Etika Sholat Jumat

Sebagai ritual keagamaan yang kembali ke praktik Nabi, shalat Jumat memegang tempat khusus bagi umat Islam. Sholat Jum’at merupakan pengganti dari sholat dhuhur dan hanya dikerjakan di hari Jumat. Pengerjaanya secara berjamaah minimal 40 orang. Dalil sholat Jumat dalam Al-Quran dan Hadits berisikan tentang pujian dan keberkahan sholat Jumat.

Jika Anda menghabiskan hari Jumat untuk mengingat Allah dan berdoa kepada Allah, Anda akan mendapat ganjaran yang berlimpah dari Allah. Oleh orang Muslim, Jumat biasa juga disebut sebagai hari berkumpul. Pria Muslim diwajibkan mengerjakan sholat Jum’at selama tidak bepergian, sementara wanita diperbolehkan untuk mengerjakan dan tidak mendapatkan dosa apabila tidak mengerjakan.

Etika Saat Akan Mengerjakan Sholat Jumat

1. Mandi

Sesuai dengan dalil sholat Jumat yang dijelaskan oleh Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwasanya Abdullah Umar r.a mengatakan: “Saya mendengar Rasul Allah, Muhammad SAW bersabda:‘ Ketika salah satu dari Anda ingin pergi sholat Jumat, hendaknya Anda mandi terlebih dahulu. ”

Ini berarti bahwa sebelum berangkat untuk mengerjakan sholat Jumat diwajibkan mandi.

2. Memotong kuku, Mengenakan pakaian bersih, siwak dan mengoleskan parfum

Ingatlah pada hari Jumat Anda memiliki kesempatan besar untuk beribadah. Pastikan Anda juga mencabut rambut ketiak, mencukur rambut kemaluan dan memotong kuku. Jangan ragu untuk berlama-lama di kamar mandi demi membersihkan semua aspek tubuh Anda dan kemudian memakai wewangian yang tidak mengandung alkohol.

Pastikan pakaian Anda bersih sempurna, kalau bisa berwarna putih. Selain itu, jagalah kebersihan mulut secara luar biasa. Habiskan waktu 4 menit yang disarankan untuk siwak dan gunakan obat kumur non alkohol.

3. Pergi ke masjid lebih awal

Seyogyanya Anda pergi ke masjid benar-benar di awal waktu, dua tau tiga jam sebelum sholat Jumat dimulai. Bukan malah baru berangkat 10menit sebelum khutbah Jumat dimulai.

4. Berangkat ke masjid dengan jalan kaki

Berangkat ke masjid dengan jalan kaki merupakan suatu kesunnahan. Dan satu langkah kaki menuju masjid untuk mengerjakan sholat diganjar 1 pahala kebaikan.

Sholat Jum’at adalah salah satu amalan wajib yang paling ditekankan dalam Islam. Jika Anda terlambat untuk sholat Jum’at atau menjadi imam masbuk dan hanya menjumpai sholat jamaah 1 rokaat saja, Anda harus menyelesaikan shalat Anda setelah imam salam. Dan jika Anda tidak mengerjakan sholat Jumat maka Anda harus menggantinya dengan sholat dhuhur.

Adab Berperang Dalam Islam

Perang memang sudah pasti terjadi sejak zaman nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallam sampai dengan sekarang. Baru-baru ini kita sering melihat berita yang sedang hangat yaitu perang di Gaza dengan Israel. Perang tersebut sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat yang ada di sekitar.

Islam adalah agama yang mengatur semua perilaku termasuk dalam perang. Ada adab berperang dalam Islam yang harus dilakukan ketika umat Islam sedang berperang. Sesuai dengan surat Al-Baqarah ayat 193 yang intinya “perangilah mereka sehingga tidak ada lagi penganiayaan dan ketaatan hanya kepada Allah.

Setiap agama pasti tidak ada perintah untuk saling menganiaya ataupun membunuh sesama manusia. Karena jika sudah masuk dalam ranah pemelukan agama, setiap orang berhak memilih gama yang dikehendakinya seperti yang dijelaskan dalam surat Al-Kafirun dalam agama Islam.

Agama Islam tidak menyukai adanya peperangan namun jika memang peperangan harus dilakukan untuk menyelamatkan seseorang boleh dilakukan, asalkan sesuai dengan aturan yang sudah dijelaskan dalam Al-Quran. Berikut ini beberapa adab berperang dalam Islam, semoga kita bisa mengamalkannya.

