Nama-Nama Surga Dan Neraka

SURGA

  1. Surga Firdaus

Mengenai surga firdaus ini, dalam Al Qur’an, surat Al Kahfi, ayat 107, Allah swt. telah menegaskan: “sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh bagi mereka adalah ‘surga firdaus menjadi tempat tinggal”.

Juga penegasanya dalam Al Qur’an, surat Al Mu’minuun, ayat 9-11.

“Dan orang-orang yang memelihara shalat: Mereka itu adalah orang – orang yang akan mewarisi (yaitu) yang bakal mewarisi surga firdaus, mereka kekal di dalamnya”.

  1. Surga Adn

Surga ‘Adn ini telah banyak sekali dijelaskan dalam Al Qur’an. yaitu sebagai berikut: Firman Allah swt. di dalam surat Thaaha, tepatnya ayat 76.

“(Yakni) surga ‘Adn yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, didalamnya mereka kekal. dan itulah (merupakan) balasan bagi orang yang ( dalam keaddan ) bersih ( saat didunianya dari berbagai dosa )”.

Firman-nya lagi didalam surat Shaad, ayat 50 : “(Yaitu) surga’Adn yang pintu – pintunya terbuka bagi mereka”.

  1. Surga Na’iim

Dalam Al Qur’an surat al Hajj, ayat 56. Allah swt. telah menegaskan :

” Maka orang – orang beriman dan mengerjakan amal shaleh ada di dalam surga yang penuh kenikmatan”.

Firman-nya lagi dalam surat Al Luqman, ayat 8 :

“Sesungguhnya orang – orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh, bagi mereka bakal mendapat surga yang penuh kenikmatan”.

  1. Surga Ma’wa

Banyak sekali didalam Al Qur’an dijelaskan, antara lain :

Surat As Sajdah, ayat 19 Allah swt. menegaskan:

“Adapun orang – orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh. maka bagi mereka mendapat surga – surga tempat kediaman, merupakan pahala pada apa yang telah mereka:kerjakan”.

Firman-nya lagi didalam surat An Nizat, ayat 41:

“Maka sesungguhnya surga ma’walah tempat tinggal(nya)”.

  1. Surga Darussalam

Mengenai surga Darussalam ini, telah banyak dijelaskan didalam Al Qur’an, diantaranya ialah : Dalam surat Yunus, ayat 25 :

“Dan allah meriyeru (manusia) ke Darussalam (yakni surga), dan memimpin orang yang dikhendaki-nya kepada jalan yang lurus”.

  1. Surga Daarul Muqoomah

Sesuai dengan penegasan allah swt. di dalam Al Qur’an, surat Faathir, ayat 34-35: “Dan berkatalah mereka : Segala puji bagi allah yang telah mengapus (rasa) duka cita dari kami. Sesungguhnya Tuhan kami adalah Maha Pengmpun lagi Maha Mensyukuri: Yang memberi tempat kami di dalam tempat yang kekal (surga) dan karunia-nya”.

  1. Surga maqoomul Amiin

Sesuai dangan penegasan Allah swt. didalam Al Qur’an, surat Ad Dukhan, ayat 51: “sesungguhnya orang – orang yang bertawakal tinggal didalam tempat yang aman (surga)”.

  1. Surga Khuldi

Di dalam Al Qur’an tepatnya surat Al Furqaan, ayat 15, Allah swt. telah menegaskan : “Katakanlah : “Apa (siksa) yang seperti itu yang baik, atau surga yang kekal, yang telah dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa, sebagai balasan dan kediaman kembali mereka”.

NERAKA

  1. Huthamah

Nama ini tercantum dalam Al-Qur’an Surat Al-Humazah (104) ayat 4-5. didalamya ditempati orang-orang yahudi.

  1. Hawiyah

Nama neraka ini tercantum dalam Al-Quran Surat Al-Qori’ah (101) ayat 9-10. didalamnya ditempati orang-orang munafik dan orang-orang kafir.

  1. Jahannam

Nama neraka ini tercantum dalam Al-Quran Surat al-hijr (15) ayat 43.

  1. Jahim

Nama neraka ini tercantum dalam Al-Quran surat As-Syu’araa (26) ayat 91. didalamnya ditempati orang-orang musyrik.

  1. Saqar

Nama neraka ini tercantum dalam Al-Quran Surat Al-Muddatstsir (26) ayat 26-27,42. didalamnya ditempati orang-orang penyembah berhala.

  1. Sa’ir

Nama neraka ini tercantum dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa’ (4) ayat 10; Surat Al-Mulk (67) ayat 5,10,11 dan lain-lain. Di dalamnya ditempati orang-orang Nasrani.

  1. Wail

Nama neraka ini tercantum dalam Al-Quran Surat Al-Muthaffifin, ayat 1-3.

Hati-hatilah terhadap Fitnah Harta

Salah satu nikmat agung yang Allah berikan kepada hambaNya adalah nikmat harta. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikannya salah satu perhiasan dunia bagi manusia. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا

“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia.” (QS Al-Kahfi [18]: 45)

Pada dasarnya manusia itu mempunyai kecenderungan cinta terhadap harta benda, dan hal itu merupakan suatu hal yang wajar selama tidak berlebih-lebihan dalam mencintainya hingga melupakan ibadah kepada Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاء وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللّهُ عِندَهُ حُسْنُ الْمَآبِ

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS Ali ‘Imran [3]: 14)

Sebagian manusia ada yang menggunakan harta bendanya untuk kebaikan, dan tidak jarang pula yang menggunakannya untuk kejelekan. Dengan harta yang dimilikinya tersebut, seseorang bisa mendapatkan pahala dari Allah, dan dengan harta yang dimilikinya pula, seseorang bisa terjerumus ke dalam dosa dan maksiat. Dan hal ini merupakan ujian dan fitnah yang besar bagi mereka yang dikaruniai harta oleh Allah Ta’ala. Bahkan sangat jarang di antara manusia yang bisa selamat dari fitnah ini. Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَاللَّهُ عِندَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ

“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS At-Taghabun [64]: 15)

Ketika menjelaskan ayat ini, Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan: “Sesungguhnya harta benda dan anak keturunan merupakan fitnah dan cobaan yang Allah berikan untuk hamba-hambaNya. Hal itu agar Allah mengetahui siapa di antara hamba-hambaNya yang taat dan siapa yang ingkar. Dan di hari kiamat kelak, Allah akan memberikan pahala yang besar (bagi mereka yang taat). (Tafsir Ibnu Katsir, karya Imam Ibnu Katsir, cetakan Jum’iyyah Ihya At-Turats Al-Islamiy, jilid ke-4, halaman 2860)

Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad rahimahullah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً وَفِتْنَةُ أُمَّتِي الْمَالُ

“Sesungguhnya setiap umat itu mempunyai fitnah, dan fitnah yang menimpa umatku adalah harta.”

Setiap orang kelak akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah kelak di hari kiamat tentang apa yang telah ia perbuat dengan harta yang dimilikinya. Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا تَزُوْلُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَى يُسْأَلَ: عَنْ عُمْرِهِ فِيْمَا أَفْنَاهُ، وَعَنْ عِلْمِهِ فِيْمَ فَعَلَ، وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيْمَا أَنْفَقَهُ، وَعَنْ جِسْمِهِ فِيْمَ أَبْلَاهُ.

