Hikmah Mengeluarkan Zakat

Zakat adalah sesuatu yang memang wajib dikeluarkan oleh kita, terlebih zakat fitrah dan zakat harta. Jika sudah memenuhi nishab dan haulnya maka zakat harta yang kita miliki harus dikeluarkan. Tetapi, apakah Anda sekalian tahu bahwa banyak sekali hikmah yang didapat jika kita mengeluarkan zakat harta, dengan ikhlas dan mengharapkan keridhoan Allah swt. Baiklah, insya Allah disini admin Catatan Islami akan mengulas sedikit mengenai artikel dari Hikmah Mengeluarkan Zakat.
Dengan dikeluarkannya zakat, banyak hikmah yang dapat diambil, baik bagi mereka yang mengeluarkan zakat, bagi yang menerima zakat, maupun masyarakat secara luas.
Adapun hikmah mengeluarkan zakat di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Menolong orang yang susah dan lemah dalam hal ekonomi, agar ia dapat menunaikan kewajibannya kepada Allah dan terhadap makhluk-Nya.
2. Membersihkan diri yang mengeluarkan zakat dari sifat kikir dan akhlak yang tercela, serta mendidik agar bersifat mulia dan pemurah dengan membiasakan diri membayarkan amanat kepada orang yang berhak menerimanya.
3. Sebagai ungkapan syukur dan terima kasih atas nikmat kekayaan yang telah diberikan oleh Allah kepada orang yang mengeluarkan zakat.
4. Untuk mencegah timbulnya kejahatan-kejahatan yang mungkin timbul akibat kelemahan ekonomi yang dialami oleh mereka yang menerima zakat.
5. Untuk mendekatkan hubungan dan menghindari kesenjangan sosial antara yang miskin dan yang kaya.

Demikian di antara beberapa hikmah yang dapat diambil dalam kewajiban untuk mengeluarkan zakat bagi mereka yang mampu. Sungguh pedih ancaman yang telah diisyarakatkan kepada mereka yang tidak mau mengeluarkan zakatnya. Untuk itu, hendaknya kita mempunyai sifat dermawan, tidak bakhil, dan segeralah kita mengeluarkan zakat bila telah mencapai nishan dan haulnya. Dengan demikian, kita telah membantu orang-orang yang tidak mampu dan berusaha menyelaraskan kehidupan kita dengan sesama manusia.

Semoga bermanfaat dan kesempurnaan hanyalah milik Allah swt.

Setiap Orang Dapat Meraih Sukses

Setiap orang didunia ini ingin sukses, namun banyak yang tidak memiliki sikap atau motivasi yang tepat untuk meraihnya. Menjadi sukses, bukanlah seperti berjalan di taman, diperlukan waktu dan upaya. Namun, jika anda mengikuti beberapa panduan dan memiliki dedikasi untuk menjadi sesuatu, anda memiliki peluang besar untuk sukses.

Masing-masing individu memiliki definisi sukses yang berbeda. Dua definisi sukses yang pertama, menurut kamus adalah ” mendapatkan hasil yang memuaskan” dan “mencapai sesuatu yang diinginkan atau direncanakan.” Jadi, menjadi orang terkaya di dunia dapat dianggap sebagai keberhasilan bagi beberapa orang, namun tidak semuanya. Selama anda berusaha keras untuk melakukan yang terbaik dan anda mencapai tujuan ini, anda telah berhasil. Bagaimana menjadi sukses adalah pertanyaan yang sering muncul.

Jadi, terus baca artikel ini dan mulai mencatat bagaimana mencapai keberhasilan.

Anda harus memiliki tujuan dan rencana tertulis untuk memulainya sehingga anda tahu apa yang diinginkan. Plus, dengan menulis, anda dapat membacanya berulang kali dan melihat apa yang anda inginkan serta menggunakannya sebagai motivator.

