Amal Wakaf Mengalir Sepanjang Masa

Wakaf adalah syari’at Islam yang dipraktikan oleh Rasulullah, diikuti para sahabat dan umat Muslim sampai saat ini. Amalan wakaf tidak hanya bermanfaat bagi penerima saja, namun juga menjadi ladang sumur pahala bagi pemberinya sepanjang masa tanpa terputus. Terlebih, apabila manfaat wakaf dapat terus memberikan manfaat, maka pahalanya akan terus mengalir.

Ibadah wakaf adalah seumpama buah dengan rasa yang manis dimana biji dari buah dapat ditanam lagi di lahan yang berbeda untuk menumbuhkan pohon-pohon dan buah-buahnya yang baru. Siklus ini terus berputar tanpa terputus. Seperti itulah perumpamaan pahala orang-orang yang mengambalkan syari’at wakaf.

Seiring berkembangnya zaman, model-model wakaf juga turut berkembang. Diantaranya adalah wakaf al-Qur’an braille yang dapat memberikan manfaat di dunia tunanetra. Al-Quran braille secara khusus diperuntukkan bagi tunanetra Muslim. Al-Qur’an braille ditulis dengan titik-titik timbul dengan ukuran huruf yang tidak dapat diperkecil, ataupun diperbesar. Dalam pencetakannya, 1 juz al-Qur’an braille dijilid menjadi 1 volume/buku sehingga, dengan demikian, 1 al-Qur’an braille 30 juz terdiri dari 30 buku/volume al-Qur’an. Dengan volume produksi yang lebih besar, pencetakan 1 al-Qur’an braille membutuhkan durasi waktu yang lebih lama.

Penyimpanan al-Qur’an braille juga tidak boleh menumpuk. Hal ini akan menyebabkan titik-titik huruf yang menonjol menjadi hilang dan tidak teraba. Oleh karena itu, kertas yang dipakai untuk pencetakan al-Qur’an braille perlu cukup tebal. Apabila kertas yang dipakai terlampau tipis, saat dicetak kertas tersebut akan berlubang, atau daya tahan timbul dari titik-titik tersebut tidak akan bertahan lama. Tidak mengherankan apabila biaya pencetakan al-Qur’an bisa jauh berkali-kali lipat lebih mahal dibandingkan dengan mushaf al-Qur’an yang biasa dipakai oleh orang-orang berpenglihatan.

Al-Qur’an adalah pentunjuk dari Allah yang menjadi obor penerang bagi manusia dalam menjalani kehidupannya. Tanpa al-Qur’an, manusia akan kehilangan arah, dan hatinya menjadi kering dari nilai-nilai luhur ajaran Islam. Di Yayasan Raudlatul Makfufin, ada sebuah slogan yang masyhur di kalangan tunanetra: “Buta mata tapi tidak buta hati.” Meskipun mata tidak melihat, tapi mata hati tetap dapat melihat melalui cahaya al-Qur’an. Dasar ini yang mendorong Yayasan Raudlatul Makfufin untuk terus mengembangkan program wakaf al-Qur’an yang akan disebarkan ke seluruh penjuru Indonesia.

Rasulullah bersabda: “Ada 7 perkara yang pahalanya mengalir bagi seorang hamba di dalam kuburnya setelah kematiannya: Orang yang mengajarkan ilmu, mengalirkan air sungai, membuat sumur, menanam pohon kurma, membangun masjid, mewariskan mushaf al-Quran, anak yang memintakan ampunan untuknya setelah kematiannya.” (Shahih al-Jami’ 3602 dan Shahih at-Targhib 2600)

 

***Windra

 

Al-Quran Braille

Al-Quran merupakan pedoman hidup bagi umat islam, semua sudah dijelaskan dalam Al-Quran mulai dari terbentuknya dunia sampai dengan berakhirnya kehidupan di dunia. Sebagai umat islam sudah menjadi kewajiban kita menjaga dan mengamalkan isi yang ada di dalam Al-Quran.