“Tidak akan bergeser kedua kaki anak Adam di hari kiamat (dari sisi Rabbnya), hingga dia ditanya: tentang umurnya untuk apa ia habiskan, tentang ilmunya apa yang telah ia perbuat, tentang hartanya dari mana ia dapatkan dan dalam hal apa (hartanya tersebut) ia belanjakan, dan tentang raganya (masa mudanya) untuk apa ia gunakan.” (HR. At-Tirmidzi, no. 2416)

Sering kita jumpai di zaman sekarang, begitu banyak orang yang sangat berambisi untuk menngumpulkan harta. Sampai-sampai mereka tidak mempedulikan bagaimana harta tersebut diperoleh, apakah itu dengan cara yang halal atau dengan cara yang haram. Dan tidak sedikit pula yang terjerumus dalam perkara yang diharamkan oleh syari’at, seperti: riba, kecurangan, mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak dibenarkan, dan lain sebagainya. Dan mengenai keadaan ini, Rasulullah sudah mengabarkan kepada kita di dalam haditsnya yang berbunyi:

لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لَا يُبَالِي الْمَرْءُ مَا أَخَذَ الْمَالَ، أَمِنَ الْحَلَالِ أَمْ مِنَ الْحَرَامِ

“Sungguh akan datang suatu zaman, yang mana orang-orang akan bersikap tidak peduli dengan harta yang diambilnya, apakah itu dari hasil yang halal atau dari hasil yang haram.”

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menyelamatkan kita dari fitnah harta yang bisa membinasakan dunia dan akhirat kita. Dan semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan harta yang kita miliki itu sebagai sarana untuk mendapatkan pahalanya yang agung. Aamiin.

 

Bersemangatlah dalam Mendidik Keluarga

Salah satu karunia yang sangat besar yang Allah Ta’ala berikan kepada hambaNya adalah rezeki yang berupa anak keturunan yang shalih dan shalihah. Hal ini karena doa dari anak yang shalih dan shalihah itu termasuk amalan yang pahalanya akan senantiasa mengalir, walaupun orang tuanya sudah meninggal dunia. Maka dari itu, orang-orang shalih dari zaman dahulu, dari kalangan para sahabat Nabi dan orang-orang yang sejalan dengan mereka senantiasa bersemangat dalam mendidik anak-anaknya dengan mengacu kepada pendidikan Islam yang benar. Dan hal ini juga merupakan kewajiban dari setiap orang tua. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, lindungilah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkanNya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS At-Tahrim [66]: 6)

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Salah satu bentuk perlindungan terhadap keluarga, yaitu istri dan anaknya, adalah dengan mendidik dan mengajarkan kepada mereka tentang adab-adab, serta mewajibkan mereka untuk mematuhi perintah-perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena seorang hamba itu tidak akan bisa selamat (dari api neraka) kecuali dengan mengerjakan (menerapkan) apa-apa yang telah Allah Ta’ala perintahkan, baik itu pada dirinya sendiri maupun pada orang-orang yang ada di bawah kepeminpinannya, baik itu istri-istri, anak-anak, dan anggota keluarga yang lainnya.” (Lihat tafsir surat At-Tahrim ayat ke-6, kitab Taysir Al-Karim Ar-Rahman, karya Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di)

Pujian dari Allah Bagi yang Mendidik Keluarganya dengan Baik

Orang-orang yang senantiasa menyuruh anggota keluarganya untuk mengerjakan perintah-perintah Allah akan mendapatkan pujian dan ridha dariNya. Di dalam Al-Qur’an, Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji Nabi Isma’il ‘alaihis salam dengan firmanNya:

وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِسْمَاعِيلَ إِنَّهُ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ وَكَانَ رَسُولاً نَّبِيّاً (٥٤) وَكَانَ يَأْمُرُ أَهْلَهُ بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ وَكَانَ عِندَ رَبِّهِ مَرْضِيّاً (٥٥)

“Dan ceritakanlah (wahai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di dalam Al-Qur’an. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya, dan dia adalah seorang rasul dan nabi. Dan ia senantiasa menyuruh keluarganya untuk mengerjakan shalat dan menunaikan zakat, dan ia adalah seorang yang diridhai di sisi Tuhannya.” (QS Maryam [19]: 55)

Begitulah sifat orang-orang yang mendapatkan pujian dari Allah Ta’ala. Mereka senantiasa mengajarkan kepada keluarganya kebaikan dan memerintahkan mereka agar mengerjakan apa-apa yang telah Allah perintahkan. Perintahkanlah keluarga kita agar mengerjakan ibadah-ibadah yang Allah wajibkan dan biasakanlah menegerjakan ibadah-ibadah sunnah agar yang wajib semakin sempurna. Ingatlah, mereka di bawah tanggungjawab kita.

Perintahkanlah keluarga kita agar mengerjakan ibadah-ibadah yang Allah wajibkan dan biasakanlah menegerjakan ibadah-ibadah sunnah agar yang wajib semakin sempurna. Ingatlah, mereka di bawah tanggungjawab kita.

Mendidik Anak Harus dengan Kasih Sayang

Setiap orang tua juga harus mendidik anak-anaknya dengan penuh kasih sayang, membiasakan berkata dengan lemah lembut terhadap mereka, serta menyapa mereka dengan kasih sayang. Dan inilah yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dikisahkan di dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدْخُلُ عَلَيْنَا وَلِي أَخٌ صَغِيْرٌ يُكْنَى أَبَا عُمَيْرٍ وَكَانَ لَهُ نُغَرٌ يَلْعَبُ بِهِ فَمَاتَ فَدَخَلَ عَلَيْهِ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ فَرَآهُ حَزِينًا فَقَالَ: مَا شَأْنُهُ؟. قَالُوا مَاتَ نُغَرُهُ فَقَالَ: يَا أَبَا عُمَيْرٍ مَا فَعَلَ النُّغَيْرُ؟.

“Dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berkumpul bersama kami, dan aku memiliki adik laki-laki yang masih kecil yang biasa dipanggil Aba ‘Umair, adikku memiliki burung kecil yang biasa ia bermain dengannya. Kemudia burung itu mati, dan suatu hari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatanginya dan melihatnya sedang sedih. Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya (kepada para sahabat), “Apa yang terjadi dengannya?” Lalu para sahabat menjawab, “Burung kecilnya telah mati.” Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Wahai Aba ‘Umair, apa gerangan yang dilakukan burung kecil itu?” (HR Abu Dawud)

Senantiasa Mendo’akan Keluarga

Salah satu ciri hamba-hamba Allah yang beriman adalah mendoakan anggota keluarganya, baik itu istri-istri maupun anak-anaknya dengan kebaikan. Salah satu contoh doa yang terdapat di dalam Al-Qur’an adalah:

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَاماً

“Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS Al-Furqan [25]: 74)

Dahulu Nabi Ibrahim ‘alaihis salam juga sering kali membaca doa:

رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ

“Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang shalih.” (QS Ash-Shaffat [37]: 100)

Dan beliau juga mendoakan keluarganya agar diselamatkan aqidahnya, Allah Ta’ala berfirman:

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَـذَا الْبَلَدَ آمِناً وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَن نَّعْبُدَ الأَصْنَامَ

“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak-cucuku daripada menyembah berhala-berhala.” (QS Ibrahim [14]: 35)

 

Keutamaan Berinfak kepada Orang yang Membutuhkan

Dunia ini merupakan tempat di mana manusia itu diuji, baik itu dengan musibah, bencana, kesempitan, maupun kesusahan. Kehidupan di dunia juga akan dihiasi dengan berbagai macam kondisi, baik itu kebaikan dan keburukan, kesusahan dan kemudahan, serta musibah dan ujian, yang datang silih berganti.