Sabar untuk memulai. Anda tidak akan meraih keberhasilan dalam minggu pertama atau kedua, apapun yang anda lakukan. Mungkin memerlukan waktu beberapa bulan atau bahkan tahunan untuk mencapai apa yang anda perjuangkan. Anda harus bekerja sangat keras di awal dengan mendapatkan hasil yang minim, yang akan membuat anda putus asa. Namun jika anda mempertahankan kerja keras anda, reward akan datang kemudian.

Sangatlah penting untuk berpikir besar namun realistis pada saat yang bersamaan. Tidak ada titik dalam penetapan yang dapat diraih dengan mudah jika anda membatasi kemampuan anda. Namun jika anda meraih bintang tertinggi yang dapat anda raih, anda akan sering gagal dan hal ini membuat anda putus asa untuk mencoba hal lainnya.

Buatlah rencana mingguan untuk memperkaya upaya anda meraih keberhasilan. Ketika anda gagal dan terpaku pada rencana, anda telah gagal menjadi apa yang anda inginkan. Dengan mengikuti rencana tertulis, anda berhutang pada diri anda sendiri unutk menyelesaikannya

Jangan sampai hal sepele membuat anda tertekan. Akan banyak perubahan dan hambatan, baik besar atau kecil yang dihadapi, namun tetap focus pada tujuan adalah hal terpenting. Dengan menyediakan waktu untuk fokus dan mendapatkan solusi yang rasional terhadap masalah, anda semakin dekat dengan keberhasilan.

Tetap positif dalam kerja keras. Sekali anda menjadi orang yang berpikir negatif, anda semakin dekat dengan menghentikan diri anda sendiri. Satu-satunya jalan kegagalan adalah menyerah. “Kamu adalah apa yang kamu pikirkan,” jika anda percaya pada diri anda dan yakin dengan kemampuan anda, maka anda akan menjadi orang yang demikian.

Ada beberapa hal lain yang diperlukan dalam mencapai keberhasilan, namun hal diatas adalah beberapa kunci pokoknya. Tetaplah memiliki motivasi dan pantang mundur, dan anda akan semakin dekat dengan tujuan anda.

 

Membentuk Karakter Dengan Pendidikan Islam

Pendidikan Islam sejak dini sangat dibutuhkan dan diperlukan untuk perkembangan karakter anak. Ketika karakter anak bisa dibentuk sejak dini melalui pendidikan Islam, maka pendidikan di Indonesia akan maju dan menghasilkan para pemikir yang hebat dan berakhlak mulia.
 
Sistem Pendidikan Islam Di Indonesia
 
Pendidikan Islam merupakan suatu upaya yang terstruktur untuk membentuk manusia yang berkarakter sesuai dengan konsekuensinya sebagai seorang muslim. Dalam perjalanannya ada tiga jalan yang harus ditempuh untuk mengupayakan hal tersebut, yaitu:
 
1.Penanaman akidah Islam : pemikiran yang matang dan dijalankan dengan cara yang damai.
 
2.Menanamkan sikap konsisten pada orang yang sudah memiliki akidah : islam agar segala tindak tanduk dan cara berpikirnya tetap berada di jalurnya sebagai seorang muslim
 
3.Mengembangkan kepribadian islam pada mereka yang sudah memilikinya : dengan cara mengajaknya untuk bersungguh-sungguh menjalankan kehidupan secara islami, dalam artian semua pemikiran dan amalannya sesuai dengan kodratnya sebagai seorang muslim.
 
Islam telah mewajibkan semua umatnya untuk menuntut ilmu. Segala macam ilmu yang bermanfaat bagi dirinya dan juga semua umat. Begitu juga dengan Iptek. Hal ini juga penting untuk dipelajari karena dengan cara ini umat islam dapat memperoleh kemajuan material untuk menjalankan fungsinya sebagai khalifah Allah di muka bumi.
 
Islam menetapkan penguasaan sains sebagai fardlu kifayah, yaitu ilmu-ilmu yang sangat diperlukan umat, seperti kedokteran, kimi, fisika, industri penerbangan, biologi.
 