Selain pernah diperbolehkan untuk menolong orang yang teraniaya perang juga bisa dilakukan karena ingin mempertahankan eksistensi rumah ibadah. Sudah sering kita dengar atau baca pastinya kisah Rasulullah dan sahabat-sahabatnya yang juga berperang karena ingin mempertahankan tempat ibadah umat Islam.

Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam sebenarnya tidak menyukai peperangan karena akan menghilangkan nyawa seseorang dan akan menimbulkan kerusakan. Namun, peperangan ini seperti obat pahit dan tidak disukai namun harus dilakukan jika itu menyangkut keamanan seseorang dan tempat ibadah suatu agama.

Pada saat berperang Islam melarang kita untuk membunuh orang yang sudah tua, wanita atau anak kecil, jika kita ingin membunuh seseorang maka jangan pernah kita lakukan mutilasi atau membunuh secara perlahan yang akan membuat teraniaya orang tersebut. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan menebas lehernya.

Selain ada aturan untuk orang ada juga aturan untuk lingkungan sekitar yaitu dilarang menebang pohon atau sampai meruntuhkan bangunan yang suci. Dan jangan pernah menghanguskan suatu daerah karena hal tersebut di larang oleh Alloh Subhanallah Wata’ala.

Semoga pesan ini bisa bermanfaat dan kita bisa mengamalkan adab berperang sesuai dengan apa yang telah diatur oleh Islam.

Adab Dalam Membaca Al-Quran

Al Qur’anul Karim adalah firman Alloh yang tidak mengandung kebatilan sedikitpun. Al Qur’an memberi petunjuk jalan yang lurus dan memberi bimbingan kepada umat manusia di dalam menempuh perjalanan hidupnya, agar selamat di dunia dan di akhirat, dan dimasukkan dalam golongan orang-orang yang mendapatkan rahmat dari Alloh Ta’ala. Untuk itulah tiada ilmu yang lebih utama dipelajari oleh seorang muslim melebihi keutamaan mempelajari Al-Qur’an. Sebagaimana sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam“Sebaik-baik kamu adalah orang yg mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari)

Ketika membaca Al-Qur’an, maka seorang muslim perlu memperhatikan adab-adab berikut ini untuk mendapatkan kesempurnaan pahala dalam membaca Al-Qur’an:

1. Membaca dalam keadaan suci, dengan duduk yang sopan dan tenang.

Dalam membaca Al-Qur’an seseorang dianjurkan dalam keadaan suci. Namun, diperbolehkan apabila dia membaca dalam keadaan terkena najis. Imam Haromain berkata, “Orang yang membaca Al-Qur’an dalam keadaan najis, dia tidak dikatakan mengerjakan hal yang makruh, akan tetapi dia meninggalkan sesuatu yang utama.” (At-Tibyan, hal. 58-59)

2. Membacanya dengan pelan (tartil) dan tidak cepat, agar dapat menghayati ayat yang dibaca.

Rosululloh bersabda, “Siapa saja yang membaca Al-Qur’an (khatam) kurang dari tiga hari, berarti dia tidak memahami.” (HR. Ahmad dan para penyusun kitab-kitab Sunan)

Sebagian sahabat membenci pengkhataman Al-Qur’an sehari semalam, dengan dasar hadits di atas. Rosululloh telah memerintahkan Abdullah Ibnu Umar untuk mengkhatam kan Al-Qur’an setiap satu minggu (7 hari) (HR. Bukhori, Muslim). Sebagaimana yang dilakukan Abdullah bin Mas’ud, Utsman bin Affan, Zaid bin Tsabit, mereka mengkhatamkan Al-Qur’an sekali dalam seminggu.

3. Membaca Al-Qur’an dengan khusyu’, dengan menangis, karena sentuhan pengaruh ayat yang dibaca bisa menyentuh jiwa dan perasaan.

Alloh Ta’ala menjelaskan sebagian dari sifat-sifat hamba-Nya yang shalih, “Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu’.” (QS. Al-Isra’: 109). Namun demikian tidaklah disyariatkan bagi seseorang untuk pura-pura menangis dengan tangisan yang dibuat-buat.