Maka dari itu, Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan kita untuk senantiasa tolong-menolong ketika ada saudara kita yang sedang tertimpa musibah, kekurangan, kefakiran, atau dalam kondisi yang sangat membutuhkan pertolongan. Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala menganugerahkan rezeki berupa harta kepada kita, tentu saja salah satu tujuannya adalah agar kita membelanjakan atau menginfakkannya juga kepada orang lain. Allah Ta’ala berfirman:

وَأَنفِقُوا مِن مَّا رَزَقْنَاكُم مِّن قَبْلِ أَن يَأْتِيَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوْلَا أَخَّرْتَنِي إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُن مِّنَ الصَّالِحِينَ (١٠) وَلَن يُؤَخِّرَ اللَّهُ نَفْساً إِذَا جَاء أَجَلُهَا وَاللَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ (١١)

“Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, lalu ia berkata, “Ya Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematianku) sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang shalih?” Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila telah datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengenal apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Munafiqun [63]: 10-11)

Dari ayat tersebut bisa kita pahami bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk menyisihkan sebagian harta kita untuk membantu orang lain yang membutuhkan. Dan bagi mereka yang tidak mau mengikuti perintahNya, maka kelak di hari kiamat mereka akan menyesal karena tidak bersedekah dan tidak berinfak dengan harta yang Allah titipkan kepada mereka selama di dunia.

Allah akan Melipat-gandakan Pahala Orang yang Berbuat Baik

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjanjikan pahala yang berlipat ganda kepada hamba-hambaNya yang mau berbuat baik kepada sesama dengan menginfakkan sebagian hartanya. Allah Ta’ala berfirman:

مَن ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضاً حَسَناً فَيُضَاعِفَهُ لَهُ وَلَهُ أَجْرٌ كَرِيمٌ

“Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan melipat-gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh pahala yang banyak.” (QS Al-Hadid [57]: 11)

Mengenai ayat tersebut, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa infak yang akan dilipat-gandakan pahalanya adalah infak yang ikhlas hanya mengharap ridha Allah semata dan infak yang berasal dari harta yang halal. (Lihat Taisir Al-Karim Al-Mannan fi Tafsiril Qur’an, tafsir Surat Al-Hadid, ayat 11.)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyifati orang-orang mukmin dengan sifat mereka yang senang membantu sesama dan saling berkasih sayang di antara mereka. Di dalam hadits yang shahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَرَاحُمِهِمْ وَتَوَادِّهِمْ، كَالْجَسَدِ الْوَاحِدِ، إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ، بِالْحُمَّى وَالسَّهَرِ

“Permisalan kaum mukminin dalam berkasih sayang dan saling mencintai bagaikan satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuh sakit, maka seluruh tubuh merasa demam dan tidak bisa tidur.”

Berinfaklah, walaupun Hanya Sedikit

Sebesar apapun infaq yang kita keluarkan untuk kebaikan, insya Allah akan mendapatkan pahala dari Allah Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَا تُنفِقُواْ مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللّهَ بِهِ عَلِيمٌ

“Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.” (QS Al-Baqarah [2]: 273)

Harta yang kita keluarkan untuk kebaikan di jalan Allah dengan ikhlas, kelak akan menjauhkan kita dari api neraka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendorong kita untuk berinfak dengan harta yang kita miliki walaupun mungkin itu hanya sedikit, dengan harapan hal itu bisa menjauhkan kita dari api neraka. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فَاتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ

“Takutlah kalian terhadap api neraka meskipun hanya dengan setengah biji kurma.” (HR Muslim)

Semoga Allah Ta’ala memudahkan kita untuk menjadi hamba-hambaNya yang senantiasa berbuat baik kepada sesama dan menjauhkan kita dari sifat kikir terhadap harta yang kita miliki.

 

Celakalah Mereka yang Lebih Mengutamakan Dunia daripada Akhirat

Sifat cinta terhadap dunia dan terlalu mengutamakan urusan dunia merupakan sumber dari kehancuran agama seseorang. Ketika seseorang lebih condong ke urusan dunia, maka sudah pasti ia akan melalaikan urusan akhirat dan agamanya. Perhatikanlah orang-orang di zaman sekarang, sangat sedikit orang-orang yang mau untuk mempelajari agamanya dengan baik. Kebanyakan mereka disibukkan dengan mencari dunia dan mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya.

Bahkan, tidak sedikit di antara mereka yang menempuh cara-cara yang melanggar syariat Allah Ta’ala hanya demi mendapatkan dunia. Padahal dunia itu semakin dikejar maka akan semakin membuat seseorang haus akan dunia, dan ia akan selalu merasa tidak cukup puas dengan apa yang dimilikinya. Jika seandainya manusia diberikan satu lembah harta, maka niscaya ia akan menginginkan untuk bisa memiliki yang lebih dari itu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَلَوْ كَانَ لِابْنِ آدمَ وَادٍ لَأَحَبَّ أَنْ يَكُوْنَ إِلَيْهِ ثَانٍ، وَلَوْ كَانَ لَهُ وَادِيَانِ لَأَحَبَّ أَنْ يَكُوْنَ إِلَيْهِمَا ثَالِثٌ، وَلَا يَمْلَأُ جَوْفَ ابْنِ آدمَ إِلَّا التُّرَابُ

“Jika seandainya manusia memiliki satu lembah harta, sungguh ia akan berambisi untuk memiliki lembah yang kedua. Dan seandainya ia memiliki dua lembah harta, maka sungguh ia akan berambisi untuk memiliki yang ketiga. Dan tidak ada yang membuat penuh perut manusia (puas) kecuali tanah (mati).” (HR Ahmad dan Ath-Thabrani, dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 1639)

Dari hadits tersebut, kita mengetahui bahwa sifat asli kebanyakan manusia adalah tamak terhadap harta dan dunia. Dan hanya orang-orang yang diberikan rahmat oleh Allah sajalah yang bisa selamat darinya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga menjelaskan di dalam Al-Quran bahwa harta benda itu merupakan fitnah atau cobaan untuk segenap manusia. Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَاللهُ عِندَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ

“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS At-Taghabun [64]: 15)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً وَفِتْنَةُ أُمَّتِي الْمَالُ

Sesungguhnya setiap umat itu mempunyai fitnah. Dan fitnah yang menimpa umatku adalah harta.” (HR Ahmad)

Para ulama menjelaskan bahwa tujuan Allah menjadikan harta sebagai fitnah dan cobaan bagi manusia adalah untuk mengetahui siapa di antara hamba-hambaNya yang taat dan siapa yang ingkar serta cenderung mengikuti hawa nafsunya terhadap dunia. Dan tentu saja, Allah akan memberikan balasan pahala dan kenikmatan surga kelak di hari kiamat kepada hamba-hambaNya yang selamat dari fitnah dunia. Sebagaimana Allah akan memberikan siksaan neraka kepada mereka yang lebih memilih dunia daripada akhiratnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

مَن كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لاَ يُبْخَسُونَ، أُوْلَـئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الآخِرَةِ إِلاَّ النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُواْ فِيهَا وَبَاطِلٌ مَّا كَانُواْ يَعْمَلُونَ

“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” (QS Hud [11]: 15-16)

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa mereka yang lebih mengutamakan kesenangan dunia, baik itu dengan wanita, anak-anak, emas, perak, hewan ternak, dan yang lainnya, maka akan Allah berikan seluruh jatahnya di dunia tanpa dikurangi sedikit pun. Namun, hal itu merupakan akhir dari kenikmatan dan kesenangan mereka. Kelak di akhirat, mereka akan kekal di dalam neraka dan tidak akan bisa lari dari adzab Allah Ta’ala, serta mereka tidak akan mendapatkan balasan lagi (kecuali neraka). (Lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, cetakan Ad-Daru Al-‘Alamiyyah, halaman 501.)

