MEREKA YANG PEKAK DAN BISU KARENA DUSTA

(Tafsir Ibnu Katsir untuk Surat al-An’am ayat 39)
وَالَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا صُمٌّ وَبُكْمٌ فِي الظُّلُمَاتِ مَنْ يَشَإِ اللَّهُ يُضْلِلْهُ وَمَنْ يَشَأْ يَجْعَلْهُ عَلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ (39)
“Dan orang – orang yang mendustakan ayat – ayat Kami, mereka pekak, bisu dan berada dalam gelap gulita. Barangsiapa yang dikehendaki Allah (kesesatannya), niscaya disesatkan-Nya. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah (untuk diberi-Nya petunjuk), niscaya Dia menjadikan-Nya berada di atas jalan yang lurus” QS. Al-An’am : 39.
Ayat tersebut, dengan jelas telah menerangkan dampak dari sifat dusta terhadap ayat-ayat Allah. Namun, apakah yang dimaksud dengan ayat – ayatNya, serta bagaimana hakikat dari kondisi pekak, bisu dan dalam kegelapan sebagaimana yang digambarkan oleh ayat tersebut? Sehingga Allah SWT, dengan kehendakNya dapat menentukan siapa yang akan Dia sesatkan dan Dia beri petunjuk berada di jalan yang lurus. Untuk menjawab hal tersebut, tulisan kali ini akan membahas surat al-An’am ayat 39 melalui pendekatan pandangan Imam Ibnu Katsir.
Ayat ini memiliki keterkaitan dengan dengan dua ayat sebelumnya ; al-An’am 37 dan 38. Ibnu Katsir menjelasakan bahwa sesungguhnya orang – orang musyrik, berdusta karena berharap tidak turun petunjuk/ayat dari Allah SWT. Padahal, sebenarnya mereka menginginkannya langsung dari Allah. Bukti dari kebenaran itu dijelaskan dalam QS al-Isra : 90 :
لَنْ نُؤْمِنَ لَكَ حَتَّى تَفْجُرَ لَنَا مِنَ الأرْضِ يَنْبُوعًا
“sekali-kali kami (orang musyrik) tidak akan percaya (beriman) hingga kamu memancarkan mata air dari bumi untuk kami”
Ayat ini sesungguhnya menjadi bukti bahwa orang – orang meminta bukti akan kebenaran Allah. Namun, mereka berdusta karena secara zahir mereka sama sekali tidak mengharapkan turunnya ayat ataupun bukti akan kebenaran Allah.
Kemudian, sebenarnya Allah SWT mampu untuk menurunkan ayat-Nya. Namun, dalam hal ini Allah tidak menurunkannya. Terdapat hikmah dibalik tidak turunnya ayat tersebut. Apabila mereka tidak beriman setelah ayat itu diturunkan, niscaya Allah akan menyegerakan turunnya azab bagi mereka, sebagaimana yang diturunkan bagi umat-umat sebelumnya. Sehingga hikmah dari tidak turunnya ayat itu adalah untuk menunda turunnya azab bari mereka.
Di sisilain, pada ayat setelahnya (al-an’am : 38), Allah SWT menyatakan bahwa sesungguhnya kata “umat” tidak hanya disandarkan kepada golongan manusia saja.
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الأرْضِ وَلا طَائِرٍ يَطِيرُ بِجَنَاحَيْهِ إِلا أُمَمٌ أَمْثَالُكُمْ
“Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu”. Hal ini, sebagaimana perkataan ibnu Katsir yang mengutip dari Qatadah : “Burung adalah umat, manusia adalah umat dan jin adalah umat”. Adapun, lanjutan dari ayat tersebut berbunyi :
مَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ يُحْشَرُونَ
“Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab (al-Qur’an), kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan”.
Abu Hurairah, berpendapat terkait ayat tersebut dengan berkata “akan dihimpun seluruh makhluk Allah pada saat hari kiamat ; hewan – hewan (بهائم), binatang (دواب), burung, dan semua makhluk Allah. Pada saat itu, setiap orang akan mencari teman mereka masing – masing”.
Dengan kondisi tersebut, Allah menjelaskan apa akan terjadi bagi mereka (orang – orang musyrik) yang telah mendustakan ayat – ayat Allah di QS. Al-An’am : 39 bahwa “Mereka yang berdusta dengan ayat – ayat kami, pekak dan bisu dalam keadaan gelap gulita”. Ibnu Katsir menjelaskan maksud dari ayat tersebut. Perumpamaan mereka, karena ketidaktahuan, sedikitnya ilmu dan ketidakfahaman mereka, seperti orang yang pekak (padahal mereka mampu mendengar), dan orang bisu (padahal mereka mampu berbicara) dalam kondisi yang gelap gulita sehingga tidak dapat melihat.
Bagaimana orang yang bisu, pekak dan dia berada dalam kegelapan dapat memperoleh petunjuk terhadap suatu jalan, atau dikeluarkan dari kondisi tersebut? Hal ini seperti yang disampaikan Allah dalam surat al-Baqarah : 17 & 18 “perumpamaan mereka seperti orang yang menyalakan api. Ketika api itu menerangi sekelilingnya, Allah menghilangkan cahaya itu, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, dan tidak dapat melihat. Mereka pekak, bisu dan buta, maka mereka tidak akan kembali ke jalan yang benar”.
Oleh karena itu, Allah berfirman “Barangsiapa yang dikehendaki Allah (kesesatannya), niscaya disesatkan-Nya. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah (untuk diberi-Nya petunjuk), niscaya Dia menjadikan-Nya berada di atas jalan yang lurus”. Maksudnya adalah bahwa Dialah yang berbuat sesuai dengan kehendak-Nya terhadap makhluk – makhlukNya.
Hal yang penting yang perlu digarisbawahi dari ayat ini, seperti yang disampaikan Ibnu Katsir bahwa sebab dari kondisi orang – orang musyrik tersebut adalah karena tiga hal, yaitu ketidaktahuan, sedikitnya ilmu dan ketidakfahaman. Hal ini menyebabkan mereka menjadi dusta terhadapt ayat – ayat Allah SWT. Dengan ini, kita mengetahui bahwa kurangnya ilmu pengetahuan dapat menyebabkan seseorang menjadi musyrik. Dan sebaliknya, bertambahnya ilmu pengetahuan dapat meningkatkan keimanan seseorang, baik terhadap Al-Qur’an dan rukun iman lainnya, serta menjauhkan dari kemusyrikan.
Wallahu ‘alam bi al-shawab.(Rizal)

