Etika Bercanda

Arrahman Arrahim, atas kasih sayang Allah ta`ala kepada umatnya maka syariat-syariat itu ada, dan Allah melalui Rasul-Nya sudah mengaturnya dari hal-hal yang terkecil hingga yang terbesar, dari hal yang dianggap remeh sampai hal serius. Syariat mengisi seluruh ruang dan waktu kehidupan manusia, khususnya kaum muslimin.

Salah satu syariat islam yang agung adalah mengatur bagaimana kita bisa tersenyum. Karena dengan senyum tersebut banyak sekali faedah dan mafaatnya. Salah satunya adalah kita bisa mendapatkan pahala karena ternilai sebagai shadaqah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

تَبَسُّمُكَ فِي وَجْهِ أَخِيكَ صَدَقَة

“Senyummu dihadapan saudaramu adalah shadaqah” (HR. Ibnu Hibban No. 474)

Dalam hal ini, erat kaitanya antara senyum dan bercanda meskipun tidak semua senyum berasal dari bercanda. Namun pastinya harapan dari sebuah canda adalah munculnya sebuah senyuman, karenanya dua hal ini telah diatur dalam syariat islam. Islam mengajarkan hendaknya canda dan tawa kita sesuai batasan dan aturan, sebagaimana sabda Nabi Muhammad shalallahu `alaihi wa sallam :

لَا تُكْثِرُوا الضَّحِكَ فَإِنَّ كَثْرَةَ الضَّحِكِ تُمِيتُ الْقَلْبَ

Janganlah kalian banyak tertawa, karena sesungguhnya banyak tertawa dapat mematikan hati.” (HR. Ibnu Majah No 4183)

Berikut etika yang telah diajarkan oleh islam supaya canda kita bisa mendekati bagaimana cara bercanda Nabi kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam :

  1. Niat baik karena Allah ta’ala
  2. Memperhitungkan waktu dan ruang yang pas
  3. Melihat situasi dan kondisi tepat
  4. Menjauhi hal-hal yang dilarang dalam islam (dusta, dhalim, ghibah, dll).

Sebagai suri taudalan umat ini, terdapat saat-saat tertentu Rasulullah shalallahu `alaihi wa sallam mencontohkan bagaimana beliau bercanda seperti ketika Rasulullah shalallahu `alaihi wa sallam bercanda untuk membahagiakan istrinya, Rasulullah shalallahu `alaihi wa sallam mengajaknya berlomba lari. Di lain waktu beliau juga pernah menjulurkan lidahnya untuk menggoda cucunya, Hasan bin Ali, yang masih kecil. Tidak hanya itu, Nabi Muhammad shalallahu `alaihi wa sallam juga bercanda tatkala menjawab pertanyaan seorang sohabiah yang sudah tua terkait tentang penghuni surga. Begitulah sekilas canda Beliau yang menunjukkan kesempunaan pribadi beliau, dengan tanpa mengurangi wibawa dan kesempurnaan akhlak beliau.

Sebagai seorang muslim, bolehlah canda tawa menghiasi hari-hari kita. Hal ini bisa menambah luwesnya kita sebagai seorang muslim, sebagaimana Nabi kita juga bercanda sebagai bukti kesempurnaan akhlak beliau dihadapan para sahabatnya. Wallahu a`lam.

 

DISABILITAS DALAM SUDUT PANDANG ISLAM (PART 2)