Allah Ta’ala juga berfirman:

وَيْلٌ لِّكُلِّ هُمَزَةٍ لُّمَزَةٍ، الَّذِي جَمَعَ مَالاً وَعَدَّدَهُ، يَحْسَبُ أَنَّ مَالَهُ أَخْلَدَهُ، كَلَّا لَيُنبَذَنَّ فِي الْحُطَمَةِ

“Celakalah bagi setiap pengumpat lagi pencela, yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitung. Dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya. Sekali-kali tidak! Sungguh dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam (Neraka) Huthamah.” (QS Al-Humazah [104]: 1-4)

Semoga Allah Ta’ala menyelamatkan kita dari fitnah dunia dan menjadikan kita hamba-hambaNya yang lebih mengutamakan perkara akhirat daripada dunia. Karena kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal dan sifat mengutamakan dunia merupakan sifat orang-orang kafir. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا، وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى

“Tetapi kalian (orang-orang kafir) memilih kehidupan dunia, sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (QS Al-A’la [87]: 16-17)

 

Shalat Menjadi Sebab Diampuninya Dosa

Di antara pengaruh besar dari ibadah shalat adalah shalat sebagai sebab diampuninya dosa-dosa, dikuranginya timbangan (dari dosa-dosa), dan juga dihapuskannya kesalahan-kesalahan. Imam Muslim telah meriwayatkan di dalam Shahih-nya, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمُعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ

Shalat lima waktu, dari Jumat ke Jumat yang lain, dan dari Ramadhan ke Ramadhan yang lain merupakan penghapus dosa-dosa, selama menjauhi dosa-dosa besar.”

Dan di dalam Shahih dari Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, diriwayatkan bahwa beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَرَأَيْتُمْ لَوْ أَنَّ نَهَرًا بِبَابِ أَحَدِكُمْ يَغْتَسِلُ فِيهِ كُلَّ يَوْمٍ خَمْسًا مَا تَقُولُ ذَلِكَ يُبْقِي مِنْ دَرَنِهِ؟ قَالُوا: لاَ يُبْقِي مِنْ دَرَنِهِ شَيْئًا قَالَ فَذَلِكَ مِثْلُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ يَمْحُو اللهُ بِهَا الْخَطَايَا.

“”Bagaimana pendapat kalian jika seandainya ada sungai di depan pintu salah satu di antara kalian, kemudian dia mandi di dalamnya sehari sebanyak lima kali, apakah kalian akan mengatakan bahwa masih ada kotoran yang tersisa?” Para sahabat berkata, “Tidak akan ada kotoran sedikit pun yang tersisa.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Demikianlah perumpamaan shalat lima waktu yang Allah menghapuskan dengannya dosa-dosa.””

Contoh Bacaan di Dalam Shalat yang Berisi Permohonan Pengampunan Dosa

Hadits-hadits yang semakna dengan yang di atas sangatlah banyak, dan ketika shalat mempunyai peran penting dalam pengampunan (dosa-dosa), maka seorang Muslim disyari’atkan untuk memperbanyak permintaan ampunan di setiap keadaan di dalam shalatnya, baik itu pada saat ia berdiri, ruku’, sujud, atau bahkan ketika ia duduk dalam shalatnya.

1. Doa Mohon Ampunan Dosa di Dalam Shalat yang Pertama

Salah satu do’a istiftah adalah seperti yang telah diriwayatkan oleh Imam Muslim dari sahabat ‘Ali bin Abi Thalib, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwasanya ketika berdiri untuk shalat, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca:

وَجَّهْتُ وَجْهِىَ لِلَّذِى فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ حَنِيفًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ إِنَّ صَلاَتِى وَنُسُكِى وَمَحْيَاىَ وَمَمَاتِى لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا مِنَ الْمُسْلِمِينَ اللَّهُمَّ أَنْتَ الْمَلِكُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ. أَنْتَ رَبِّى وَأَنَا عَبْدُكَ ظَلَمْتُ نَفْسِى وَاعْتَرَفْتُ بِذَنْبِى فَاغْفِرْ لِى ذُنُوبِى جَمِيعًا إِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ أَنْتَ وَاهْدِنِى لِأَحْسَنِ الأَخْلاَقِ لاَ يَهْدِى لِأَحْسَنِهَا إِلاَّ أَنْتَ وَاصْرِفْ عَنِّى سَيِّئَهَا لاَ يَصْرِفُ عَنِّى سَيِّئَهَا إِلاَّ أَنْتَ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ وَالْخَيْرُ كُلُّهُ فِى يَدَيْكَ وَالشَّرُّ لَيْسَ إِلَيْكَ أَنَا بِكَ وَإِلَيْكَ تَبَارَكْتَ وَتَعَالَيْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

“Aku hadapkan wajahku kepada Yang Menciptakan langit dan bumi dengan tunduk dan menyerahkan diri dan tiadalah aku termasuk golongan orang-orang musyrik. Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku untuk Tuhan semesta alam. Tidak ada sekutu bagiNya dan sebab demikian itu aku diperintah dan aku termasuk orang-orang yang menyerahkan diri (kepadaNya). Wahai Allah, hanya Engkaulah Tuhanku, tiada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau. Hanya Engkau Tuhanku, sedang aku adalah hambaMu. Aku telah menganiaya diriku sendiri dan aku akui dosa-dosaku, karena itu ampunilah seluruh dosaku. Sesungguhnya hanya Engkau sajalah yang mengampuni dosa. Bimbinglah aku kepada akhlaq yang baik, hanya Engkaulah yang dapat membimbingku kepada akhlaq yang baik. Jauhkanlah aku dari akhlaq yang buruk dan hanya Engkaulah yang dapat menjauhkan aku dari akhlaq yang buruk itu. Aku penuhi panggilanMu dan aku gembira dengan memenuhi perintahMu. Semua kebaikan berada dalam tanganMu, sedangkan kejahatan itu tidak disandarkan kepadaMu. Aku hanya dapat hidup denganMu dan hanya akan kembali kepadaMu. Maha Berkah Engkau dan Maha Tinggi, aku mohon ampun kepada Engkau dan aku bertaubat kepada Engkau.”

2. Doa Mohon Ampunan Dosa di Dalam Shalat yang Kedua

Di antara doa ruku’ dan sujud adalah seperti yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Muslim, dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, yang mana beliau mangatakan bahwa dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca di ruku’ dan sujudnya, do’a:

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي

“Maha suci Engkau, ya Allah, Rabb kami, dan dengan memujiMu, ya Allah, ampunilah aku.”

3. Doa Mohon Ampunan Dosa di Dalam Shalat yang Ketiga

Di antara doa-doa bangkit dari ruku’ adalah sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim dari sahabat ‘Abdullah bin Abi ‘Aufa, dan beliau menceritakan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwasanya dahulu beliau membaca:

اللَّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ مِلْءَ السَّمَاءِ وَمِلْءَ الأَرْضِ وَمِلْءَ مَا شِئْتَ مِنْ شَىْءٍ بَعْدُ اللَّهُمَّ طَهِّرْنِى بِالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ وَالْمَاءِ الْبَارِدِ اللَّهُمَّ طَهِّرْنِى مِنَ الذُّنُوبِ وَالْخَطَايَا كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الأَبْيَضُ مِنَ الْوَسَخِ

“Ya Allah, segala puji bagiMu, sepenuh langit dan bumi, serta sepenuh apa-apa yang Engkau kehendaki setelah itu. Ya Allah, bersihkanlah aku dengan es, embun, dan air yang dingin. Ya Allah, bersihkanlah aku dari dosa-dosa dan kesalahan sebagaimana baju yang putih dibersihkan dari kotoran.”

