PETIKAN HIKMAH DARI SEORANG IBNU UMMI MAKTUM

عَبَسَ وَتَوَلَّى (1) أَنْ جَاءَهُ الْأَعْمَى (2) وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّهُ يَزَّكَّى (3) أَوْ يَذَّكَّرُ فَتَنْفَعَهُ الذِّكْرَى (4) أَمَّا مَنِ اسْتَغْنَى (5) فَأَنْتَ لَهُ تَصَدَّى (6) }سورة عبس : 1-6{

“Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling. Karena telah datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa). Atau dia( ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup. Maka kamu melayaninya. Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri(beriman) ” (QS:’Abasa-80: 1-6)
Dikisahkan dalam tafsir Ibnu Katsir, bahwa suatu hari, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam sedang berbicara dengan para pembesar Quraisy. Ketika itu, datanglah Ibnu Ummi Maktum, seorang tunanetra dari kaum Quraisy, yang telah memasuki Islam lebih awal dibandingkan dengan para pembesar Quraisy itu. Kemudian, laki – laki tersebut menyampaikan pertanyaan, dan mengemukakannya secara mendesak kepada Rasulullah. Pada saat itu, Rasulullah akan merasa senang, seandainya dapat meluangkan waktunya sejenak – di tengah diskusinya dengan para pembesar Quraisy – untuk merespon pertanyaan Ibnu Ummi Maktum yang sangat menginginkan jawaban dan petunjuk Rasulullah. Ibnu Ummi Maktum, yang terus mengemukakan pertanyaan tanpa mengetahui bahwasanya Rasulullah sedang berbicara dengan beberapa pembesar Quraisy, secara tidak disengaja telah mengusik diskusi yang telah dilakukan oleh Rasulullah dengan mereka. Akibatnya wajah Rasulullah berubah menjadi masam karena merasa terganggu dan kemudian berpaling tidak menghiraukannya.
Atas peristiwa tersebut, dan apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah terhadap sahabat tunanetra itu, maka Allah menurunkan surat ‘Abasa. Surat tersebut mendeskripsikan bagaimana Rasulullah lebih mengutamakan para pembesar Quraisy itu yang menolak untuk masuk Islam, dan justru menghiraukan Ibnu Ummi Maktum yang bersungguh – sungguh berharap mencari petunjuk dan pengetahuan dari Rasulullah secara langsung.
“Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, Karena telah datang seorang buta (Abdullah bin ummi Maktum) kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa), atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, maka kamu melayaninya. Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman). Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran), sedang ia takut kepada (Allah), maka kamu mengabaikannya. Sekali-kali jangan (demikian)! Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan. Maka barang siapa yang menghendaki, tentulah ia memperhatikannya, di dalam kitab-kitab yang dimuliakan, yang ditinggikan lagi disucikan, di tangan para penulis (malaikat)”. (Q.S. Abasa ; 1 – 15).
Terdapat banyak pelajaran yang dapat kita petik dari kisah antara Rasulullah, seorang tunanetra dan para pembesar Quraisy tersebut. Pertama, sesungguhnya Allah Subhanahu Wata’ala sangat menjunjung tinggi prinsip egaliter. Semua orang memiliki derajat yang sama di hadapan Allah Subhanhu Wata’ala, tanpat membeda – bedakan bentuk fisik mereka apakah sempurna, atau bahkan kekurangan (disabilitas). Konsekuensinya, manusia sebagai makhluk sosial tidak boleh memandang rendah orang – orang yang memiliki keterbatasan, atau biasa dikenal dengan sebutan difabel atau disabilitas. Manusia hendaknya menyadari, bahwa kemuliaan yang berharga di sisi Allah ditentukan dengan seberapa tinggi kualitas taqwa mereka kepada-Nya. Oleh karena itu, hanya orang munafik saja yang dapat merasa lebih baik atau suci dari orang selain dirinya, padahal tidak ada yang dapat mengukur kadar iman dan taqwa mereka selain Allah. Seyogyanya, manusia agar dapat bersikap lebih rendah hati karena ketidaktahuan mereka dengan perhitungan Allah SWT atas amal – amal mereka.
Selain itu, kita dapat mengambil pelajaran bahwa seseorang yang memiliki niat dan keinginan yang kuat memiliki nilai lebih dan patut dihargai. Melalui surat ‘Abasa, Allah SWT menegur Rasulullah agar lebih menghargai sang tunanetra, yaitu Abdullah bin Ummi Maktum, dan justru mengesampingkan para pembesar Quraisy itu. Hal itu dikarenakan Abdullah benar – benar memiliki niat dan keinginan kuat agar dapat memperoleh petunjuk dan pembelajaran dari Rasulullah, yang ditandai oleh sikapnya yang terus bertanya kepada Rasulullah, atau bahkan sampai mendesaknya. Sementara itu, para pembesar Quraisy tidak berkeinginan untuk mengetahui ajaran – ajaran Islam, kecuali hanya mendengarkan apa yang disampaikan oleh Nabi. Maka, turunlah firman Allah Subhanahu Wata’ala sebagai teguran atas sikapnya tersebut terhadap Abdullah bin Ummi Maktum, yang mengisyaratkan bahwa orang yang benar – benar ingin tahu dan ingin belajar harus lebih dihargai dari mereka yang tidak.
Ketiga, bahwa manusia tidak boleh merasa sombong apabila berhadapan dengan orang yang derajatnya lebih rendah. Dan sebaliknya, dia juga tidak perlu menyesal apabila berhadapan dengan orang yang derajatnya lebih tinggi dari dirinya. Fikiran dan perasaan yang timbul seperti itu, harus segera dihilangkan. Karena, sesungguhnya derajat seseorang ketika dilihat dari sudut pandang manusia adalah palsu. Yang memiliki hakikat atau kebenaran akan ukuran tersebut adalah penilaian Allah Subhanahu Wata’ala. Oleh karena itu, penyakit hati seperti sombong dan penyesalan yang tidak pada tempatnya, agar dibuang dan dibersikan sehingga hati kita bersih dari kotoran – kotoran tersebut. Dan sebaiknya hati manusia diisi dengan akhlak hati yang mahmudah (terpuji), seperti rendah hati, berfikir positif, tidak berburuk sangka, dan senantiasa menghabiskan umur yang senantiasa berjalan dengan berdzikir kepada Allah Subhanahu Wata’ala.(Rizal)