Difabel atau disabilitas terbagi menjadi beberapa jenis. Ada yang bersifat mental, fisik, kognitif, sensorik, emosional, ataupun kombinasi dari beberapa sifat keterbatasan tersebut. Secara garis besar, kaum disabilitas dapat diklasifikasikan kedalam tiga kategori: keterbatasan fisik, keterbatasan mental dan keterbatasan fisik dan mental. Penyandang keterbatasan secara fisik terbagi kedalam beberapa jenis disabilitas, yaitu tunanetra (tidak dapat melihat), tunarungu (tidak dapat/kurang mendengar), tunawicara (tidak dapat berbicara), tunadaksa (cacat tubuh), dan tunalaras (cacat suara dan nada). Adapun disabilitas secara mental terbagi menjadi dua kategori: tunalaras (sukar mengendalikan emosi dan sosial), dan tunagrahita (cacat pikiran; lemah daya tangkap).
Kata disabiltas sendiri memiliki padanan kata dalam bahasa arab al-I’aaqah (الإعاقة) dan al-‘ajzu (العجز). Al–I’aaqah bermakna ‘sesuatu yang dapat menyebabkan frustasi, kekecewaan ataupun obstruksi’, sementara al-‘ajzu bermakna ‘lemah atau tidak memiliki kekuatan’. Di dalam Islam, kaum disabilitas lebih sering disebutkan secara parsial. Tunanetra dalam bahasa Arab disebut dengan A’ma (أعمى), tunawicara disebut dengan Abkam (أبكم), tunarungu disebut dengan Asamm (أصم), dan orang yang terganggu mobilitasnya disebut A’raj (أعرج).
Allah memiliki nama – nama yang indah atau yang disebut dengan al-asmaa al-husna. diantara nama dan sifat Allah yang Maha Sempurna adalah Yang Maha Adil dan Bijaksana. Melaui sudut pandang ini, kita harus meyakini bahwasanya apapun yang Allah kehendaki merupakan keputusan yang Adil dan Bijaksana bagi mahkluk-Nya. Tidak ada satu pun yang sia – sia dari ciptaan-Nya, sebagaimana firman-Nya:
… ربنا ما خلقت هذا باطلا … (آل عمران: 191)
“Wahai Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan ini dengan sia – sia” (Ali Imran: 191).
Dengan demikian, kaum disabilitas yang memiliki kekurangan dibandingkan dengan orang pada umumnya harus diyakini bahwa di balik kehendak Allah yang Maha Adil dan Bijaksana pasti terdapat ibrah dan pelajaran yang dapat diambil baik bagi penyandang disabilitas tersebut, maupun orang yang tinggal di sekitarnya. Sebagai contoh sederhana, kondisi tunanetra yang tidak dapat melihat bisa menjadi cerminan bagi orang – orang yang bukan tunanetra, agar mereka dapat lebih mensyukuri segala anugrah dan nikmat –seperti penglihatan – yang telah dicurahkan Allah Subhanahu Wata’ala terhadap hamba – hamba-Nya. Dan sebagai bentuk syukurnya, seyogyanya mereka dapat menggunakan penglihatan tersebut untuk aktifitas yang dapat meningkatkan ketaqwaan kita kepada Allah Subhanahu Wata’ala, bukan disalah gunakan untuk bermaksiat kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Naudzubillah. Di sisi lain, bagi para penyandang tunanetra yang memiliki keterbatasan dalam penglihatan, Allah Subhanahu Wata’ala telah menutup salah satu peluang mereka untuk berbuat maksiat melalui mata dan penglihatannya. Dengan kondisi tersebut, penyandang tunanetra memiliki kesempatan lebih untuk menjaga pandangan dari hal – hal yang dilarang Syariat Islam, seperti melihat aurat lawan jenis, yang berimplikasi untuk menjaga mereka dari godaan dan hawa nafsu syaitan.
Allah Subhanahu Wata’ala tidak akan pernah menguji hamba – hamba-Nya melebihi batas kemampuan mereka masing – masing. Hal ini sebagaimana firman-Nya:
لا يكلف الله نفسا إلا وسعها … (البقرة: 286)
‘Allah tidak membebani seseorang melainkan kemampuannya’.
Inilah salah satu bentuk keadilan dan kebijaksanaan Allah Subhanahu Wata’ala. Setiap orang pasti memiliki beban, ujian dan masalahnya masing – masing yang tentunya berbeda satu dengan yang lainnya. Demikian juga dengan apa yang dialami oleh saudara – saudari kita para penyandang disabilitas yang mendapatkan ujian dari Allah Subhanahu Wata’ala melalui kekurangan yang Allah Subhanahu Wata’ala sertakan bagi mereka. Ujian dalam bentuk apapun yang kita hadapi di dunia ini, harus kita sertai dengan suatu keyakinan yang bulat bahwa kita mampu melalui-Nya dengan landasan keyakinan kita terhadap janji Allah tersebut.
Namun, tidak jarang baik kaum disabilitas ataupun non-disabilitas yang tidak berhasil menghadapi ujian dan cobaan dari Allah Subhanahu Wata’ala. Sebagai contoh sederhana, mungkin saja kita dapat menemukan seorang tunanetra yang merasa kecewa dan tidak menerima akan keputusan yang telah Allah Subhanahu Wata’ala tetapkan baginya. Di sisi lain, ada orang yang memiliki kesempurnaan fisik, namun hidup dalam keluarga yang hidup di bawah garis kemiskinan, ataupun salah seorang calon legislatif yang mengalami kegagalan dalam kegiatan pemilihan umum setelah mengeluarkan sebagian besar hartanya, dan kesemuanya berakhir dalam kondisi stres, ftrustasi, bahkan tidak jarang sampai pada tingkan ketidakwarasan atau gila. Hal ini, apabila kita melihat dari sudut pandang agama, dapat terjadi karena lemah dan tipisnya tingkat keimanan mereka terhadap firman-Nya, dan tidak disertainya fikiran mereka dengan pandangan yang positif. Sebagaimana termaktub dalam hadits qudsi:
أنا عند ظن عبدي بي
‘Aku bersama dengan prasangka hamba-Ku’
Sesungguhnya, Allah bersama hamba – hamba-Nya yang sabar, yang tetap bertahan dan berjuang dalam menghadapi ujian dan cobaan hidup yang dialami.(Rizal)