Penguasaan ilmu-ilmu teknik dan praktis serta latihan-latihan keterampilan dan keahlian juga merupakan tujuan pendidikan islam, yang harus dimiliki umat Islam dalam rangka melaksanakan tugasnya sebagai khalifah Allah SWT.
 
Sebagaimana penguasaan IPTEK, rekayasa industri, penerbangan, pertukangan, dan lainnya juga sangat diperlukan oleh umat manusia. Hal itu termasuk wajib hukumnya.
 
Lembaga pendidikan
 
semestinya dapat menghasilkan calon-calon penerus yang tinggi secara sumber daya manusianya. Oleh karena itu system pendidikan yang ada harus memadukan seluruh unsure pembentuk pendidikan yang unggul.
 
Dalam hal ini, ada tiga hal penting yang harus kita perhatikan dengan baik, yaitu :
 
  1. Kerjasama yang terpadu antara sekolah, masyarakat, dan keluarga. Ketiga hal ini menggambarkan kondisi faktual obyektif pendidikan. Saat ini ketiga unsur tersebut belum berjalan secara sinergis, di samping masing-masing unsur tersebut juga belum berfungsi secara benar.
  2. Kurikulum yang terstruktur dan terprogram mulai dari tingkat TK hingga Perguruan Tinggi. Kurikulum sebagaimana tersebut di atas dapat menjadi jaminan bagi ketersambungan pendidikan setiap anak didik pada setiap jenjangnya. Dengan adanya kurikulum yang sering gonta ganti akhir-akhir ini, pendidikan kita jadi sedikit membingungkan, apalagi bagi masyarakat awam.
  3. Orientasi pendidikan ditujukan pada kepribadian islam dan penguasaan ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi umat. Ketiga hal ini merupakan goal yang kita tuju.berorientasi pada pembentukan tsaqâfah Islam, kepribadian Islam, dan penguasaan terhadap ilmu pengetahuan. Dalam implementasinya, ketiga hal di atas menjadi orientasi dan panduan bagi pelaksanaan pendidikan.
 
Bagi semua kaum muslim, sistem pendidikan yang sekarang ini tentunya masih perlu banyak perbaikan disana-sini dan semestinya kita memperbaharui sistem yang ada untuk kebaikan kita semua.
 
Berusaha terus untuk menghasilkan generasi berkepribadian islam yang mampu mewujudkan kemakmuran dan kemuliaan peradaban manusia di seluruh dunia.

Kiat Ber-Tetangga

Semoga Allah subhanau wata’ala memberikan taufiqNya kepada kita. Berikut adalah beberapa kiat syar’i untuk menjalin hubungan baik dengan para tetangga:

  1. Menjaga perasaan
  2. Murah Senyum dan Ceria
  3. Menolong Saat dalam Kesulitan
  4. Menerima permohonan maaf
  5. Lemah lembut dalam memberikan nasihat
  6. Menutup Aib
  7. Saling Mengunjungi
  8. Bersikap Sopan dan Ramah Tamah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sebaik-baik sahabat di sisi Allah adalah sebaik-baik manusia kepada sahabatnya, dan sebaik-baik tetangga adalah orang yang paling baik terhadap tetangganya”. (HR. Ahmad dan at-Tirmidzi)

 

Bahaya Kelalaian

Banyak orang kaget dan terperangah ternyata setahun sudah usianya berlalu. Mereka tidak merasa jam demi jam berlalu, hari demi hari bahkan bulan demi bulan. Seakan-akan setahun berlalu dengan tiba-tiba tanpa memberi peringatan terlebih dahulu. Setelah setahun berlalu mereka buru-buru mengadakan evaluasi amal.

Demi Allah, ini adalah tanda kelalaian, panjang angan-angan dan bergantung dengan dunia seakan-akan tinggal di dunia selamanya. Siapa di antara kita yang tidak akan mati? Siapa di antara kita yang selalu sehat tanpa sakit, kuat tanpa lemah, muda tanpa tua?