4. Membaguskan suara ketika membacanya.

Sebagaimana sabda Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam“Hiasilah Al-Qur’an dengan suaramu.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Al-Hakim). Di dalam hadits lain dijelaskan, “Tidak termasuk umatku orang yang tidak melagukan Al-Qur’an.” (HR. Bukhari dan Muslim). Maksud hadits ini adalah membaca Al-Qur’an dengan susunan bacaan yang jelas dan terang makhrojhurufnya, panjang pendeknya bacaan, tidak sampai keluar dari ketentuan kaidah tajwid. Dan seseorang tidak perlu melenggok-lenggokkan suara di luar kemampuannya.

5. Membaca Al-Qur’an dimulai dengan isti’adzah.

Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan bila kamu akan membaca Al-Qur’an, maka mintalah perlindungan kepada Alloh dari (godaan-godaan) syaithan yang terkutuk.”(QS. An-Nahl: 98)

Membaca Al-Qur’an dengan tidak mengganggu orang yang sedang shalat, dan tidak perlu membacanya dengan suara yang terlalu keras atau di tempat yang banyak orang. Bacalah dengan suara yang lirih secara khusyu’.

Rosululloh shollallohu ‘alaihiwasallam bersabda, “Ingatlah bahwasanya setiap dari kalian bermunajat kepada Rabbnya, maka janganlah salah satu dari kamu mengganggu yang lain, dan salah satu dari kamu tidak boleh bersuara lebih keras daripada yang lain pada saat membaca (Al-Qur’an).” (HR. Abu Dawud, Nasa’i, Baihaqi dan Hakim). Wallohu a’lam.

 

Adab Ketika Sakit

Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sifat hikmah dan keadilan-Nya menimpakan berbagai ujian dan cobaan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman pada khususnya, dan seluruh makhluk pada umumnya.


Di antara bentuk ujian dan cobaan itu adalah adanya berbagai jenis penyakit di zaman ini, karena kemaksiatan dan kedurhakaan umat terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.


ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ


“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Ar-Rum: 41)


Islam adalah agama yang sempurna, yang menuntut seorang muslim agar tetap menjaga keimanannya dan status dirinya sebagai hamba Allah.

Di antara bukti kesempurnaan Islam, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menuntunkan adab-adab yang baik ketika seorang hamba tertimpa sakit. Sehingga, dalam keadaan sakit sekalipun, seorang muslim masih bisa mewujudkan penghambaan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Di antara adab-adab tersebut adalah:


1. Sabar dan ridha atas ketentuan Allah Subhanahu wa Ta’ala, serta berbaik sangka kepada-Nya.
Dari Abu Yahya Shuhaib bin Sinan radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ، إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ لَهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرٌ لَهُ، وَإِذَا أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرٌ لَهُ

“Sungguh menakjubkan urusan orang yang beriman. Sesungguhnya semua urusannya baik baginya, dan sikap ini tidak dimiliki kecuali oleh orang yang mukmin. Apabila kelapangan hidup dia dapatkan, dia bersyukur, maka hal itu kebaikan baginya. Apabila kesempitan hidup menimpanya, dia bersabar, maka hal itu juga baik baginya.” (HR. Muslim)
Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلاَّ وَهُوَ يُحْسِنُ الظَّنَّ بِاللهِ تَعَالَى
“Janganlah salah seorang di antara kalian itu mati, kecuali dalam keadaan dia berbaik sangka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (HR. Muslim)