DISABILITAS DALAM SUDUT PANDANG ISLAM (PART 2)

Difabel atau disabilitas terbagi menjadi beberapa jenis. Ada yang bersifat mental, fisik, kognitif, sensorik, emosional, ataupun kombinasi dari beberapa sifat keterbatasan tersebut. Secara garis besar, kaum disabilitas dapat diklasifikasikan kedalam tiga kategori: keterbatasan fisik, keterbatasan mental dan keterbatasan fisik dan mental. Penyandang keterbatasan secara fisik terbagi kedalam beberapa jenis disabilitas, yaitu tunanetra (tidak dapat melihat), tunarungu (tidak dapat/kurang mendengar), tunawicara (tidak dapat berbicara), tunadaksa (cacat tubuh), dan tunalaras (cacat suara dan nada). Adapun disabilitas secara mental terbagi menjadi dua kategori: tunalaras (sukar mengendalikan emosi dan sosial), dan tunagrahita (cacat pikiran; lemah daya tangkap).
Kata disabiltas sendiri memiliki padanan kata dalam bahasa arab al-I’aaqah (الإعاقة) dan al-‘ajzu (العجز). Al–I’aaqah bermakna ‘sesuatu yang dapat menyebabkan frustasi, kekecewaan ataupun obstruksi’, sementara al-‘ajzu bermakna ‘lemah atau tidak memiliki kekuatan’. Di dalam Islam, kaum disabilitas lebih sering disebutkan secara parsial. Tunanetra dalam bahasa Arab disebut dengan A’ma (أعمى), tunawicara disebut dengan Abkam (أبكم), tunarungu disebut dengan Asamm (أصم), dan orang yang terganggu mobilitasnya disebut A’raj (أعرج).
Allah memiliki nama – nama yang indah atau yang disebut dengan al-asmaa al-husna. diantara nama dan sifat Allah yang Maha Sempurna adalah Yang Maha Adil dan Bijaksana. Melaui sudut pandang ini, kita harus meyakini bahwasanya apapun yang Allah kehendaki merupakan keputusan yang Adil dan Bijaksana bagi mahkluk-Nya. Tidak ada satu pun yang sia – sia dari ciptaan-Nya, sebagaimana firman-Nya:
… ربنا ما خلقت هذا باطلا … (آل عمران: 191)
“Wahai Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan ini dengan sia – sia” (Ali Imran: 191).
Dengan demikian, kaum disabilitas yang memiliki kekurangan dibandingkan dengan orang pada umumnya harus diyakini bahwa di balik kehendak Allah yang Maha Adil dan Bijaksana pasti terdapat ibrah dan pelajaran yang dapat diambil baik bagi penyandang disabilitas tersebut, maupun orang yang tinggal di sekitarnya. Sebagai contoh sederhana, kondisi tunanetra yang tidak dapat melihat bisa menjadi cerminan bagi orang – orang yang bukan tunanetra, agar mereka dapat lebih mensyukuri segala anugrah dan nikmat –seperti penglihatan – yang telah dicurahkan Allah Subhanahu Wata’ala terhadap hamba – hamba-Nya. Dan sebagai bentuk syukurnya, seyogyanya mereka dapat menggunakan penglihatan tersebut untuk aktifitas yang dapat meningkatkan ketaqwaan kita kepada Allah Subhanahu Wata’ala, bukan disalah gunakan untuk bermaksiat kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Naudzubillah. Di sisi lain, bagi para penyandang tunanetra yang memiliki keterbatasan dalam penglihatan, Allah Subhanahu Wata’ala telah menutup salah satu peluang mereka untuk berbuat maksiat melalui mata dan penglihatannya. Dengan kondisi tersebut, penyandang tunanetra memiliki kesempatan lebih untuk menjaga pandangan dari hal – hal yang dilarang Syariat Islam, seperti melihat aurat lawan jenis, yang berimplikasi untuk menjaga mereka dari godaan dan hawa nafsu syaitan.