Allah berfirman yang artinya, “Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. Bagi-Nya lah segala penentuan, dan hanya kepada-Nya lah kamu dikembalikan.” (QS al Qashash[28]: 88)

Menunda evaluasi amal, keinginan bertaubat dan beramal shalih setelah genap satu tahun berlalu bukanlah ajaran Salafus Shalih bahkan itu adalah bukti lalai dan panjang angan-angan.

Generasi terbaik umat ini sangat perhatian dengan berlalunya kedipan mata, menit, detik, siang dan malam. Mereka koreksi amal mereka di sepanjang waktu dengan disertai bertaubat dan memperbanyak amal kebajikan yang bisa menghilangkan keburukan dan memutihkan lembar catatan amal.

Demikianlah pandangan mereka tentang kehidupan. Hidup adalah berjalannya menit dan detik bukan berlalunya tahun sebagaimana pandangan kita. Mereka sering merenungkan perjalanan waktu, silih bergantinya jam dan betapa cepatnya umur berkurang. Mereka sangat menyadari hal ini. Mereka siap menghadapi bencana dan petaka yang datang silih berganti seiring datangnya sang waktu. Mereka menyadari bahwa mereka sedang berlomba. Dalam lomba tentu ada yang menang dan ada yang kalah. Sedangkan hasil akhir sebuah perlombaan tidak bisa direvisi atau diganggu gugat. Trofi perlombaan tersebut adalah bahagia selamanya atau sengsara selamanya.

يَا أَهْلَ الْجَنَّةِ خُلُودٌ فَلَا مَوْتَ وَيَا أَهْلَ النَّارِ خُلُودٌ فَلَا مَوْتَ

“Wahai penduduk surga, kalian kekal. Tidak ada kematian. Wahai penduduk neraka, kalian kekal, tiada kematian.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Sa’id al Khudri)

Betapa indahnya orang yang beruntung dan betapa sialnya orang yang merugi

Manusia-manusia pilihan tersebut mengetahui bagaimana harus memfungsikan waktu untuk melakukan hal-hal yang mendatangkan kemuliaan bagi mereka di dunia dan kebahagiaan di akhirat nanti. Mereka habiskan waktu mereka untuk berzikir, bersyukur dan beribadah kepada Allah dengan sebaik-baiknya. Demikianlah perilaku mereka sebelum ajal tiba. Dengan itu mereka mendapatkan kemuliaan di dunia dan adanya rasa cinta yang tertanam dalam lubuk hati generasi sesudahnya. Sedangkan di akhirat maka Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala orang yang beramal sebaik-baiknya.

Mereka tiada, ahli maksiat juga tiada. Orang shalih meninggal, orang rusakpun meninggal. Orang yang gemar beribadah mati, orang yang lalai juga mati. Yang bersyukur ataupun tidak, semuanya direnggut oleh malaikat kematian. Yang gemar meneladani Nabi ataupun yang kecanduan bid’ah juga menelan pil pahit kematian. Siapakah yang beruntung di antara mereka dan siapakah yang merugi dari dua golongan tersebut?

Jika orang mengadakan evaluasi amal setiap hari maka apa saja yang diamalkan terpampang jelas di hadapannya. Dia tahu betul apa saja amal buruk atau amal baik yang dia miliki. Dia pun lantas bisa bersyukur kepada-Nya atas taufik-Nya untuk berbuat baik dan bisa segera bertaubat dari segala amal buruknya. Namun jika evaluasi amal ditunda hingga genap satu tahun maka bagaimana mungkin bisa mengingat semua amal keburukan yang sudah dilakukan sepanjang tahun. Setan membuatnya lupa. Panjang angan-angan menguasai dirinya. Nafsunya pun turut memperdaya. Di samping itu secara normal manusia suka melupakan dan menutup mata dari keburukan yang pernah dia lakukan.

Sehingga saat evaluasi akhir tahun, dia pun merasa biasa-biasa saja tanpa beban disebabkan adanya kesalahan besar yang pernah dikerjakan. Pada akhirnya dia buka lembaran tahun berikutnya sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, lalai, ceroboh, meremehkan dan memperturutkan hawa nafsu.