Dan diriwayat yang lain disebutkan: “(Do’a ini dibaca) Ketika mengangkat punggungnya dari ruku’.”

4. Doa Mohon Ampunan Dosa di Dalam Shalat yang Keempat

Di antara doa-doa sujud adalah sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu membaca di dalam sujudnya:

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِى ذَنْبِى كُلَّهُ دِقَّهُ وَجِلَّهُ وَأَوَّلَهُ وَآخِرَهُ وَعَلاَنِيَتَهُ وَسِرَّهُ

“Ya Allah, ampunilah dosaku seluruhnya, baik itu yang samar/kecil maupun yang besar, baik itu yang awal maupun yang akhir, baik itu yang sembunyi-sembunyi maupun yang terang-terangan.”

5. Doa Mohon Ampunan Dosa di Dalam Shalat yang Kelima

Pada saat duduk di antara dua sujud juga ditekankan untuk memperbanyak istighfar. Diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, dari sahabat Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu duduk di antara dua sujud, dan lamanya duduk sama dengan lamanya beliau ketika sujud. Dan saat itu beliau membaca:

رَبِّ اغْفِرْ لِي، رَبِّ اغْفِرْ لِي

“Wahai Rabb-ku, ampunilah aku. Wahai Rabb-ku, ampunilah aku.”

6. Doa Mohon Ampunan Dosa di Dalam Shalat yang Keenam

Dan sebelum salam, dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memohon ampun kepada Allah. Di dalam Shahih Muslim, dari sahabat ‘Ali radhiyallahu ‘anhu (diriwayatkan) bahwa, bacaan yang dibaca oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam di antara tasyahud akhir dan salam adalah:

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِى مَا قَدَّمْتُ وَمَا أَخَّرْتُ وَمَا أَسْرَرْتُ وَمَا أَعْلَنْتُ وَمَا أَسْرَفْتُ وَمَا أَنْتَ أَعْلَمُ بِهِ مِنِّى أَنْتَ الْمُقَدِّمُ وَأَنْتَ الْمُؤَخِّرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ

“Ya Allah, ampunilah dosaku, baik itu yang sudah kudahulukan ataupun yang kuakhirkan, baik itu yang kurahasiakan ataupun yang kutampakkan, atau juga yang kulakukan secara berlebihan, serta apa yang Engkau lebih mengetahui daripada diriku. Engkau yang mendahulukan dan mengakhirkan. Tidak ada Tuhan yang berhak disembah, kecuali Engkau.”

7. Doa Mohon Ampunan Dosa di Dalam Shalat yang Ketujuh

Setelah salam seorang Muslim juga dianjurkan beristighfar, meminta ampun kepada Allah. Imam Muslim meriwayatkan dari sahabat Tsauban radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan bahwa dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika selesai dari shalatnya, beliau beristighfar sebanyak tiga kali kemudian membaca:

اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلاَمُ وَمِنْكَ السَّلاَمُ تَبَارَكْتَ ذَا الْجَلاَلِ وَالإِكْرَامِ

“Ya Allah, Engkaulah As-Salaam (Yang Selamat dari kejelekan-kejelekan, kekurangan-kekurangan, dan kerusakan-kerusakan) dan dariMu keselamatan. Maha Berkah Engkau, Wahai Dzat Yang Maha Agung dan Maha Baik.”

Dari bacaan-bacaan doa tersebut, kita mengetahui bahwa shalat merupakan ibadah yang di dalamnya penuh dengan permohonan ampun seorang hamba kepada Rabb-nya. Maka dari itu, shalat merupakan salah satu sebab diampuninya dosa-dosa seorang hamba.

 

Pengaruh Buruk Dosa dan Maksiat

Apabila kita amati, saat ini begitu banyak kita temukan tindak kemaksiatan yang terjadi. Hampir setiap hari bisa kita saksikan, baik itu secara langsung maupun melalui media. Jika dahulu, orang masih sembunyi-sembunyi dalam melakukan maksiat, maka sekarang, orang-orang sepertinya sudah mulai terang-terangan dalam melakukannya.

Apakah mereka, para pelaku kemaksiatan, tidak tahu bahwa maksiat itu merupakan penutup pintu keberkahan rezeki? Apakah mereka tidak tahu bahwa kemaksiatan itu bisa menghilangkan nikmat ketenangan lahir dan batin? Apakah mereka tidak menyadari bahwa kemaksiatan akan merusak hati-hati mereka? Apakah mereka tidak tahu bahwa kemaksiatan itu akan menyebabkan turunnya bencana? Apakah mereka tidak mengetahui bahwa dosa dan maksiat bisa menggetarkan bumi dan menjadikan langit gelap?

Perlu diketahui bersama, bahwa dosa dan maksiat itu sungguh sangat berbahaya bagi kehidupan dunia dan akhirat seseorang. Dosa dan maksiat juga akan merusak hati seperti halnya racun yang merusak tubuh. Sebagian ulama mengatakan, “Apakah ada keburukan dan penyakit (musibah) yang menimpa seseorang di dunia dan di akhirat yang tidak disebabkan oleh dosa dan maksiat?” Mari kita pikirkan bersama…

Apa yang menyebabkan Adam dan Hawa dikeluarkan dari surga yang penuh kenikmatan ke dunia yang penuh cobaan dan kesedihan?
Apa yang menyebabkan iblis dikeluarkan dari kerajaan langit, diusir, dan dilaknat hingga hari kiamat, serta dimasukkan ke dalam api neraka yang menyala-nyala untuk selama-lamanya?
Apa yang menyebabkan kaum Nabi Nuh ‘alaihis salam ditenggelamkan dengan air yang mengepungnya hingga ke puncak gunung?
Apa yang menyebabkan kaum ‘Aad dibinasakan dengan angin yang sangat dingin lagi kencang selama berhari-hari, hingga akhirnya mereka mati bergelimpangan seakan-akan mereka batang pohon kurma yang telah lapuk?
Apa yang menyebabkan dikirimnya petir yang sangat keras kepada kaum Tsamud sehingga mereka binasa dengannya?
Apa yang menyebabkan diturunkannya hujan batu dan dijungkirbalikkannya kota kaum Nabi Luth ‘alaihis salam hingga membinasakan penduduknya dan meluluhlantakkan seluruh isinya?
Apa yang menyebabkan dikirimnya awan panas yang akhirnya membinasakan kaum Nabi Syu’aib ‘alaihis salam?
Apa yang menyebabkan ditenggelamkannya Fir’aun dan kaumnya ke dasar lautan dan dilemparkannya ruh-ruh mereka ke neraka Jahannam?
Apa yang menyebabkan Qarun ditenggelamkan ke dalam tanah beserta harta kekayaannya?
Dan apa sekiranya yang menyebabkan turunnya musibah dan bencana kepada umat setelah mereka?