2. Berobat dengan cara-cara yang sunnah atau mubah dan tidak bertentangan dengan syariat.
Diriwayatkan dari Abud Darda` radhiyallahu ‘anhu secara marfu’:
إِنَّ اللهَ خَلَقَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ فَتَدَاوَوْا وَلاَ تَدَاوَوْا بِحَرَامٍ
“Sesungguhnya Allah menciptakan penyakit dan obatnya. Maka berobatlah kalian, dan jangan berobat dengan sesuatu yang haram.” (HR. Ad-Daulabi. Asy-Syaikh Al-Albani menyatakan sanad hadits ini hasan. Lihat Ash-Shahihah no. 1633)
Juga diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا أَنْزَلَ اللهُ مِنْ دَاءٍ إِلاَّ أَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً، عَلِمَهُ مَنْ عَلِمَهُ وَجَهِلَهُ مَنْ جَهِلَهُ
“Tidaklah Allah menurunkan satu penyakit pun melainkan Allah turunkan pula obat baginya. Telah mengetahui orang-orang yang tahu, dan orang yang tidak tahu tidak akan mengetahuinya.” (HR. Al-Bukhari. Diriwayatkan juga oleh Al-Imam Muslim dari Jabir radhiyallahu ‘anhu)
Di antara bentuk pengobatan yang sunnah adalah:
a. Madu dan berbekam
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الشِّفَاءُ فِي ثَلَاثَةٍ: شُرْبَةِ عَسَلٍ، وَشِرْطَةِ مُحَجِّمٍ، وَكَيَّةِ نَارٍ، وَأَنَا أَنْهَى عَنِ الْكَيِّ –وَفِي رِوَايَةٍ: وَلاَ أُحِبُّ أَنْ أَكْتَوِي
“Obat itu ada pada tiga hal: minum madu, goresan bekam, dan kay1 dengan api, namun aku melarang kay.” (HR. Al-Bukhari)
Dalam riwayat lain: “Aku tidak senang berobat dengan kay.”
b. Al-Habbatus sauda` (jintan hitam)
Dari Usamah bin Syarik radhiyallahu ‘anhu dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الْحَبَّةُ السَّوْدَاءُ شِفَاءٌ مِنْ كُلِّ دَاءٍ إِلاَ السَّامَ
“Al-Habbatus Sauda` (jintan hitam) adalah obat untuk segala penyakit, kecuali kematian.” (HR. Ath-Thabarani. Dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu bahwa sanadnya hasan, dan hadits ini punya banyak syawahid/pendukung)
c. Kurma ‘ajwah
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
فِي عَجْوَةِ الْعَالِيَةِ أَوَّلُ الْبُكْرَةِ عَلىَ رِيْقِ النَّفَسِ شِفَاءٌ مِنْ كُلِّ سِحْرٍ أَوْ سُمٍّ
“Pada kurma ‘ajwah ‘Aliyah yang dimakan pada awal pagi (sebelum makan yang lain) adalah obat bagi semua sihir atau racun.” (HR. Ahmad. Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu menyatakan hadits ini sanadnya jayyid (bagus). Lihat Ash-Shahihah no. 2000)
d. Ruqyah
Yaitu membacakan surat atau ayat-ayat Al-Qur’an atau doa-doa yang tidak mengandung kesyirikan, kepada orang yang sakit. Bisa dilakukan sendiri maupun oleh orang lain.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْءَانِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ
“Dan Kami turunkan dari Al-Qur`an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Al-Isra`: 82)
Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullahu dalam tafsirnya berkata: “Al-Qur`an itu mengandung syifa` (obat) dan rahmat. Namun kandungan tersebut tidak berlaku untuk setiap orang, hanya bagi orang yang beriman dengannya, yang membenarkan ayat-ayat-Nya, dan mengilmuinya. Adapun orang-orang yang zalim, yang tidak membenarkannya atau tidak beramal dengannya, maka Al-Qur`an tidak akan menambahkan kepada mereka kecuali kerugian. Dan dengan Al-Qur`an berarti telah tegak hujjah atas mereka.”