DISABILITAS DALAM SUDUT PANDANG ISLAM (PART 2)

Difabel atau disabilitas terbagi menjadi beberapa jenis. Ada yang bersifat mental, fisik, kognitif, sensorik, emosional, ataupun kombinasi dari beberapa sifat keterbatasan tersebut. Secara garis besar, kaum disabilitas dapat diklasifikasikan kedalam tiga kategori: keterbatasan fisik, keterbatasan mental dan keterbatasan fisik dan mental. Penyandang keterbatasan secara fisik terbagi kedalam beberapa jenis disabilitas, yaitu tunanetra (tidak dapat melihat), tunarungu (tidak dapat/kurang mendengar), tunawicara (tidak dapat berbicara), tunadaksa (cacat tubuh), dan tunalaras (cacat suara dan nada). Adapun disabilitas secara mental terbagi menjadi dua kategori: tunalaras (sukar mengendalikan emosi dan sosial), dan tunagrahita (cacat pikiran; lemah daya tangkap).
Kata disabiltas sendiri memiliki padanan kata dalam bahasa arab al-I’aaqah (الإعاقة) dan al-‘ajzu (العجز). Al–I’aaqah bermakna ‘sesuatu yang dapat menyebabkan frustasi, kekecewaan ataupun obstruksi’, sementara al-‘ajzu bermakna ‘lemah atau tidak memiliki kekuatan’. Di dalam Islam, kaum disabilitas lebih sering disebutkan secara parsial. Tunanetra dalam bahasa Arab disebut dengan A’ma (أعمى), tunawicara disebut dengan Abkam (أبكم), tunarungu disebut dengan Asamm (أصم), dan orang yang terganggu mobilitasnya disebut A’raj (أعرج).
Allah memiliki nama – nama yang indah atau yang disebut dengan al-asmaa al-husna. diantara nama dan sifat Allah yang Maha Sempurna adalah Yang Maha Adil dan Bijaksana. Melaui sudut pandang ini, kita harus meyakini bahwasanya apapun yang Allah kehendaki merupakan keputusan yang Adil dan Bijaksana bagi mahkluk-Nya. Tidak ada satu pun yang sia – sia dari ciptaan-Nya, sebagaimana firman-Nya:
… ربنا ما خلقت هذا باطلا … (آل عمران: 191)
“Wahai Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan ini dengan sia – sia” (Ali Imran: 191).
Dengan demikian, kaum disabilitas yang memiliki kekurangan dibandingkan dengan orang pada umumnya harus diyakini bahwa di balik kehendak Allah yang Maha Adil dan Bijaksana pasti terdapat ibrah dan pelajaran yang dapat diambil baik bagi penyandang disabilitas tersebut, maupun orang yang tinggal di sekitarnya. Sebagai contoh sederhana, kondisi tunanetra yang tidak dapat melihat bisa menjadi cerminan bagi orang – orang yang bukan tunanetra, agar mereka dapat lebih mensyukuri segala anugrah dan nikmat –seperti penglihatan – yang telah dicurahkan Allah Subhanahu Wata’ala terhadap hamba – hamba-Nya. Dan sebagai bentuk syukurnya, seyogyanya mereka dapat menggunakan penglihatan tersebut untuk aktifitas yang dapat meningkatkan ketaqwaan kita kepada Allah Subhanahu Wata’ala, bukan disalah gunakan untuk bermaksiat kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Naudzubillah. Di sisi lain, bagi para penyandang tunanetra yang memiliki keterbatasan dalam penglihatan, Allah Subhanahu Wata’ala telah menutup salah satu peluang mereka untuk berbuat maksiat melalui mata dan penglihatannya. Dengan kondisi tersebut, penyandang tunanetra memiliki kesempatan lebih untuk menjaga pandangan dari hal – hal yang dilarang Syariat Islam, seperti melihat aurat lawan jenis, yang berimplikasi untuk menjaga mereka dari godaan dan hawa nafsu syaitan.