Siapapun wajib menjaga dan mengamalknnya, tidak memandang baimanapun kondisi fisik dari orang tersebut. Jika kita sudah berikrar bahwasannya “Tiada Tuhan Selain Allah Subhanahu Wata’ala dan Muhammad Adalah Utusan Allah Subhanahu Wata’ala” maka kita harus mampu mengamalkan isi kandungan dalam Al-Quran.

Bagaimana seorang tunanetra yang memiliki keterbatasan, apakah dia juga harus mengamalkan Al-Quran ? bagainana caranya ? ya, dengan perkembangan teknologi yang semakin canggih membuat semua kebutuhan mudah untuk terpenuhi salah satunya adanya Al-Quran Braille.

Al-Quran Braille merupakan alat bantu yang digunakan bagi para tunanetra untuk bisa belajar Al-Quran. Huruf-huruf yang ada di Al-Quran braille memiliki simbol yang berbeda dengan huruf latin. Huruf-huruf tersebut telah disepakati secara bersama oleh para ulama untuk membantu para tunanetra yang ingin belajar Al-Quran.

Sekarang ini sudah banyak lembaga yang melayani percetakan dan pendistribuan Al-Quran braille. Pembuatan Al-Quran braille sendiri bukan hal yang mudah karena membutuhkan material dan finansial yang cukup banyak. Semakin tahun bahany yang digunakan untuk membuatnya mengalami kenaikan, sehingga harus disesuaikan biayanya.

Harga AL-Quran braille sendiri mencapai kisaran satu juta delapan ratus ribu rupiah. Dulunya banyak yang membuat Al-Qurab braille ini untuk membantu saudara kita yang tunanetra, namun karena bahan yang digunakan mengalami kenaikan tentunya mereka membutuhkan biaya yang lebih.

Anda bisa mendapatkan Al-Quran braille ini di aplikasi jual beli di internet karena sudah banyak yang menjualnya. Harga yang ditawarkan di situs jual beli online dengan di toko offline juga tidak jauh berbeda. Yuk, buruan kunjungi situsnya dan jangan lupa untuk membelinya.

Semoga adanya Al-Quran braille ini bisa bermanfaat bagi saudara-saudara kita yang membutuhkan dan semoga bisa menjadi amal jariyah bagi si pembuatnya.

MAKFUFIN MENUJU JOMBANG

Setelah mengikuti pembelajaran Bahasa Inggris di Pare, Kediri, Jawa Timur, Yayasan Raudlatul Makfufin diagendakan akan bersilaturahim ke Jombang, Jawa Timur.

Silaturahim kali ini bukan hanya untuk sowan dengan para ulama di sana, melainkan akan menyelenggarakan Training Quran Braille untuk para tunanetra di sekitar Jombang, Jawa Timur.

Training akan dilaksanakan pada Selasa, 17 Mei 2016 hinga 21 Mei 2016 di Pondok Pesantren Darul Ulum, Jombang.

Training yang diperkirakan akan dihadiri oleh 20 orang tunanetra ini dimbing langsung oleh empat orang trainer dari Yayasan Raudlatul Makfufin, Banten.

Training Quran Braille adalah salah satu program kerja Badan Pengurus Harian Yayasan Raudlatul Makfufin yang sudah diprogramkan sejak tahun 2013. Sebelum ke Jombang, sudah ada beberapa kota di pulau Jawa yang bekerja sama dengan Yayasan Raudlatul Makfufin dalam meningkatkan kemampuan membaca Al Quran Braille, seperti Temanggung, Madiun, Surabaya dan lain-lain.

Dengan adanya Training Quran Braille di Jombang, Jawa Timur, diharapkan dapat menekan angka buta huruf Al Quran Braille bagi para tunanetra Muslim di Indonesia.