Obat (syifa`) yang terkandung dalam Al-Qur`an bersifat umum. Bagi hati/ jiwa, Al-Qur`an adalah obat dari penyakit syubhat, kejahilan, pemikiran yang rusak, penyimpangan, dan niat yang jelek. Sedangkan bagi jasmani, dia merupakan obat dari berbagai sakit dan penyakit.
Dari Abu Abdillah Utsman bin Abil ‘Ash radhiyallahu ‘anhu:
أَنَّهُ شَكَا إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَجَعًا يَجِدُ فِي جَسَدِهِ، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ضَعْ يَدَكَ عَلىَ الَّذِي يَأْلَمُ مِنْ جَسَدِكَ وَقُلْ: بِسْمِ اللهِ -ثَلَاثًا-؛ وَقُلْ سَبْعَ مَرَّاتٍ: أَعُوذُ بِعِزَّةِ اللهِ وَقُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أَجِدُ وَأُحَاذِرُ
Dia mengadukan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang rasa sakit yang ada pada dirinya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya: “Letakkanlah tanganmu di atas tempat yang sakit dari tubuhmu, lalu bacalah: بِسْمِ اللهِ (tiga kali), kemudian bacalah tujuh kali:
أَعُوذُ بِعِزَّةِ اللهِ وَقُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أَجِدُ وَأُحَاذِرُ
‘Aku berlindung dengan keperkasaan Allah dan kekuasaan-Nya, dari kejelekan yang aku rasakan dan yang aku khawatirkan’.” (HR. Muslim)
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjenguk sebagian keluarganya (yang sakit) lalu beliau mengusap dengan tangan kanannya sambil membaca:
اللَّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ أَذْهِبِ الْبَأْسَ، اشْفِ، أَنْتَ الشَّافِي لاَ شِفَاءَ إِلاَّ شِفَاءُكَ، شِفَاءً لاَ يُغَادِرُ سَقَمًا
“Ya Allah, Rabb seluruh manusia, hilangkanlah penyakit ini. Sembuhkanlah, Engkau adalah Dzat yang Maha Menyembuhkan. (Maka) tidak ada obat (yang menyembuhkan) kecuali obatmu, kesembuhan yang tidak meninggalkan penyakit.” (Muttafaqun ‘alaih)
Atau berobat dengan cara-cara yang mubah, misalkan berobat ke dokter atau orang lain yang memiliki keahlian dalam pengobatan seperti ramuan, refleksi, akupunktur, dan sebagainya.
Adapun berobat kepada tukang sihir atau dukun, atau dengan cara-cara perdukunan semacam mantera yang mengandung unsur syirik, atau rajah-rajah yang tidak diketahui maknanya, maka haram hukumnya, dan bisa menyebabkan seseorang keluar (murtad) dari Islam. Dari Mu’awiyah ibnul Hakam radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Aku berkata:
يَا رَسُولَ اللهِ، إِنِّي حَدِيثُ عَهْدٍ بِالْجَاهِلِيَّةِ وَقَدْ جَاءَ اللهُ تَعَالَى بِالْإِسْلاَمِ وَمِنَّا رِجَالًا يَأْتُونَ الْكُهَّانَ. قَالَ: فَلاَ تَأْتِهِمْ
“Wahai Rasulullah, aku baru saja meninggalkan masa jahiliah. Dan sungguh Allah telah mendatangkan Islam. Di antara kami ada orang-orang yang mendatangi para dukun.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah engkau mendatangi mereka (para dukun).” (HR. Muslim)
Dari Shafiyyah bintu Abi ‘Ubaid, dari sebagian istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ فَصَدَّقَهُ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِينَ يَوْمًا
“Barangsiapa mendatangi peramal, kemudian dia bertanya kepadanya tentang sesuatu lalu dia membenarkannya, maka tidak akan diterima shalatnya selama 40 hari.” (HR. Muslim)