IDUL ADHA SEBAGAI BENTUK SOLIDARITAS SOSIAL

Idul Adha merupakan salah satu hari raya umat Islam yang memiliki makna yang mendalam. Di hari ini, umat islam secara khusus dapat mengambil ibrah dari sejarah hidup Nabi kita Ibrahim AS, karena peristiwa inilah yang melatarbelakangi diadakannya peringatan hari raya Idul Adha. Nabi Ibrahim AS menerima perintah dari Allah SWT agar bersedia mengorbankan anaknya, Nabi Ismail AS, untuk disembelih. Hal ini, dilakukannya sebagai wujud ketaatan Nabi Ibrahim kepada Allah SWT. Nabi Ismail AS yang mendengar perintah itu, menerima dengan penuh keikhlasan apa yang telah diperintahkan Allah SWT kepada ayahnya tersebut. Namun atas izin Allah SWT, digantikanlah Nabi Ismail AS yang awalnya akan disembelih oleh seekor domba.
Pada hari raya Idul Adha, umat Islam beramai-ramai saling berlomba-lomba dalam kebaikan untuk melaksanakan pemotongan hewan kurban. Hewan kurban itu sendiri, dalam istilah bahasa Arab disebut dengan Udhiyah yang bermakna hewan ternak; sapi, kambing, kerbau, ataupun unta.
Selain sejarah Nabi Ibrahim AS yang melatarbelakangi peringatan hari raya tersebut, Allah SWT secara jelas telah memerintahkan hamba-Nya untuk menyembelih hewan kurban pada hari raya Idul Adha. Hal ini sebagaimana yang termaktub dalam firman-Nya :
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ (الكوثر: 2)
“Maka Dirikanlah shalat Karena Tuhanmu; dan berkorbanlah” (Al-Kautsar: 2)

