Sifat-Sifat Al-Quran

Al-Quran merupakan kitab atau pedoman bagi umat islam dan merupakan penyempurna dari kitab-kitab sebelumnya. Selain Al-Quran bukan hanya untuk dibaca juga harus diamalkan isinya oleh setiap umat muslim. Sifat-sifat Al-Quran yang sangat agung juga wajib diketahui oleh umat islam.

Jika setiap muslim sudah mengetahui apa saja sifat-sifat Al-Quran pasti mereka akan merasakan betapa mulianya kitab Al-Quran ini. Selain itu dengan mengetahui sifat Al-Quran juga dapat menambah kecintaan kita terhadap Al-Quran karena biasanya kita akan mencintai sesuatu karena mengetahui bagaimana sifat-sifatnya.

Berikut ini beberapa sifat-sifat Al-Quran :

1. Jalan yang Lurus ( Ash Shirath Al-Mustaqim)

Sifat Ash Shirath Al-Mustaqim ini dijelaskan dalam Q.S Al-An’am : 153 yang memiliki arti “dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa”.

Al-Quran sebagai kitab yang menunjukan jalan yang lurus akan mengantarkan siapapun yang membaca dan mengamalkannya ke surga Allah yang penuh dengan kenikmatan.

2. Tali yang Kokoh (Al Hablul Matin)

Maksud dari tali yang kokoh disini adalah barang siapa yang berpegang teguh terhadap Al-Quran maka dia akan diberikan jalan yang lurus oleh Allah Subhanahu Wata’ala.

Sesuai dengan Q.S Ali-Imran : 103 “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk”.

3. Cahaya yang Terang Benderang (An-Nural Mubin)

Al-Quran diturunkan sebagai kitab yang mmeberikan cahaya terang benderang bagi seluruh umat manusia. Sesuai dengan firman Allah Subhanahu Wata’ala pada Q.S An-Nisa : 174 :

“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu. dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang”.

 

Adab Dalam Membaca Al-Quran

Al Qur’anul Karim adalah firman Alloh yang tidak mengandung kebatilan sedikitpun. Al Qur’an memberi petunjuk jalan yang lurus dan memberi bimbingan kepada umat manusia di dalam menempuh perjalanan hidupnya, agar selamat di dunia dan di akhirat, dan dimasukkan dalam golongan orang-orang yang mendapatkan rahmat dari Alloh Ta’ala. Untuk itulah tiada ilmu yang lebih utama dipelajari oleh seorang muslim melebihi keutamaan mempelajari Al-Qur’an. Sebagaimana sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam“Sebaik-baik kamu adalah orang yg mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari)

Ketika membaca Al-Qur’an, maka seorang muslim perlu memperhatikan adab-adab berikut ini untuk mendapatkan kesempurnaan pahala dalam membaca Al-Qur’an:

1. Membaca dalam keadaan suci, dengan duduk yang sopan dan tenang.

Dalam membaca Al-Qur’an seseorang dianjurkan dalam keadaan suci. Namun, diperbolehkan apabila dia membaca dalam keadaan terkena najis. Imam Haromain berkata, “Orang yang membaca Al-Qur’an dalam keadaan najis, dia tidak dikatakan mengerjakan hal yang makruh, akan tetapi dia meninggalkan sesuatu yang utama.” (At-Tibyan, hal. 58-59)

2. Membacanya dengan pelan (tartil) dan tidak cepat, agar dapat menghayati ayat yang dibaca.

Rosululloh bersabda, “Siapa saja yang membaca Al-Qur’an (khatam) kurang dari tiga hari, berarti dia tidak memahami.” (HR. Ahmad dan para penyusun kitab-kitab Sunan)

Sebagian sahabat membenci pengkhataman Al-Qur’an sehari semalam, dengan dasar hadits di atas. Rosululloh telah memerintahkan Abdullah Ibnu Umar untuk mengkhatam kan Al-Qur’an setiap satu minggu (7 hari) (HR. Bukhori, Muslim). Sebagaimana yang dilakukan Abdullah bin Mas’ud, Utsman bin Affan, Zaid bin Tsabit, mereka mengkhatamkan Al-Qur’an sekali dalam seminggu.