3. Bila sakitnya bertambah parah atau tidak kunjung sembuh, tidak diperbolehkan mengharapkan kematian.
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَتَمَنَّيَنَّ أَحَدُكُمْ الْمَوْتَ لِضُرٍّ أَصَابَهُ، فَإِنْ كَانَ لاَ بُدَّ فَاعِلًا فَلْيَقُلْ: اللَّهُمَّ أَحْيِنِي مَا كَانَتِ الْحَيَاةُ خَيْرًا لِي وَتَوَفَّنِي إِذَا كَانَتِ الْوَفَاةُ خَيْراً لِي
“Janganlah salah seorang kalian mengharapkan kematian karena musibah yang menimpanya. Apabila memang harus melakukannya, maka hendaknya dia berdoa:
اللَّهُمَّ أَحْيِنِي مَا كَانَتِ الْحَيَاةُ خَيْرًا لِي وَتَوَفَّنِي إِذَا كَانَتِ الْوَفَاةُ خَيْراً لِي
‘Ya Allah, hidupkanlah aku bila kehidupan itu adalah kebaikan bagiku dan wafatkanlah aku bila kematian itu adalah kebaikan bagiku’.” (Muttafaqun ‘alaih)

4. Apabila dirinya mempunyai kewajiban (seperti hutang, pinjaman, dll), atau amanah yang belum dia tunaikan, atau kezaliman terhadap hak orang lain yang dia lakukan, hendaknya dia bersegera menyelesaikannya dengan yang bersangkutan, bila memungkinkan.
Bila tidak memungkinkan, karena jauh tempatnya, atau belum ada kemampuan, atau sebab lainnya, hendaknya dia berwasiat (kepada ahli warisnya) dalam perkara tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَالَّذِينَ هُمْ لِأَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ
“Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.” (Al-Mu`minun: 8)
Dari Abu Huraiah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
مَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَخِيْهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ مِنْ شَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لاَ يَكُونَ دِيْنَارٌ وَدِرْهَمٌ، إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ
“Barangsiapa berbuat kezaliman terhadap saudaranya, baik pada harga dirinya atau sesuatu yang lain, hendaknya dia minta agar saudaranya itu menghalalkannya (memaafkannya) pada hari ini, sebelum (datangnya hari) yang tidak ada dinar maupun dirham. Apabila dia memiliki amal shalih, akan diambil darinya sesuai kadar kezalimannya (lalu diberikan kepada yang dizaliminya). Apabila dia tidak memiliki kebaikan-kebaikan, akan diambil dari kejelekan orang yang dizalimi lalu dipikulkan kepadanya.” (HR. Al-Bukhari)
Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:
لَمَّا حَضَرَ أُحُدٌ دَعَانِي أَبِي مِنَ اللَّيْلِ فَقَالَ: ماَ أُرَانِي إِلاَّ مَقْتُولاً فِي أَوَّلِ مَنْ يُقْتَلُ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِنِّي لاَ أَتْرُكُ بَعْدِي أَعَزَّ عَلَيَّ مِنْكَ غَيْرَ نَفْسِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِنَّ عَلَيَّ دَيْنًا فَاقْضِ وَاسْتَوْصِ بِإِخْوَتِكَ خَيْرًا. فَأَصْبَحْنَا فَكَانَ أَوَّلَ قَتِيلٍ
“Sebelum terjadi perang Uhud, ayahku memanggilku pada malam harinya. Dia berkata: ‘Tidak aku kira kecuali aku akan terbunuh pada golongan yang pertama terbunuh di antara para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan sesungguhnya aku tidak meninggalkan setelahku orang yang lebih mulia darimu, kecuali Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sesungguhnya aku mempunyai hutang maka tunaikanlah. Nasihatilah saudara-saudaramu dengan baik.’ Tatkala masuk pagi hari, dia termasuk orang yang pertama terbunuh.” (HR. Al-Bukhari)

5. Disyariatkan segera menulis wasiat dengan saksi dua orang lelaki muslim yang adil. Bila tidak didapatkan karena safar, boleh dengan saksi dua orang ahli kitab yang adil.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا شَهَادَةُ بَيْنِكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ حِينَ الْوَصِيَّةِ اثْنَانِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ أَوْ ءَاخَرَانِ مِنْ غَيْرِكُمْ إِنْ أَنْتُمْ ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَأَصَابَتْكُمْ مُصِيبَةُ الْمَوْتِ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan di muka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian.” (Al-Ma`idah: 106)
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau berkata:
مَا حَقَّ امْرُؤٌ مُسْلِمٌ يَبِيْتُ لَيْلَتَيْنِ وَلَهُ شَيْءٌ يُرِيدُ أَنْ يُوصِيَ فِيهِ إِلاَّ وَوَصَّيْتُهُ عِنْدَ رَأْسِهِ. وَقَالَ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا: مَا مَرَّتْ عَلَيَّ لَيْلَةٌ مُنْذُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ذَلِكَ إِلاَّ وَعِنْدِي وَصِيَّتِي
“Tidak berhak seorang muslim melalui dua malam dalam keadaan dia memiliki sesuatu yang ingin dia wasiatkan kecuali wasiatnya berada di sisinya.”
Dan Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Tidaklah berlalu atasku satu malam pun semenjak aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata demikian, kecuali di sisiku ada wasiatku.” (Muttafaqun ‘alaih)
Ibnu Abdil Bar rahimahullahu berkata (At-Tamhid, 14/292): “Para ulama bersepakat bahwa wasiat itu bukan wajib, kecuali bagi orang yang memiliki tanggungan-tanggungan yang tanpa bukti, atau dia memiliki amanah yang tanpa saksi. Apabila demikian, dia wajib berwasiat. Tidak boleh dia melalui dua malam pun kecuali sungguh telah mempersaksikan hal itu.
Diperbolehkan baginya mewasiatkan sebagian harta yang ditinggalkan, maksimal sepertiganya. Tidak boleh lebih dari itu. Bahkan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Aku senang bahwa orang mengurangi dari jumlah 1/3 menjadi ¼ dalam hal wasiat. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Sepertiga itu banyak’.” (HR. Ahmad, Al-Bukhari, Muslim dan Al-Baihaqi)
Wasiat tersebut tidak boleh untuk ahli waris yang berhak mendapatkan warisan, kecuali dengan kerelaan dari seluruh ahli waris lainnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ فَلاَ وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ
“Sesungguhnya Allah telah memberi setiap yang memiliki hak akan haknya, maka tidak ada wasiat untuk ahli waris.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi, dihasankan oleh Al-Albani dalam Al-Irwa`)
Ibnu Mundzir rahimahullahu berkata (Al-Ijma’ hal. 100): “Para ulama sepakat bahwa tidak ada wasiat untuk ahli waris kecuali para ahli waris (yang lain) memperbolehkannya.”
Ibnu Katsir rahimahullahu berkata (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 1/471): “Ketika wasiat itu adalah rekayasa dan jalan untuk memberi tambahan kepada sebagian ahli waris, serta mengurangi dari sebagian mereka, maka wasiat itu haram hukumnya, berdasarkan ijma’ dan dengan Al-Qur`an:
غَيْرَ مُضَارٍّ وَصِيَّةً مِنَ اللهِ وَاللهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ
“(Wasiat itu) tidak memberi mudarat (kepada sebagian pihak). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.” (An-Nisa`: 12)
Adapun wasiat yang bertentangan dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah, maka wasiat tersebut batil dan tidak boleh dilaksanakan. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang mengada-adakan perkara baru pada urusan (agama) ku ini apa yang tidak berasal darinya, maka hal itu tertolak.” (Muttafaqun ‘alaih)