Karenanya salaf shalih tidak pernah membiarkan satu malam pun berlalu tanpa berpikir, merenung, evaluasi amal, memperbaharui taubat, dan memohon maaf serta ampunan-Nya diiringi tangisan.

Generasi emas umat ini tidak pernah menangisi dunia yang tidak bisa direngkuh, popularitas palsu dan jabatan yang hilang. Mereka hanya menyesali waktu yang berlalu tanpa amal shalih.

Ibnu Mas’ud mengatakan, “Aku tidak pernah menyesali sesuatu sebagaimana penyesalannya disebabkan matahari sudah tenggelam yang berarti jatah hidupku berkurang namun amal kebaikanku tidak bertambah”.

Inilah buah dari keyakinan tentang cepatnya perjalanan hidup, habisnya umur tanpa disadari dan pengetahuan tentang betapa manisnya keberuntungan dan betapa pahitnya kerugian.

Oleh karena itu mereka selalu bergerak, meningkatkan diri, memacu prestasi. Mereka benar-benar sadar bahwa hasil akhir dari kecerobohan dalam mengatur hidup hanyalah penyesalan.

Abu Bakar bin ‘Iyyasy demikian heran dengan orang yang menjaga hartanya tapi menelantarkan waktunya. Beliau berkata, “Ada orang yang jika satu dirham uangnya jatuh di jalan akan mengatakan, ‘Inna lillah, uangku sebesar satu dirham amblas’. Ironinya dia tidak pernah berucap, ‘Satu hariku hilang tanpa kumanfaatkan dengan beramal”.

Keadaan yang semisal dengan yang beliau sampaikan mereka buah lalai dari mengingat Allah dan kampung akhirat serta hati yang penuh dengan cinta dan memuja dunia.

Jika malam tiba, Mufadhdhal bin Yunus mengatakan, “Sudah genap sehari umurku berlalu.” Demikian pula jika pagi tiba, beliau menyambutnya dengan berkata, “Genap sudah semalam umurku berkurang”. Saat menjelang meninggal beliau menangis seraya berkata, “Aku sadar dengan beriringnya malam dan siang aku memiliki hari yang sangat menyusahkan, menyedihkan dan menyesakkan. Tiada sesembahan yang berhak disembah melainkan zat yang menetapkan kematian atas makhluknya dan menjadikannya sebagai sebuah keadilan di antara hamba-hambaNya”. Setelah itu beliau membaca firman Allah,

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ

“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. al Mulk[67]: 2). Beliau kemudian menarik napas panjang lantas tak lama kemudian meninggal.

Saudaraku, betapa banyak hari dan malam yang berlalu tanpa kau sadari? Kapan kita akan sadar dari kelalaian ini? Kapan kita akan bangun dari tidur panjang untuk menyongsong akhirat dan mempertanggungjawabkan amal yang ada di pundak kita. Allah berfirman yang artinya, “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (QS. al Ahzab[33]: 72)

Mereka berusaha sungguh-sungguh untuk meningkatkan kualitas amal mereka. Meski demikian mereka tidak menganggap diri mereka telah melakukan yang terbaik. Mereka tetap memandang diri mereka belum berbuat apa-apa. Karena itu mereka khawatir amal mereka ditolak dan tidak ada satupun yang Allah terima.

Ibnul Qayyim berkata, “Siapa saja yang merenungkan keadaan para sahabat tentu akan berkesimpulan bahwa mereka sangat sungguh-sungguh dalam beramal diiringi rasa takut yang begitu mendalam. Sedangkan kita memadukan antara sikap meremehkan amal dengan rasa aman dari siksa Allah.”

Demikian komentar beliau mengenai diri beliau sendiri dan orang yang sezaman dengan beliau. Padahal beliau populer dengan takwa, zuhud dan wara’. Lalu komentar apa yang bisa kita katakan tentang diri kita dan orang-orang di zaman kita saat ini?!