3. Membaca Al-Qur’an dengan khusyu’, dengan menangis, karena sentuhan pengaruh ayat yang dibaca bisa menyentuh jiwa dan perasaan.

Alloh Ta’ala menjelaskan sebagian dari sifat-sifat hamba-Nya yang shalih, “Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu’.” (QS. Al-Isra’: 109). Namun demikian tidaklah disyariatkan bagi seseorang untuk pura-pura menangis dengan tangisan yang dibuat-buat.

4. Membaguskan suara ketika membacanya.

Sebagaimana sabda Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam“Hiasilah Al-Qur’an dengan suaramu.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Al-Hakim). Di dalam hadits lain dijelaskan, “Tidak termasuk umatku orang yang tidak melagukan Al-Qur’an.” (HR. Bukhari dan Muslim). Maksud hadits ini adalah membaca Al-Qur’an dengan susunan bacaan yang jelas dan terang makhrojhurufnya, panjang pendeknya bacaan, tidak sampai keluar dari ketentuan kaidah tajwid. Dan seseorang tidak perlu melenggok-lenggokkan suara di luar kemampuannya.

5. Membaca Al-Qur’an dimulai dengan isti’adzah.

Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan bila kamu akan membaca Al-Qur’an, maka mintalah perlindungan kepada Alloh dari (godaan-godaan) syaithan yang terkutuk.”(QS. An-Nahl: 98)

Membaca Al-Qur’an dengan tidak mengganggu orang yang sedang shalat, dan tidak perlu membacanya dengan suara yang terlalu keras atau di tempat yang banyak orang. Bacalah dengan suara yang lirih secara khusyu’.

Rosululloh shollallohu ‘alaihiwasallam bersabda, “Ingatlah bahwasanya setiap dari kalian bermunajat kepada Rabbnya, maka janganlah salah satu dari kamu mengganggu yang lain, dan salah satu dari kamu tidak boleh bersuara lebih keras daripada yang lain pada saat membaca (Al-Qur’an).” (HR. Abu Dawud, Nasa’i, Baihaqi dan Hakim). Wallohu a’lam.

 

DISABILITAS DALAM SUDUT PANDANG ISLAM (PART 2)