Allah Subhanahu Wata’ala tidak akan pernah menguji hamba – hamba-Nya melebihi batas kemampuan mereka masing – masing. Hal ini sebagaimana firman-Nya:
لا يكلف الله نفسا إلا وسعها … (البقرة: 286)
‘Allah tidak membebani seseorang melainkan kemampuannya’.
Inilah salah satu bentuk keadilan dan kebijaksanaan Allah Subhanahu Wata’ala. Setiap orang pasti memiliki beban, ujian dan masalahnya masing – masing yang tentunya berbeda satu dengan yang lainnya. Demikian juga dengan apa yang dialami oleh saudara – saudari kita para penyandang disabilitas yang mendapatkan ujian dari Allah Subhanahu Wata’ala melalui kekurangan yang Allah Subhanahu Wata’ala sertakan bagi mereka. Ujian dalam bentuk apapun yang kita hadapi di dunia ini, harus kita sertai dengan suatu keyakinan yang bulat bahwa kita mampu melalui-Nya dengan landasan keyakinan kita terhadap janji Allah tersebut.
Namun, tidak jarang baik kaum disabilitas ataupun non-disabilitas yang tidak berhasil menghadapi ujian dan cobaan dari Allah Subhanahu Wata’ala. Sebagai contoh sederhana, mungkin saja kita dapat menemukan seorang tunanetra yang merasa kecewa dan tidak menerima akan keputusan yang telah Allah Subhanahu Wata’ala tetapkan baginya. Di sisi lain, ada orang yang memiliki kesempurnaan fisik, namun hidup dalam keluarga yang hidup di bawah garis kemiskinan, ataupun salah seorang calon legislatif yang mengalami kegagalan dalam kegiatan pemilihan umum setelah mengeluarkan sebagian besar hartanya, dan kesemuanya berakhir dalam kondisi stres, ftrustasi, bahkan tidak jarang sampai pada tingkan ketidakwarasan atau gila. Hal ini, apabila kita melihat dari sudut pandang agama, dapat terjadi karena lemah dan tipisnya tingkat keimanan mereka terhadap firman-Nya, dan tidak disertainya fikiran mereka dengan pandangan yang positif. Sebagaimana termaktub dalam hadits qudsi:
أنا عند ظن عبدي بي
‘Aku bersama dengan prasangka hamba-Ku’
Sesungguhnya, Allah bersama hamba – hamba-Nya yang sabar, yang tetap bertahan dan berjuang dalam menghadapi ujian dan cobaan hidup yang dialami.(Rizal)

DISABILITAS DALAM SUDUT PANDANG ISLAM (PART 1)

                Difabel atau disabilitas merupakan kata serapan yang berasal dari kata berbahasa Inggris Disability. Kata disability itu sendiri, sebagaimana yang didefinisikan dalam kamus Cambridge bermakna ‘an illness, injury or condition that makes it difficult for someone to do the things that other people do ‘, yaitu suatu penyakit, luka, ataupun kondisi yang menyulitkan seseorang untuk melakukan hal – hal yang dilakukan oleh orang-orang. Meskipun pada umumnya sebagian masyarakat Indonesia sendiri masih menggunakan istilah kecacatan, pada tahun 2007 istilah tersebut telah resmi diganti dengan istilah disabilitas.