Mufadhdhal bin Yunus bercerita, “Suatu hari aku berjumpa dengan saudara Bani al Harits yang bernama Muhammad bin an Nadhr dalam kondisi murung dan sedih. “Bagaimanakah keadaanmu? Ada apa dengan dirimu”, sapaku. “Satu malam dari umurku sudah berlalu sedangkan aku belum berbuat apa-apa untuk diriku. Satu hari juga sudah berlalu dan aku belum melihat diriku berbuat sesuatu yang berarti. ‘Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un’, jawabnya dengan lugas.

Apakah beliau benar-benar belum berbuat apa-apa? Tentu kita yakin, kata tidak adalah jawaban dari pertanyaan tersebut karena adalah orang yang gemar mengerjakan shalat, berpuasa dan berzikir. Tetapi mereka menilai bahwa mereka belum melakukan apa yang seharusnya mereka kerjakan. Mereka selalu menilai diri mereka belum berbuat yang terbaik padahal mereka telah melakukan yang terbaik dan mereka telah bersusah-payah untuk itu.

 

Hijrah Kepada Allah dan Rasul-Nya

Di dalam Risalah Tabukiyah, Imam Ibnul Qoyyim membagi hijrah menjadi 2 macam. Pertama, hijrah dengan hati menuju Alloh dan Rosul-Nya. Hijrah ini hukumnya fardhu ‘ain bagi setiap orang di setiap waktu. Macam yang kedua yaitu hijrah dengan badan dari negeri kafir menuju negeri Islam. Diantara kedua macam hijrah ini hijrah dengan hati kepada Alloh dan Rosul-Nya adalah yang paling pokok.

Hijrah Dengan Hati Kepada Alloh

Alloh berfirman, “Maka segeralah (berlari) kembali mentaati Alloh.” (Adz Dzariyaat: 50)

Inti hijrah kepada Alloh ialah dengan meninggalkan apa yang dibenci Alloh menuju apa yang dicintai-Nya. Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang muslim ialah orang yang kaum muslimin lainnya selamat dari gangguan lisan dan tangannya. Dan seorang muhajir (orang yang berhijrah) adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Alloh.” (HR. Bukhori dan Muslim)

Hijrah ini meliputi ‘dari’ dan ‘menuju’: Dari kecintaan kepada selain Alloh menuju kecintaan kepada-Nya, dari peribadahan kepada selain-Nya menuju peribadahan kepada-Nya, dari takut kepada selain Alloh menuju takut kepada-Nya. Dari berharap kepada selain Alloh menuju berharap kepada-Nya. Dari tawakal kepada selain Alloh menuju tawakal kepada-Nya. Dari berdo’a kepada selain Alloh menuju berdo’a kepada-Nya. Dari tunduk kepada selain Alloh menuju tunduk kepada-Nya. Inilah makna Alloh, “Maka segeralah kembali pada Alloh.” (Adz Dzariyaat: 50). Hijrah ini merupakan tuntutan syahadat Laa ilaha illalloh.

Hijrah Dengan Hati Kepada Rosululloh

Alloh berfirman, “Maka demi Robbmu (pada hakikatnya) mereka tidak beriman hingga mereka menjadikanmu sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan di dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An Nisaa’: 65)

Hijrah ini sangat berat. Orang yang menitinya dianggap orang yang asing diantara manusia sendirian walaupun tetangganya banyak. Dia meninggalkan seluruh pendapat manusia dan menjadikan Rosululloh sebagai hakim di dalam segala perkara yang diperselisihkan dalam seluruh perkara agama. Hijrah ini merupakan tuntutan syahadat Muhammad Rosululloh.

Pilihan Alloh dan Rosul-Nya itulah satu-satunya pilihan

Alloh berfirman, “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang mukmin, apabila Alloh dan Rosul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka. Dan barang siapa yang mendurhakai Alloh dan Rosul-Nya maka sungguh dia telah sesat, sesat yang nyata.” (Al Ahzab: 36)

Dengan demikian seorang muslim yang menginginkan kecintaan Alloh dan Rosul-Nya tidak ragu-ragu bahkan merasa mantap meninggalkan segala perkara yang melalaikan dirinya dari mengingat Alloh. Dia rela meninggalkan pendapat kebanyakan manusia yang menyelisihi ketetapan Alloh dan Rosul-Nya walaupun harus dikucilkan manusia.