Ya, penyebab itu semua tidak lain tidak bukan adalah karena dosa dan kemaksiatan yang mereka lakukan. Begitu dahsyat pengaruh dosa dan kemaksiatan terhadap diri seseorang maupun kepada suatu kaum.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَا أَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri.” (QS Asy-Syura [42]: 30)

Dari contoh-contoh di atas, kita bisa mengetahui betapa dahsyatnya pengaruh dosa dan maksiat terhadap pribadi maupun suatu kaum. Dosa dan maksiat juga mempunyai pengaruh yang buruk terhadap rezeki seseorang. Telah kita ketahui bersama, bahwa seseorang yang bertakwa kepada Allah dengan sebenar-benar takwa, niscaya akan dimudahkan segala urusannya dan dimudahkan pula rezekinya. Dan sebaliknya, seseorang yang gemar melakukan dosa dan maksiat, maka Allah akan sempitkan pintu rezekinya.

Mungkin sebagian kita akan bertanya, “Kenapa ada di antara orang-orang kafir, orang-orang fasiq, dan orang-orang yang gemar melakukan maksiat, yang memiliki harta yang banyak dan rezeki yang luas?” Maka jawabannya adalah, hal itu merupakan suatu bentuk istidraj, yaitu adzab dan hukuman yang tidak diberikan secara langsung. Allah Ta’ala menutup pintu hidayah dan sengaja menunda hukuman bagi mereka agar kelak di hari kiamat mereka benar-benar merasakan pedihnya adzab dariNya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا رَأَيْتَ اللهَ يُعْطِي الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا عَلَى مَعَاصِيهِ مَا يُحِبُّ، فَإِنَّمَا هُوَ اسْتِدْرَاجٌ

“Jika kamu menyaksikan ada seseorang yang Allah berikan padanya (kelapangan dalam masalah) dunia padahal ia gemar melakukan maksiat, maka ketahuilah bahwa hal itu merupakan istidraj.”

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan Surat Al-An’am (6), ayat ke-44:

فَلَمَّا نَسُواْ مَا ذُكِّرُواْ بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُواْ بِمَا أُوتُواْ أَخَذْنَاهُم بَغْتَةً فَإِذَا هُم مُّبْلِسُونَ

“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka, sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.”” (HR Ahmad [4/145], dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah di dalam Ash-Shahihah no. 413)

Itulah beberapa contoh dari pengaruh dosa dan kemaksiatan, dan hendaknya dengan melihat dan memahami hal ini kita bisa semakin hati-hati dalam berbuat dan bertindak. Dan semoga semakin kuat pula tekad kita untuk meninggalkan dosa dan maksiat yang mungkin selama ini masih kita lakukan. Mari kita manfaatkan sisa umur yang ada untuk bersimpuh di hadapanNya, menangisi dosa dan kesalahan kita, serta meminta ampunan kepada Allah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Sebesar apa pun dosa-dosa kita, insya Allah akan mendapat ampunan dari Allah selama kita tidak melakukan kesyirikan kepadaNya dan selama kita bertaubat kepadaNya dengan taubat nashuha. Di dalam hadits qudsi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Allah Ta’ala berfirman:

يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِي بِقُرَابِ الأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيتَنِي لاَ تُشْرِكُ بِي شَيْئًا لأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً

“Wahai anak Adam, sesungguhnya jika engkau datang kepadaKu dengan membawa dosa sepenuh bumi, kemudian engkau menemuiKu dalam keadaan tidak menyekutukanKu dengan sesuatu apa pun, maka sungguh Aku akan mendatangiMu dengan ampunan sebesar itu pula.”” (HR At-Tirmidzi)

Dan sebagai penutup, penulis bawakan firman Allah Ta’ala yang semoga bisa membuat kita selalu berhati-hati terhadap adzab Allah yang bisa kapan saja datang. Allah Ta’ala berfirman:

أَوَ أَمِنَ أَهْلُ الْقُرَى أَن يَأْتِيَهُمْ بَأْسُنَا ضُحًى وَهُمْ يَلْعَبُونَ، أَفَأَمِنُواْ مَكْرَ اللهِ فَلاَ يَأْمَنُ مَكْرَ اللهِ إِلاَّ الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ

“Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalan naik ketika mereka sedang bermain? Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiada yang merasa aman dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi.” (QS Al-A’raf [7]: 98-99)

 

 

Keutamaan Amal Shalih

Amal shalih merupakan suatu bentuk perniagaan yang sangat menguntungkan dan ia ibarat harta ghanimah yang jumlahnya sangat banyak. Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللهِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرّاً وَعَلَانِيَةً يَرْجُونَ تِجَارَةً لَّن تَبُورَ، لِيُوَفِّيَهُمْ أُجُورَهُمْ وَيَزِيدَهُم مِّن فَضْلِهِ إِنَّهُ غَفُورٌ شَكُورٌ

“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah, mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi. Agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karuniaNya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.” (QS Fathir [35]: 29-30)

Amal shalih merupakan sebab pendorong (datangnya) kebahagiaan dan menjadi pengusir bagi kesengsaraan. Allah Ta’ala berfirman:

مَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS An-Nahl [16]: 97)

Amal shalih juga merupakan sebaik-baik hal yang diharapkan, dan seutama-utamanya simpanan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

مَن كَفَرَ فَعَلَيْهِ كُفْرُهُ وَمَنْ عَمِلَ صَالِحاً فَلِأَنفُسِهِمْ يَمْهَدُونَ

“Barangsiapa yang kafir maka dia sendirilah yang menanggung (akibat) kekafirannya itu, dan barangsiapa yang beramal shalih maka untuk diri mereka sendirilah mereka menyiapkan (tempat yang menyenangkan).” (QS Ar-Rum [30]: 44)

Maksudnya, yaitu (dengan amal shalih itu sejatinya) mereka mempersiapkan, menyediakan, dan mempersembahkan (tempat yang menyenangkan bagi dirinya sendiri di akhirat).

Amal shalih menjamin pelakunya untuk memperoleh kemenangan yang berupa surga, dan memperoleh ridha Allah yang Maha Pengasih. Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُوْلَئِكَ هُمْ خَيْرُ الْبَرِيَّةِ، جَزَاؤُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَداً رَّضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ذَلِكَ لِمَنْ خَشِيَ رَبَّهُ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga ‘Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepadaNya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya.” (QS Al-Bayyinah [98]: 7-8)

Dan bersamaan dengan hati, amal shalih (dijadikan sebagai) tolak ukur oleh Allah untuk melihat (tingkat ketakwaan hamba-hambaNya) dan sarana untuk memperoleh pahala dariNya. Di dalam Shahih Muslim disebutkan sebuah hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, yang menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ

“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa dan harta kalian. Akan tetapi, Allah melihat kepada hati dan amal shalih kalian.”

Amal shalih juga merupakan sebaik-baiknya teman karib dan merupakan sahabat yang paling utama (bagi kita). Di dalam kitab Shahihain (Shahih Al-Bukhari dan Muslim), hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, disebutkan bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَتْبَعُ المَيِّتَ ثَلاَثَةٌ، فَيَرْجِعُ اثْنَانِ وَيَبْقَى وَاحِدٌ، يَتْبَعُهُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَعَمَلُهُ، فَيَرْجِعُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ، وَيَبْقَى عَمَلُهُ

“Ada tiga perkara yang akan mengiringi seorang yang meninggal dunia. Dua perkara akan kembali, dan hanya satu yang akan tetap tinggal. Perkara yang akan mengiringinya: keluarga, harta, dan amalannya. Namun keluarga dan hartanya akan pulang (meninggalkannya), dan hanya amalannyalah yang akan tetap tinggal (menemaninya).”

Dahulu pernah ditanyakan kepada sebagian orang-orang bijak, “Siapakan teman yang paling setia?” Maka mereka menjawab, “Amal shalih”.