6. Berwasiat agar jenazahnya diurus dan dikuburkan sesuai As-Sunnah
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata (Ahkamul Jana`iz, hal. 17-18): “Ketika adat kebiasaan yang dilakukan mayoritas kaum muslimin pada masa ini adalah bid’ah dalam urusan agama, lebih-lebih dalam masalah jenazah, maka termasuk perkara yang wajib adalah seorang muslim berwasiat (kepada ahli warisnya) agar jenazahnya diurus dan dikuburkan sesuai As-Sunnah, untuk mengamalkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.”2
Oleh karena itulah, para sahabat radhiyallahu ‘anhum mewasiatkan hal tersebut. Atsar-atsar dari mereka (dalam hal ini) banyak sekali. Di antaranya:
a. Dari Amir bin Sa’d bin Abi Waqqash, bahwa ayahnya (yakni Sa’d bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu) berkata ketika sakit yang mengantarkan kepada wafatnya:
أَلْحِدُوا لِي لَحْدًا وَانْصِبُوا عَلَيَّ نَصْبًا اللَّبِنَ كَمَا صُنِعَ بِرَسُولِ اللهِ
“Buatlah liang lahat untukku, dan tegakkanlah atasku bata sebagaimana dilakukan demikian kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
b. Dari Abu Burdah dia berkata: Abu Musa radhiyallahu ‘anhu mewasiatkan ketika hendak meninggal: “Apabila kalian berangkat membawa jenazahku maka cepatlah dalam berjalan. Jangan mengikutkan (jenazahku) dengan bara api. Sungguh jangan kalian membuat sesuatu yang akan menghalangiku dengan tanah. Janganlah membuat bangunan di atas kuburku. Aku mempersaksikan kepada kalian dari al-haliqah (wanita yang mencukur gundul rambutnya karena tertimpa musibah), as-saliqah (wanita yang menjerit karena tertimpa musibah), dan al-khariqah (wanita yang merobek-robek pakaiannya karena tertimpa musibah).” Mereka bertanya: “Apakah engkau mendengar sesuatu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hal itu?” Dia menjawab: “Ya, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Diriwayatkan oleh Ahmad 4/397, Al-Baihaqi 3/395, dan Ibnu Majah, sanadnya hasan)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata dalam Al-Adzkar: “Disunnahkan baginya dengan kuat untuk mewasiatkan kepada mereka (ahli waris) untuk menjauhi adat kebiasaan yang berupa bid’ah dalam pengurusan jenazah. Dan dikuatkan perkara tersebut (dengan wasiat).”
Wallahu a’lam bish-shawab.

 

 

;