PETIKAN HIKMAH DARI SEORANG IBNU UMMI MAKTUM

عَبَسَ وَتَوَلَّى (1) أَنْ جَاءَهُ الْأَعْمَى (2) وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّهُ يَزَّكَّى (3) أَوْ يَذَّكَّرُ فَتَنْفَعَهُ الذِّكْرَى (4) أَمَّا مَنِ اسْتَغْنَى (5) فَأَنْتَ لَهُ تَصَدَّى (6) }سورة عبس : 1-6{

“Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling. Karena telah datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa). Atau dia( ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup. Maka kamu melayaninya. Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri(beriman) ” (QS:’Abasa-80: 1-6)
Dikisahkan dalam tafsir Ibnu Katsir, bahwa suatu hari, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam sedang berbicara dengan para pembesar Quraisy. Ketika itu, datanglah Ibnu Ummi Maktum, seorang tunanetra dari kaum Quraisy, yang telah memasuki Islam lebih awal dibandingkan dengan para pembesar Quraisy itu. Kemudian, laki – laki tersebut menyampaikan pertanyaan, dan mengemukakannya secara mendesak kepada Rasulullah. Pada saat itu, Rasulullah akan merasa senang, seandainya dapat meluangkan waktunya sejenak – di tengah diskusinya dengan para pembesar Quraisy – untuk merespon pertanyaan Ibnu Ummi Maktum yang sangat menginginkan jawaban dan petunjuk Rasulullah. Ibnu Ummi Maktum, yang terus mengemukakan pertanyaan tanpa mengetahui bahwasanya Rasulullah sedang berbicara dengan beberapa pembesar Quraisy, secara tidak disengaja telah mengusik diskusi yang telah dilakukan oleh Rasulullah dengan mereka. Akibatnya wajah Rasulullah berubah menjadi masam karena merasa terganggu dan kemudian berpaling tidak menghiraukannya.
Atas peristiwa tersebut, dan apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah terhadap sahabat tunanetra itu, maka Allah menurunkan surat ‘Abasa. Surat tersebut mendeskripsikan bagaimana Rasulullah lebih mengutamakan para pembesar Quraisy itu yang menolak untuk masuk Islam, dan justru menghiraukan Ibnu Ummi Maktum yang bersungguh – sungguh berharap mencari petunjuk dan pengetahuan dari Rasulullah secara langsung.
“Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, Karena telah datang seorang buta (Abdullah bin ummi Maktum) kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa), atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, maka kamu melayaninya. Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman). Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran), sedang ia takut kepada (Allah), maka kamu mengabaikannya. Sekali-kali jangan (demikian)! Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan. Maka barang siapa yang menghendaki, tentulah ia memperhatikannya, di dalam kitab-kitab yang dimuliakan, yang ditinggikan lagi disucikan, di tangan para penulis (malaikat)”. (Q.S. Abasa ; 1 – 15).
Terdapat banyak pelajaran yang dapat kita petik dari kisah antara Rasulullah, seorang tunanetra dan para pembesar Quraisy tersebut. Pertama, sesungguhnya Allah Subhanahu Wata’ala sangat menjunjung tinggi prinsip egaliter. Semua orang memiliki derajat yang sama di hadapan Allah Subhanhu Wata’ala, tanpat membeda – bedakan bentuk fisik mereka apakah sempurna, atau bahkan kekurangan (disabilitas). Konsekuensinya, manusia sebagai makhluk sosial tidak boleh memandang rendah orang – orang yang memiliki keterbatasan, atau biasa dikenal dengan sebutan difabel atau disabilitas. Manusia hendaknya menyadari, bahwa kemuliaan yang berharga di sisi Allah ditentukan dengan seberapa tinggi kualitas taqwa mereka kepada-Nya. Oleh karena itu, hanya orang munafik saja yang dapat merasa lebih baik atau suci dari orang selain dirinya, padahal tidak ada yang dapat mengukur kadar iman dan taqwa mereka selain Allah. Seyogyanya, manusia agar dapat bersikap lebih rendah hati karena ketidaktahuan mereka dengan perhitungan Allah SWT atas amal – amal mereka.
Selain itu, kita dapat mengambil pelajaran bahwa seseorang yang memiliki niat dan keinginan yang kuat memiliki nilai lebih dan patut dihargai. Melalui surat ‘Abasa, Allah SWT menegur Rasulullah agar lebih menghargai sang tunanetra, yaitu Abdullah bin Ummi Maktum, dan justru mengesampingkan para pembesar Quraisy itu. Hal itu dikarenakan Abdullah benar – benar memiliki niat dan keinginan kuat agar dapat memperoleh petunjuk dan pembelajaran dari Rasulullah, yang ditandai oleh sikapnya yang terus bertanya kepada Rasulullah, atau bahkan sampai mendesaknya. Sementara itu, para pembesar Quraisy tidak berkeinginan untuk mengetahui ajaran – ajaran Islam, kecuali hanya mendengarkan apa yang disampaikan oleh Nabi. Maka, turunlah firman Allah Subhanahu Wata’ala sebagai teguran atas sikapnya tersebut terhadap Abdullah bin Ummi Maktum, yang mengisyaratkan bahwa orang yang benar – benar ingin tahu dan ingin belajar harus lebih dihargai dari mereka yang tidak.
Ketiga, bahwa manusia tidak boleh merasa sombong apabila berhadapan dengan orang yang derajatnya lebih rendah. Dan sebaliknya, dia juga tidak perlu menyesal apabila berhadapan dengan orang yang derajatnya lebih tinggi dari dirinya. Fikiran dan perasaan yang timbul seperti itu, harus segera dihilangkan. Karena, sesungguhnya derajat seseorang ketika dilihat dari sudut pandang manusia adalah palsu. Yang memiliki hakikat atau kebenaran akan ukuran tersebut adalah penilaian Allah Subhanahu Wata’ala. Oleh karena itu, penyakit hati seperti sombong dan penyesalan yang tidak pada tempatnya, agar dibuang dan dibersikan sehingga hati kita bersih dari kotoran – kotoran tersebut. Dan sebaiknya hati manusia diisi dengan akhlak hati yang mahmudah (terpuji), seperti rendah hati, berfikir positif, tidak berburuk sangka, dan senantiasa menghabiskan umur yang senantiasa berjalan dengan berdzikir kepada Allah Subhanahu Wata’ala.(Rizal)