Perhatikanlah baik-baik, bagaimana peran “teman setia” (yaitu amal shalih) tersebut di hari yang penuh kesedihan, yaitu di hari ketika ia didatangkan kepada pelakunya saat berada di dalam kubur. Disebutkan di dalam Musnad Imam Ahmad, dari Al-Barra bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu, sebuah hadits yang panjang, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika beliau menyebutkan kondisi mayit saat dimasukkan ke dalam kuburnya, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan kondisi seorang mukmin, dan bersabda:

وَيَأْتِيهِ رَجُلٌ حَسَنُ الْوَجْهِ حَسَنُ الثِّيَابِ طَيِّبُ الرِّيحِ فَيَقُولُ: أَبْشِرْ بِالَّذِي يَسُرُّكَ، هَذَا يَوْمُكَ الَّذِي كُنْتَ تُوعَدُ، فَيَقُولُ لَهُ مَنْ أَنْتَ؟ فَوَجْهُكَ الْوَجْهُ يَجِيءُ بِالْخَيْرِ، فَيَقُولُ أَنَا عَمَلُكَ الصَّالِحُ

“Dan datang kepadanya seorang laki-laki yang berwajah tampan, berpakaian rapi, dan wangi aromanya, kemudian ia berkata, “Berbahagialah dengan hal yang membuatmu senang. Inilah hari yang dahulu dijanjikan kepadamu.” Maka seorang mukmin itu bertanya kepadanya, “Siapakah engkau? Wajahmu adalah wajah yang membawa kebaikan.” Maka ia pun menjawab, “Aku adalah amal shalihmu.””

Lihatlah betapa menyenangkannya keadaan orang mukmin tersebut dengan amal shalihnya saat itu, dan betapa gembiranya ia dengan teman karib dan sahabatnya tersebut di hari yang mana para pelaku kejelekan merugi dan mereka yang melampaui batas (ketika di dunia) merasakan penyesalannya.

Demikianlah beberapa keutamaan amal shalih, dan sungguh suatu amalan itu tidak akan bisa menjadi shalih kecuali jika dilakukan ikhlas untuk Allah dan sesuai dengan Sunnah (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Hal ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala:

… فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاء رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحاً وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَداً

“… Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (QS Al-Kahfi [18]: 110)

Dan Allah Ta’ala juga berfirman:

… لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً

“… Supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (QS Al-Mulk [67]: 2)

Al-Fudhail bin ‘Iyyadh rahimahullah berkata (tentang ayat ini): “Yaitu yang paling ikhlas dan paling benar,” kemudian dikatakan kepadanya, “Wahai Aba ‘Ali (Al-Fudhail bin ‘Iyyadh), apa maksud dari yang paling ikhlas dan paling benar?” Beliau berkata, “Sesungguhnya suatu amal jika dilakukan dengan tidak ikhlas, maka tidak dikatakan benar, dan akhirnya tidak diterima. Dan jika sudah benar namun tidak ikhlas, maka tetap tidak diterima hingga amal tersebut dilakukan dengan ikhlas dan benar. Ikhlas berarti apa-apa yang dilakukannya itu hanya ditujukan untuk Allah saja. Benar berarti apa-apa yang dilakukan itu sesuai dengan petunjuk Sunnah (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).”

 

Pemimpin: Antara Keadilan & Kezaliman

Berbicara tentang pemimpin dalam menjalankan praktek kepemimpinannya baik di perguruan tinggi, pemerintahan, perusahaan, atau di lembaga-lembaga lainnya selalu dihubungkaitkan dengan sikap keadilan dan kezaliman. Keadilan dan kezaliman itu berhubungan dengan cara seorang pemimpin memperlakukan orang-orang yang berada di bawah kepemimpinannya.

Bila seorang pemimpin itu memperlakukan para bawahannya dengan baik, mendudukkan sesuatu (seseorang) itu pada tempatnya, menghargai staff sesuai kinerja dan prestasinya, tidak pilih kasih, tidak bersikap diskriminatif dan mengedepankan prinsip transparansi dan profesionalitas dalam kepemimpinannya, berarti ia sudah berbuat adil. Sebaliknya bila seorang pemimpin itu memperlakukan bawahannya secara tidak baik, tidak mendudukan sesuatu (seseorang) pada tempatnya, tidak pandai menghargai staffnya yang berprestasi, bersikap pilih kasih (like and dislike) dan diskriminatif, kurang transparan dan tidak profesional, suka menahan hak-hak bawahan yang harus diterimanya, berarti ia sudah berbuat zalim.

Pemimpin yang adil atau zalim sangat berkaitan dengan integritas dan kepribadian seseorang. Ianya belum tentu ada kaitannya dengan tingkat pendidikan seseorang. Tidak ada jaminan, pemimpin yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi lalu dengan serta merta memiliki integritas dan kepribadian yang baik. buktinya sudah banyak orang yang berpendidikan tinggi di negara kita ini, pada saat diberi kesempatan untuk menjadi pemimpin tidak mampu menjadi qudwah (teladan yang baik). sebaliknya orang-orang biasa yang dengan pendidikan rendah malahan mampu menunjukkan suatu kepemimpinan yang baik dan berprestasi.

Bersikap adil dalam menjalankan kepemimpinan ini sangat ditekankan oleh ajaran agama. Bahkan menurut al-quran keadilan itu tidak hanya diberikan kepada orang-orang yang disukai tapi juga kepada orang-orang yang dibenci.

“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan’ (Q.S. Al-Maidah: 8)-

Pemimpin yang adil nanti di hari kiamat akan mendapat perlindungan dari Allah swt “Abu hurairah r.a: berkata: bersabda nabi saw: ada tujuh macam orang yang bakal bernaung di bawah naungan allah, pada hati tiada naungan kecuali naungan allah: salah satunya adalah pemimpin yang adil (H.R. Bukhari Muslim).

Riwayat yang lain Rasulullah saw bersabda: sesungguhnya orang-orang yang berlaku adil, kelak disisi allah ditempatkan diatas mimbar dari cahaya, ialah mereka yang adil dalam hokum terhadap keluarga dan apa saja yang diserahkan (dikuasakan) kepada mereka. (H.R.Muslim).

Hal senada juga dinyatakan dalam satu riwayat Rasulullah saw bersabda: orang-orang ahli surga ada tiga macam: raja yang adil, mendapat taufiq hidayat ( dari allah). Dan orang belas kasih lunak hati pada sanak kerabat dan orang muslim. Dan orang miskin berkeluarga yang tetap menjaga kesopanan dan kehormatan diri. (H.R. Muslim).