Islam berpandangan bahwa setiap manusia diciptakan sama. Mereka dilahirkan dengan suci tanpa membawa bercak atau bahkan secuil kotoran apapun ketika dilahirkan oleh orang tua mereka di dunia ini. Rasulullah SHALALLAHU ‘ALAIHI WASALAM telah menyatakan hal tersebut dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari ;

مَا مِنْ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ..

“Tidaklah setiap anak yang terlahir, melainkan dilahirkan secara fitrah (suci)…” )HR. Bukhari)

Tatkala hadits ini diutarakan oleh Rasulullah SHALALLAHU ‘ALAIHI WASALAM, Abu Hurairah berkata: “bacalah oleh kalian ayat al Qur’an:

فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ (30)

“fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus” (QS. Ar-Ruum: 30).

Terkait ini, Imam Fakhruddin Ar-Razy memberikan tanggapan di dalam tafsirnya Mafatih Al-Ghaib bahwa yang dimaksud dengan fitrah Allah adalah ke-Esaan Allah SUBHANAHU WATA’ALA, bahwa sesungguhnya seluruh manusia, yang terlahir dari Nabi Adam dan Siti Hawa, ketika ditanya oleh Allah SUBHANAHU WATA’ALA “ Apakah kalian bersaksi aku sebagai Tuhan-Mu?”, mereka semua menjawab “ya, kami bersaksi bahwa Engkau adalah Tuhan kami”. Oleh karena itu, tidak ada yang membedakan antara kaum disabilitas dan masyarakat pada umumnya, bahwa mereka pada hakikatnya telah mengakui ke-Esaan Allah SUBHANAHU WATA’ALA, dan terlahir dengan suci dalam iman tauhid kepada Allah. Dengan demikian, manusia seluruhnya telah memiliki bekal dan potensi yang sama untuk beriman dan beribadah kepada Allah.

Sesungguhnya yang paling berharga di sisi Allah SUBHANAHU WATA’ALA adalah nilai dan kualitas taqwanya. Allah SUBHANAHU WATA’ALA telah menegaskan hal tersebut dalam firman-Nya:

لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى )الحج : 37)

Daging – daging unta dan darahnya itu sekali – kali tidak dapat mencapai (keridlaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya”. (QS. Al-Hajj; 37)

Imam Al-Baidhawi sendiri memberikan tafsiran untuk ayat ini dan berkata “Manusia dapat mencapai keridhaan Allah SUBHANAHU WATA’ALA melalui ketaqwaan hati mereka yang membuat mereka mengagungkan Allah, dekat kepada-Nya, dan melakukan segala amal perbuatan dengan ikhlas karena-Nya”. Oleh karena itu, kualitas taqwa menjadi kunci utama agar seseorang dapat mencapai ridha-Nya. Allah SUBHANAHU WATA’ALA tidak menilai seseorang dari rupa bagus atau buruknya, tidak pula menilai dari kesempurnaan fisik mereka atupun kurangnya, bahkan Allah SUBHANAHU WATA’ALA tidak melihat hamba-Nya dari kuantitas harta yang mereka miliki. Satu – satunya poin yang membedakan kualitas dan nilai kebaikan seorang hamba di sisi Allah SUBHANAHU WATA’ALA adalah karena taqwa mereka. Dalam hal ini, kaum disabilitas maupun non-disabilitas memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh keridhaan Allah SUBHANAHU WATA’ALA yang semestinya menjadi tujuan utama kehidupan kita. Kekurangan yang dimiliki kaum disabilitas tidaklah menurunkan penilaian Allah SUBHANAHU WATA’ALA. Bahkan, bukan tidak mungkin bahwa kekurangan mereka apabila membuat mereka dapat lebih mendekatkan diri kepada Allah SUBHANAHU WATA’ALA dan meningkatkan kualitas ibadah mereka, hal tersebut dapat menjadikan mereka lebih mulia di sisiNya. Dan sebaliknya, bagi mereka yang diberikan kesempurnaan fisik dan mental, namun tidak dapat mensyukurinya atau bahkan dengan karunia tersebut menjauhkan mereka dari ibadah dan taqwa kepada Allah, hal tersebut hanya akan menjadikan mereka sebagi makhluk yang hina dan rendah di hadapan Allah SUBHANAHU WATA’ALA. Naudzubillah.(Rizal)

;