DISABILITAS DALAM SUDUT PANDANG ISLAM (PART 2)

Difabel atau disabilitas terbagi menjadi beberapa jenis. Ada yang bersifat mental, fisik, kognitif, sensorik, emosional, ataupun kombinasi dari beberapa sifat keterbatasan tersebut. Secara garis besar, kaum disabilitas dapat diklasifikasikan kedalam tiga kategori: keterbatasan fisik, keterbatasan mental dan keterbatasan fisik dan mental. Penyandang keterbatasan secara fisik terbagi kedalam beberapa jenis disabilitas, yaitu tunanetra (tidak dapat melihat), tunarungu (tidak dapat/kurang mendengar), tunawicara (tidak dapat berbicara), tunadaksa (cacat tubuh), dan tunalaras (cacat suara dan nada). Adapun disabilitas secara mental terbagi menjadi dua kategori: tunalaras (sukar mengendalikan emosi dan sosial), dan tunagrahita (cacat pikiran; lemah daya tangkap).
Kata disabiltas sendiri memiliki padanan kata dalam bahasa arab al-I’aaqah (الإعاقة) dan al-‘ajzu (العجز). Al–I’aaqah bermakna ‘sesuatu yang dapat menyebabkan frustasi, kekecewaan ataupun obstruksi’, sementara al-‘ajzu bermakna ‘lemah atau tidak memiliki kekuatan’. Di dalam Islam, kaum disabilitas lebih sering disebutkan secara parsial. Tunanetra dalam bahasa Arab disebut dengan A’ma (أعمى), tunawicara disebut dengan Abkam (أبكم), tunarungu disebut dengan Asamm (أصم), dan orang yang terganggu mobilitasnya disebut A’raj (أعرج).
Allah memiliki nama – nama yang indah atau yang disebut dengan al-asmaa al-husna. diantara nama dan sifat Allah yang Maha Sempurna adalah Yang Maha Adil dan Bijaksana. Melaui sudut pandang ini, kita harus meyakini bahwasanya apapun yang Allah kehendaki merupakan keputusan yang Adil dan Bijaksana bagi mahkluk-Nya. Tidak ada satu pun yang sia – sia dari ciptaan-Nya, sebagaimana firman-Nya:
… ربنا ما خلقت هذا باطلا … (آل عمران: 191)
“Wahai Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan ini dengan sia – sia” (Ali Imran: 191).
Dengan demikian, kaum disabilitas yang memiliki kekurangan dibandingkan dengan orang pada umumnya harus diyakini bahwa di balik kehendak Allah yang Maha Adil dan Bijaksana pasti terdapat ibrah dan pelajaran yang dapat diambil baik bagi penyandang disabilitas tersebut, maupun orang yang tinggal di sekitarnya. Sebagai contoh sederhana, kondisi tunanetra yang tidak dapat melihat bisa menjadi cerminan bagi orang – orang yang bukan tunanetra, agar mereka dapat lebih mensyukuri segala anugrah dan nikmat –seperti penglihatan – yang telah dicurahkan Allah Subhanahu Wata’ala terhadap hamba – hamba-Nya. Dan sebagai bentuk syukurnya, seyogyanya mereka dapat menggunakan penglihatan tersebut untuk aktifitas yang dapat meningkatkan ketaqwaan kita kepada Allah