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ ۗ فَإِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ فَلَهُ أَسْلِمُوا ۗ وَبَشِّرِ الْمُخْبِتِينَ (الحجّ: 34)
“Dan bagi tiap-tiap umat telah kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzkikan Allah kepada mereka, Maka Tuhanmu ialah Tuhan yang Maha Esa, Karena itu berserahdirilah kamu kepada-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah)”.
Berdasarkan ayat tersebut, telah jelas bahwa Allah SWT telah memerintahkan kepada hamba-Nya melaksanakan ibadah menyembelih hewan kurban. Dalam salah satu kaidah ushul fiqh, diketahui bahwa segala sesuatu yang diperintahkan oleh Allah SWT terdapat kemashlahatan (kebaikan) di dalamnya, dan sebaliknya, atas segala sesuatu yang dilarang oleh Allah SWT terdapat mafsadah (keburukan) dibalik hal tersebut. Melalui ayat tersebut, kita dapat mengetahui bahwa diantara manfaat yang diperoleh seseorang yang melaksanakan ibadah kurban, ibadah tersebut dapat membuat dirinya lebih dekat kepada Allah SWT. Di sisi lain, hal yang tidak kalah penting dari hubungan vertical kita dengan Allah, adalah hubungan horizontal kita dengan saudara kita sesame muslim, sehingga kita dapat saling tolong menolong, bertenggang rasa dan dapat memberikan manfaat seluas-luasnya terhadap mereka, sebagai bentuk solidaritas sosial antar umat Islam.
Di samping itu, hal yang paling mendasari ibadah kurban ini secara khusus, dan ibadah-ibadah lainnya adalah bagaimanakah seorang muslim melandasi niatnya. Allah telah berfirman :
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ … (البينة: 5)
“Tidaklah mereka disuruh kecuali supaya menyembah Allah secara ikhlas (memurnikan ketaatan kepada-Nya) dalam (menjalankan) agama yang lurus …” (Al-Bayyinah: 5)
Dengan demikian, seyogyanya agar ibadah kurban tersebut dilakukan dengan hati yang ikhlas, yaitu hati yang murni dan suci yang terbebas dari hawa nafsu, riya’, sombong, dan penyakit-penyakit hati lainnya, dan semata-mata ditujukan hanya kepada Allah SWT dan untuk mendapat ridla-Nya.
Melalui ibadah kurban, orientasi dari ibadah ini adalah semata-mata karena Allah SWT yang diwujudkan dalam bentuk kepedulian sosial dan perhatian terhadap lingkungan. Hewan kurban yang disembelih dapat dinikmati oleh orang yang berkurban sebagai nikmat dan anugrah dari Allah SWT, dan sebagian yang lain, dapat didistribusikan secara adil dan merata kepada mereka yang benar-benar membutuhkan sebagai bentuk kepedulian sosial dan perhatian terhadap lingkungan, seperti fakir, penyandang disabilitas yang tergolong duafa, miskin dan golongan dluafa lainnya.
Sebagai bentuk kepedulian sosial bagi lapisan masyarakat, khususnya bagi mereka yang benar-benar membutuhkan, penyandang disabilitas merupakan salah satu golongan yang layak mendapat bantuan sosial melalui ibadah kurban umat muslim. Para penyandang disabilitas, tidak seperti masyarakat pada umumnya, membutuhkan perhatian khusus dalam berbagai aspek. Sebagai contoh, tunanetra membutuhkan alat-alat yang mendukung untuk proses belajar mengajar mereka, seperti buku-buku braille, computer yang terinstal aplikasi pembaca layar, dan lain-lain. Hal tersebut menjadi gambaran sederhana bagaimana penyandang disabilitas membutuhkan perhatian lebih dibandingkan dengan masyarakat pada umumnya. Yayasan Raudlatul Makfufin, sebagai lembaga yang fokus di dalam bidang pemberdayaan penyandang disabilitas, secara khusus untuk tunanetra, sangat menyambut dengan baik dan hangat bagi para muslimin yang hendak melakukan ibadah kurbannya di yayasan ini.
Akhirnya, semoga ibadah-ibadah kita dan ibadah kurban kita secara khusus, dapat tertuju hanya untuk ridla Allah semata, dan dapat terdistribusi secara adil dan merata kepada mereka yang benar-benar membutuhkan sebagai bentuk kepedulian dan solidaritas sosial antar umat Islam. (Rizal)

;