Allah Subhanahu Wata’ala tidak akan pernah menguji hamba – hamba-Nya melebihi batas kemampuan mereka masing – masing. Hal ini sebagaimana firman-Nya:
لا يكلف الله نفسا إلا وسعها … (البقرة: 286)
‘Allah tidak membebani seseorang melainkan kemampuannya’.
Inilah salah satu bentuk keadilan dan kebijaksanaan Allah Subhanahu Wata’ala. Setiap orang pasti memiliki beban, ujian dan masalahnya masing – masing yang tentunya berbeda satu dengan yang lainnya. Demikian juga dengan apa yang dialami oleh saudara – saudari kita para penyandang disabilitas yang mendapatkan ujian dari Allah Subhanahu Wata’ala melalui kekurangan yang Allah Subhanahu Wata’ala sertakan bagi mereka. Ujian dalam bentuk apapun yang kita hadapi di dunia ini, harus kita sertai dengan suatu keyakinan yang bulat bahwa kita mampu melalui-Nya dengan landasan keyakinan kita terhadap janji Allah tersebut.
Namun, tidak jarang baik kaum disabilitas ataupun non-disabilitas yang tidak berhasil menghadapi ujian dan cobaan dari Allah Subhanahu Wata’ala. Sebagai contoh sederhana, mungkin saja kita dapat menemukan seorang tunanetra yang merasa kecewa dan tidak menerima akan keputusan yang telah Allah Subhanahu Wata’ala tetapkan baginya. Di sisi lain, ada orang yang memiliki kesempurnaan fisik, namun hidup dalam keluarga yang hidup di bawah garis kemiskinan, ataupun salah seorang calon legislatif yang mengalami kegagalan dalam kegiatan pemilihan umum setelah mengeluarkan sebagian besar hartanya, dan kesemuanya berakhir dalam kondisi stres, ftrustasi, bahkan tidak jarang sampai pada tingkan ketidakwarasan atau gila. Hal ini, apabila kita melihat dari sudut pandang agama, dapat terjadi karena lemah dan tipisnya tingkat keimanan mereka terhadap firman-Nya, dan tidak disertainya fikiran mereka dengan pandangan yang positif. Sebagaimana termaktub dalam hadits qudsi:
أنا عند ظن عبدي بي
‘Aku bersama dengan prasangka hamba-Ku’
Sesungguhnya, Allah bersama hamba – hamba-Nya yang sabar, yang tetap bertahan dan berjuang dalam menghadapi ujian dan cobaan hidup yang dialami.(Rizal)

DISABILITAS DALAM SUDUT PANDANG ISLAM (PART 1)

                Difabel atau disabilitas merupakan kata serapan yang berasal dari kata berbahasa Inggris Disability. Kata disability itu sendiri, sebagaimana yang didefinisikan dalam kamus Cambridge bermakna ‘an illness, injury or condition that makes it difficult for someone to do the things that other people do ‘, yaitu suatu penyakit, luka, ataupun kondisi yang menyulitkan seseorang untuk melakukan hal – hal yang dilakukan oleh orang-orang. Meskipun pada umumnya sebagian masyarakat Indonesia sendiri masih menggunakan istilah kecacatan, pada tahun 2007 istilah tersebut telah resmi diganti dengan istilah disabilitas.