Subhanahu Wata’ala, bukan disalah gunakan untuk bermaksiat kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Naudzubillah. Di sisi lain, bagi para penyandang tunanetra yang memiliki keterbatasan dalam penglihatan, Allah Subhanahu Wata’ala telah menutup salah satu peluang mereka untuk berbuat maksiat melalui mata dan penglihatannya. Dengan kondisi tersebut, penyandang tunanetra memiliki kesempatan lebih untuk menjaga pandangan dari hal – hal yang dilarang Syariat Islam, seperti melihat aurat lawan jenis, yang berimplikasi untuk menjaga mereka dari godaan dan hawa nafsu syaitan.
Allah Subhanahu Wata’ala tidak akan pernah menguji hamba – hamba-Nya melebihi batas kemampuan mereka masing – masing. Hal ini sebagaimana firman-Nya:
لا يكلف الله نفسا إلا وسعها … (البقرة: 286)
‘Allah tidak membebani seseorang melainkan kemampuannya’.
Inilah salah satu bentuk keadilan dan kebijaksanaan Allah Subhanahu Wata’ala. Setiap orang pasti memiliki beban, ujian dan masalahnya masing – masing yang tentunya berbeda satu dengan yang lainnya. Demikian juga dengan apa yang dialami oleh saudara – saudari kita para penyandang disabilitas yang mendapatkan ujian dari Allah Subhanahu Wata’ala melalui kekurangan yang Allah Subhanahu Wata’ala sertakan bagi mereka. Ujian dalam bentuk apapun yang kita hadapi di dunia ini, harus kita sertai dengan suatu keyakinan yang bulat bahwa kita mampu melalui-Nya dengan landasan keyakinan kita terhadap janji Allah tersebut.
Namun, tidak jarang baik kaum disabilitas ataupun non-disabilitas yang tidak berhasil menghadapi ujian dan cobaan dari Allah Subhanahu Wata’ala. Sebagai contoh sederhana, mungkin saja kita dapat menemukan seorang tunanetra yang merasa kecewa dan tidak menerima akan keputusan yang telah Allah Subhanahu Wata’ala tetapkan baginya. Di sisi lain, ada orang yang memiliki kesempurnaan fisik, namun hidup dalam keluarga yang hidup di bawah garis kemiskinan, ataupun salah seorang calon legislatif yang mengalami kegagalan dalam kegiatan pemilihan umum setelah mengeluarkan sebagian besar hartanya, dan kesemuanya berakhir dalam kondisi stres, ftrustasi, bahkan tidak jarang sampai pada tingkan ketidakwarasan atau gila. Hal ini, apabila kita melihat dari sudut pandang agama, dapat terjadi karena lemah dan tipisnya tingkat keimanan mereka terhadap firman-Nya, dan tidak disertainya fikiran mereka dengan pandangan yang positif. Sebagaimana termaktub dalam hadits qudsi:
أنا عند ظن عبدي بي
‘Aku bersama dengan prasangka hamba-Ku’
Sesungguhnya, Allah bersama hamba – hamba-Nya yang sabar, yang tetap bertahan dan berjuang dalam menghadapi ujian dan cobaan hidup yang dialami.(Rizal)

;