Sebaliknya para pemimpin yang zalim (berbuat aniaya) akan menjadi sumber malapetaka baik bagi dirinya maupun bagi yang lainnya baik di dunia maupun di akhirat:

Rasulullah saw bersabda: sesungguhnya sejahat-jahat pemerintah yaitu yang kejam (otoriter), maka janganlah kau tergolong daripada mereka. (HR. Bukhar dan Muslim)

Dalam riwayat yang lain Rasulullah saw bersabda: siapa yang diserahi oleh allah mengatur kepentingan kaum muslimin, yang kemudian ia sembunyi dari hajat kepentingan mereka, maka allah akan menolak hajat kepentingan dan kebutuhannya pada hari qiyamat. Maka kemudian muawiyah mengangkat seorang untuk melayani segala hajat kebutuhan orang-orang (rakyat). (H.R. Abu Dawud & Tirmidzy)

Rasulullah saw bersabda: tidak akan masuk surga orang yang suka menipu, orang yang bakhil, orang yang suka mengungkit-ungkit kebaikan/pemberian, dan pemimpin yang buruk. Orang yang pertama kali masuk surga adalah budak yang taat kepada allah dan taat kepada majikannya. (H..R.Turmudzi)

Rasulullah saw bersabda: tiada seorang yang diamanati oleh allah memimpin rakyat kemudian ketika ia mati ia masih menipu rakyatnya, melainkan pasti Allah mengharamkan baginya surga. (H.R. Bukhari dan Muslim)

Umar bin ‘Abdul-Aziz rahimahullah berkata,”Masyarakat umum bisa binasa karena ulah orang-orang (kalangan) khusus (para pemimpin). Sementara kalangan khusus tidaklah binasa karena ulah masyarakat. Kalangan khusus itu adalah para pemimpin. Berkaitan dengan makna inilah Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zhalim saja di antara kamu” [Q.S. Al-Anfâl:25]. Al-Walid bin Hisyam berkata,”Sesungguhnya rakyat akan rusak karena rusaknya pemimpin, dan akan menjadi baik karena baiknya pemimpin. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

 

 

 

Manusia Tidak Pernah Merasa Puas dengan Harta

Inilah sifat manusia, tidak pernah merasa puas dengan harta. Buktinya adalah hadits-hadits berikut:

Pertama:
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« تَعِسَ عَبْدُ الدِّينَارِ وَالدِّرْهَمِ وَالْقَطِيفَةِ وَالْخَمِيصَةِ ، إِنْ أُعْطِىَ رَضِىَ ، وَإِنْ لَمْ يُعْطَ لَمْ يَرْضَ »“Celakalah hamba dinar, hamba dirham, hamba pakaian dan hamba mode. Jika diberi, ia ridho. Namun jika tidak diberi, ia pun tidak ridho”. (HR. Bukhari no. 6435)

Kedua:
Dari Ibnu ‘Abbas, ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,لَوْ كَانَ لاِبْنِ آدَمَ وَادِيَانِ مِنْ مَالٍ لاَبْتَغَى ثَالِثًا ، وَلاَ يَمْلأُ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إِلاَّ التُّرَابُ ، وَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَى مَنْ تَابَ“Seandainya manusia diberi dua lembah berisi harta, tentu ia masih menginginkan lembah yang ketiga. Yang bisa memenuhi dalam perut manusia hanyalah tanah. Allah tentu akan menerima taubat bagi siapa saja yang ingin bertaubat.” (HR. Bukhari no. 6436)

Ketiga:
Dari Ibnu ‘Abbas, ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,لَوْ أَنَّ لاِبْنِ آدَمَ مِثْلَ وَادٍ مَالاً لأَحَبَّ أَنَّ لَهُ إِلَيْهِ مِثْلَهُ ، وَلاَ يَمْلأُ عَيْنَ ابْنِ آدَمَ إِلاَّ التُّرَابُ ، وَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَى مَنْ تَابَ“Seandainya manusia memiliki lembah berisi harta, tentu ia masih menginginkan harta yang banyak semisal itu pula. Mata manusia barulah penuh jika diisi dengan tanah. Allah tentu akan menerima taubat bagi siapa saja yang ingin bertaubat.” (HR. Bukhari no. 6437)

Keempat:
Ibnu Az Zubair pernah berkhutbah di Makkah, lalu ia mengatakan,يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَقُولُ « لَوْ أَنَّ ابْنَ آدَمَ أُعْطِىَ وَادِيًا مَلأً مِنْ ذَهَبٍ أَحَبَّ إِلَيْهِ ثَانِيًا ، وَلَوْ أُعْطِىَ ثَانِيًا أَحَبَّ إِلَيْهِ ثَالِثًا ، وَلاَ يَسُدُّ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إِلاَّ التُّرَابُ ، وَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَى مَنْ تَابَ »“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya manusia diberi lembah penuh dengan emas, maka ia masih menginginkan lembah yang kedua semisal itu. Jika diberi lembah kedua, ia pun masih menginginkan lembah ketiga. Perut manusia tidaklah akan penuh melainkan dengan tanah. Allah tentu menerima taubat bagi siapa saja yang bertaubat.” (HR. Bukhari no. 6438)

Dari Anas, dari Ubay, beliau mengatakan, “Kami kira perkataan di atas adalah bagian dari Al Qur’an, hingga Allah pun menurunkan ayat,أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ“Bermegah-megahan dengan harta telah mencelakakan kalian.” (QS. At Takatsur: 1). (HR. Bukhari no. 6440)
Bukhari membawakan hadits di atas dalam Bab “Menjaga diri dari fitnah (cobaan) harta.”
Beberapa faedah dari hadits-hadits di atas:  Pertama: Manusia begitu tamak dalam memperbanyak harta. Manusia tidak pernah merasa puas dan merasa cukup dengan apa yang ada.  Kedua: Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Perut manusia tidaklah akan penuh melainkan dengan tanah”, maksudnya: Tatkala manusia mati, perutnya ketika dalam kubur akan dipenuhi dengan tanah. Perutnya akan merasa cukup dengan tanah tersebut hingga ia pun kelak akan menjadi serbuk. (Syarh Ibnu Batthol)  Ketiga: Hadits ini adalah celaan bagi orang yang terlalu tamak dengan dunia dan tujuannya hanya ingin memperbanyak harta. Oleh karenanya, para ulama begitu qona’ah dan selalu merasa cukup dengan harta yang mereka peroleh. (Syarh Ibnu Batthol)  Keempat: Hadits ini adalah anjuran untuk zuhud pada dunia. Yang namanya zuhud pada dunia adalah meninggalkan segala sesuatu yang melalaikan dari Allah. (Keterangan Ibnu Rajab dalam Jaami’ul Ulum wal Hikam)  Kelima: Manusia akan diberi cobaan melalui harta. Ada yang bersyukur dengan yang diberi. Ada pula yang tidak pernah merasa puas.

 Raihlah Kekayaan HakikiRasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ“Kekayaan (yang hakiki) bukanlah dengan banyaknya harta. Namun kekayaan (yang hakiki) adalah hati yang selalu merasa cukup.” (HR. Bukhari no. 6446 dan Muslim no. 1051). Bukhari membawakan hadits ini dalam Bab “Kekayaan (yang hakiki) adalah kekayaan hati (hati yang selalu merasa cukup).”

Ya Allah, Berikanlah Kepada Kami KecukupanOleh karena itu, banyak berdo’alah pada Allah agar selalu diberi kecukupan. Do’a yang selalu dipanjatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah do’a:اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالْعَفَافَ وَالْغِنَى

Allahumma inni as-alukal huda wat tuqo wal ‘afaf wal ghina” (Ya Allah, aku meminta pada-Mu petunjuk, ketakwaan, diberikan sifat ‘afaf dan ghina) (HR. Muslim no. 2721)
An Nawawi –rahimahullah- mengatakan, “”Afaf dan ‘iffah bermakna menjauhkan dan menahan diri dari hal yang tidak diperbolehkan. Sedangkan al ghina adalah hati yang selalu merasa cukup dan tidak butuh pada apa yang ada di sisi manusia.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al Hajjaj, 17/41, Dar Ihya’ At Turots Al ‘Arobi). Berarti dalam do’a ini kita meminta pada Allah [1] petunjuk (hidayah), [2] ketakwaan, [3] sifat menjauhkan diri dari yang haram, dan [4] kecukupan.

Semoga Allah menjadikan kita sebagai hamba yang selalu memiliki sifat ghina yang selalu merasa cukup dengan nikmat harta yang Allah berikan.

 

 

 

;