahrullah (bulan Allah), Sya’ban adalah bulanku dan Ramadhan adalah bulan ummatku.
Dalam Al Jami’ Ash Shogir (6839), Syeikh Al Albani mengatakan bahwa hadits  ini dho’if.
من صلى ليلة النصف من شعبان ثنتى عشرة ركعة يقرأ في كل ركعة قل هو الله أحد ثلاثين مرة، لم يخرج حتى يرى مقعده من الجنة …

Barangsiapa melaksanakan shalat pada malam nishfu sya’ban sebanyak 12 raka’at, setiap raka’atnya membaca surat “Qul huwallahu ahad” sebanyak tiga puluh kali, maka dia tidaklah akan keluar sampai dia melihat tempat duduknya di surga …

Hadits ini dibawakan oleh Ibnul Jauziy dalam Al Maudhu’at (kumpulan hadits-hadits palsu). Ibnul Jauziy mengatakan bahwa hadits di atas adalah hadits maudhu’ (palsu) dan di dalamnya banyak perowi yang majhul (tidak dikenal). (Lihat Al Maudhu’at, 2/129)

 

Ciri-Ciri Hadits Palsu

Maudhu’ atau palsu berasal dari kata wadha’a – yadha’u – wadh’an wa maudhu’an yang artinya merendahkan, menjatuhkan, mengada-ngada, menyandarkan, menempelkan, serta menghinakan.

Maka dari itu hadits maudhu’ memiliki makna yaitu rendah dalam kedudukannya, jatuh tidak bisa diambil dasar hukum, diada-adakan oleh perwiranya, dan disandarkan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan beliau tidak mengetahuinya.

Para ulama hadits mendefinisikan hadits yang maudhu’ sebagai apa ang tidak pernah keluar dar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik hal tersebut dalam perkataan, perbuatan ataupun taqrir, tetapi disandarkan kepada Rasulullah SAW secara di sengaja. Menurut Ensiklopedia Islam, hadits maudhu’ memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

  1. Teks hadits tidak sesuai dengan kefasihan bahasa, kebaikan, kelayakan, dan kesopanan bahasa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  2. Bertentangan dengan Al-Quran, akal, dan kenyataan.
  3. Rawinya dikenal sebagai pendusta.
  4. Pengakuan sendiri dari pembuat hadits maudhu’ tersebut.
  5. Terdapat petunjuk bahwa di antara perawinya ada yang berdusta.
  6. Rawi menyangkal dirinya pernah memberikan riwayat kepada orang ang membuat hadits maudhu’ tersebut.

Hadits palsu dibagi menjadi tiga macam. Pertama, perkataan tersebut berasal dari pemalsu yang disandarkan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kedua, perkataan tersebut dari ahli hikmah atau orang zuhud dan pemalsuannya, Cuma dia keliru. Menurut para ahli hadits, jenis dari ketiga itu belum termasuk hadits maudhu, apabila perawi mengetahui tapi membiarkan.

Kemudian untuk mengetahui bahwa suatu hadits tersebut maudhu’ atau palsu dan tidak ada asal-usulnya tidaklah mudah dan bukan sembarang orang, kecuali para imam ahli hadits atau para ulama yang luas pengetahuannya tentang sunnah atau hadits.

 

;