Islam berpandangan bahwa setiap manusia diciptakan sama. Mereka dilahirkan dengan suci tanpa membawa bercak atau bahkan secuil kotoran apapun ketika dilahirkan oleh orang tua mereka di dunia ini. Rasulullah SHALALLAHU ‘ALAIHI WASALAM telah menyatakan hal tersebut dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari ;

مَا مِنْ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ..

“Tidaklah setiap anak yang terlahir, melainkan dilahirkan secara fitrah (suci)…” )HR. Bukhari)

Tatkala hadits ini diutarakan oleh Rasulullah SHALALLAHU ‘ALAIHI WASALAM, Abu Hurairah berkata: “bacalah oleh kalian ayat al Qur’an:

فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ (30)

“fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus” (QS. Ar-Ruum: 30).

Terkait ini, Imam Fakhruddin Ar-Razy memberikan tanggapan di dalam tafsirnya Mafatih Al-Ghaib bahwa yang dimaksud dengan fitrah Allah adalah ke-Esaan Allah SUBHANAHU WATA’ALA, bahwa sesungguhnya seluruh manusia, yang terlahir dari Nabi Adam dan Siti Hawa, ketika ditanya oleh Allah SUBHANAHU WATA’ALA “ Apakah kalian bersaksi aku sebagai Tuhan-Mu?”, mereka semua menjawab “ya, kami bersaksi bahwa Engkau adalah Tuhan kami”. Oleh karena itu, tidak ada yang membedakan antara kaum disabilitas dan masyarakat pada umumnya, bahwa mereka pada hakikatnya telah mengakui ke-Esaan Allah SUBHANAHU WATA’ALA, dan terlahir dengan suci dalam iman tauhid kepada Allah. Dengan demikian, manusia seluruhnya telah memiliki bekal dan potensi yang sama untuk beriman dan beribadah kepada Allah.

Sesungguhnya yang paling berharga di sisi Allah SUBHANAHU WATA’ALA adalah nilai dan kualitas taqwanya. Allah SUBHANAHU WATA’ALA telah menegaskan hal tersebut dalam firman-Nya:

لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى )الحج : 37)

Daging – daging unta dan darahnya itu sekali – kali tidak dapat mencapai (keridlaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya”. (QS. Al-Hajj; 37)

Imam Al-Baidhawi sendiri memberikan tafsiran untuk ayat ini dan berkata “Manusia dapat mencapai keridhaan Allah SUBHANAHU WATA’ALA melalui ketaqwaan hati mereka yang membuat mereka mengagungkan Allah, dekat kepada-Nya, dan melakukan segala amal perbuatan dengan ikhlas karena-Nya”. Oleh karena itu, kualitas taqwa menjadi kunci utama agar seseorang dapat mencapai ridha-Nya. Allah SUBHANAHU WATA’ALA tidak menilai seseorang dari rupa bagus atau buruknya, tidak pula menilai dari kesempurnaan fisik mereka atupun kurangnya, bahkan Allah SUBHANAHU WATA’ALA tidak melihat hamba-Nya dari kuantitas harta yang mereka miliki. Satu – satunya poin yang membedakan kualitas dan nilai kebaikan seorang hamba di sisi Allah SUBHANAHU WATA’ALA adalah karena taqwa mereka. Dalam hal ini, kaum disabilitas maupun non-disabilitas memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh keridhaan Allah SUBHANAHU WATA’ALA yang semestinya menjadi tujuan utama kehidupan kita. Kekurangan yang dimiliki kaum disabilitas tidaklah menurunkan penilaian Allah SUBHANAHU WATA’ALA. Bahkan, bukan tidak mungkin bahwa kekurangan mereka apabila membuat mereka dapat lebih mendekatkan diri kepada Allah SUBHANAHU WATA’ALA dan meningkatkan kualitas ibadah mereka, hal tersebut dapat menjadikan mereka lebih mulia di sisiNya. Dan sebaliknya, bagi mereka yang diberikan kesempurnaan fisik dan mental, namun tidak dapat mensyukurinya atau bahkan dengan karunia tersebut menjauhkan mereka dari ibadah dan taqwa kepada Allah, hal tersebut hanya akan menjadikan mereka sebagi makhluk yang hina dan rendah di hadapan Allah SUBHANAHU WATA’ALA. Naudzubillah.(Rizal)

;