Difabel atau disabilitas terbagi menjadi beberapa jenis. Ada yang bersifat mental, fisik, kognitif, sensorik, emosional, ataupun kombinasi dari beberapa sifat keterbatasan tersebut. Secara garis besar, kaum disabilitas dapat diklasifikasikan kedalam tiga kategori: keterbatasan fisik, keterbatasan mental dan keterbatasan fisik dan mental. Penyandang keterbatasan secara fisik terbagi kedalam beberapa jenis disabilitas, yaitu tunanetra (tidak dapat melihat), tunarungu (tidak dapat/kurang mendengar), tunawicara (tidak dapat berbicara), tunadaksa (cacat tubuh), dan tunalaras (cacat suara dan nada). Adapun disabilitas secara mental terbagi menjadi dua kategori: tunalaras (sukar mengendalikan emosi dan sosial), dan tunagrahita (cacat pikiran; lemah daya tangkap).
Kata disabiltas sendiri memiliki padanan kata dalam bahasa arab al-I’aaqah (الإعاقة) dan al-‘ajzu (العجز). Al–I’aaqah bermakna ‘sesuatu yang dapat menyebabkan frustasi, kekecewaan ataupun obstruksi’, sementara al-‘ajzu bermakna ‘lemah atau tidak memiliki kekuatan’. Di dalam Islam, kaum disabilitas lebih sering disebutkan secara parsial. Tunanetra dalam bahasa Arab disebut dengan A’ma (أعمى), tunawicara disebut dengan Abkam (أبكم), tunarungu disebut dengan Asamm (أصم), dan orang yang terganggu mobilitasnya disebut A’raj (أعرج).
Allah memiliki nama – nama yang indah atau yang disebut dengan al-asmaa al-husna. diantara nama dan sifat Allah yang Maha Sempurna adalah Yang Maha Adil dan Bijaksana. Melaui sudut pandang ini, kita harus meyakini bahwasanya apapun yang Allah kehendaki merupakan keputusan yang Adil dan Bijaksana bagi mahkluk-Nya. Tidak ada satu pun yang sia – sia dari ciptaan-Nya, sebagaimana firman-Nya:
… ربنا ما خلقت هذا باطلا … (آل عمران: 191)
“Wahai Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan ini dengan sia – sia” (Ali Imran: 191).
Dengan demikian, kaum disabilitas yang memiliki kekurangan dibandingkan dengan orang pada umumnya harus diyakini bahwa di balik kehendak Allah yang Maha Adil dan Bijaksana pasti terdapat ibrah dan pelajaran yang dapat diambil baik bagi penyandang disabilitas tersebut, maupun orang yang tinggal di sekitarnya. Sebagai contoh sederhana, kondisi tunanetra yang tidak dapat melihat bisa menjadi cerminan bagi orang – orang yang bukan tunanetra, agar mereka dapat lebih mensyukuri segala anugrah dan nikmat –seperti penglihatan – yang telah dicurahkan Allah Subhanahu Wata’ala terhadap hamba – hamba-Nya. Dan sebagai bentuk syukurnya, seyogyanya mereka dapat menggunakan penglihatan tersebut untuk aktifitas yang dapat meningkatkan ketaqwaan kita kepada Allah Subhanahu Wata’ala, bukan disalah gunakan untuk bermaksiat kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Naudzubillah. Di sisi lain, bagi para penyandang tunanetra yang memiliki keterbatasan dalam penglihatan, Allah Subhanahu Wata’ala telah menutup salah satu peluang mereka untuk berbuat maksiat melalui mata dan penglihatannya. Dengan kondisi tersebut, penyandang tunanetra memiliki kesempatan lebih untuk menjaga pandangan dari hal – hal yang dilarang Syariat Islam, seperti melihat aurat lawan jenis, yang berimplikasi untuk menjaga mereka dari godaan dan hawa nafsu syaitan.
Allah Subhanahu Wata’ala tidak akan pernah menguji hamba – hamba-Nya melebihi batas kemampuan mereka masing – masing. Hal ini sebagaimana firman-Nya:
لا يكلف الله نفسا إلا وسعها … (البقرة: 286)
‘Allah tidak membebani seseorang melainkan kemampuannya’.
Inilah salah satu bentuk keadilan dan kebijaksanaan Allah Subhanahu Wata’ala. Setiap orang pasti memiliki beban, ujian dan masalahnya masing – masing yang tentunya berbeda satu dengan yang lainnya. Demikian juga dengan apa yang dialami oleh saudara – saudari kita para penyandang disabilitas yang mendapatkan ujian dari Allah Subhanahu Wata’ala melalui kekurangan yang Allah Subhanahu Wata’ala sertakan bagi mereka. Ujian dalam bentuk apapun yang kita hadapi di dunia ini, harus kita sertai dengan suatu keyakinan yang bulat bahwa kita mampu melalui-Nya dengan landasan keyakinan kita terhadap janji Allah tersebut.
Namun, tidak jarang baik kaum disabilitas ataupun non-disabilitas yang tidak berhasil menghadapi ujian dan cobaan dari Allah Subhanahu Wata’ala. Sebagai contoh sederhana, mungkin saja kita dapat menemukan seorang tunanetra yang merasa kecewa dan tidak menerima akan keputusan yang telah Allah Subhanahu Wata’ala tetapkan baginya. Di sisi lain, ada orang yang memiliki kesempurnaan fisik, namun hidup dalam keluarga yang hidup di bawah garis kemiskinan, ataupun salah seorang calon legislatif yang mengalami kegagalan dalam kegiatan pemilihan umum setelah mengeluarkan sebagian besar hartanya, dan kesemuanya berakhir dalam kondisi stres, ftrustasi, bahkan tidak jarang sampai pada tingkan ketidakwarasan atau gila. Hal ini, apabila kita melihat dari sudut pandang agama, dapat terjadi karena lemah dan tipisnya tingkat keimanan mereka terhadap firman-Nya, dan tidak disertainya fikiran mereka dengan pandangan yang positif. Sebagaimana termaktub dalam hadits qudsi:
أنا عند ظن عبدي بي
‘Aku bersama dengan prasangka hamba-Ku’
Sesungguhnya, Allah bersama hamba – hamba-Nya yang sabar, yang tetap bertahan dan berjuang dalam menghadapi ujian dan cobaan hidup yang dialami.(Rizal)

;