Seorang ulama’ salaf berkata, “Ikutilah jalan-jalan petunjuk dan janganlah sedih karena sedikitnya pengikutnya. Dan jauhilah jalan-jalan kesesatan dan janganlah gentar karena banyaknya orang-orang binasa (yang mengikuti mereka).

 

Tujuh Cara Agar Suami Tidak Pindah ke Lain Hati

Berikut adalah tips-tips yang semoga bisa mencegah perselingkuhan pada rumah tangga muslim.

1. Terus berusaha mendalami agama.

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ

Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” (QS. Fathir: 28).

Kalau istri mempelajari agama dengan baik, ia akan menjadi baik, pastinya ia akan mengarahkan suami untuk semakin takut kepada Allah hingga hatinya tidak selingkuh ke lain hati.

Dan ingatlah wanita yang baik pasti mendapatkan laki-laki yang baik,

الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ

Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula).” (QS. An-Nuur: 26)

2. Taat kepada suami selama dalam kebaikan.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,

قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ قَالَ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ

Pernah ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapakah wanita yang paling baik?” Jawab beliau, “Yaitu yang paling menyenangkan jika dilihat suaminya, mentaati suami jika diperintah, dan tidak menyelisihi suami pada diri dan hartanya sehingga membuat suami benci.” (HR. An-Nasa’i, no. 3231 dan Ahmad, 2:251. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih).

Ingatlah, taat pada suami adalah jalan menuju surga. Dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا قِيلَ لَهَا ادْخُلِى الْجَنَّةَ مِنْ أَىِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ

Jika seorang wanita selalu menjaga shalat lima waktu, juga berpuasa sebulan (di bulan Ramadhan), serta betul-betul menjaga kemaluannya (dari perbuatan zina) dan benar-benar taat pada suaminya, maka dikatakan pada wanita yang memiliki sifat mulia ini, “Masuklah dalam surga melalui pintu mana saja yang engkau suka.” (HR. Ahmad, 1:191 dan Ibnu Hibban, 9:471. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih).

3. Suka dandan di hadapan suami tercinta.

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,

كُنَّا نِسَاؤُنَا يَخْتَضَبْنَ بِاللَّيْلِ فَإِذَا أَصْبَحْنَ فَتَحْنَهُ فَتَوَضَّأْنَ وَصَلَّيْنَ ثُمَّ يَخْتَضَبْنَ بَعْدَ الصَّلاَةِ ، فَإِذَا كَانَ عِنْدَ الظُّهْرِ فَتَحْنَهُ فَتَوَضَّأْنَ وَصَلَّيْنَ فَأَحْسَنَّ خِضَابًا وَلاَ يَمْنَعُ مِنَ الصَّلاَةِ

“Istri-istri kami punya kebiasaan memakai pewarna kuku di malam hari. Jika tiba waktu Shubuh, pewarna tersebut dihilangkan, lalu mereka berwudhu dan melaksanakan shalat. Setelah shalat Shubuh, mereka memakai pewarna lagi. Ketika tiba waktu Zhuhur, mereka menghilangkan pewarna tersebut, lalu mereka berwudhu dan melaksanakan shalat. Mereka mewarnai kuku dengan bagus, namun tidak menghalangi mereka untuk shalat.” (HR. Ad-Darimi, no. 1093. Syaikh Abu Malik menyatakan bahwa sanad hadits ini shahih dalam Shahih Fiqh As-Sunnah li An-Nisa’, hlm. 419).

4. Menuruti ajakan suami untuk urusan ranjang.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِىءَ لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ

Jika seorang pria mengajak istrinya ke ranjang, lantas si istri enggan memenuhinya, maka malaikat akan melaknatnya hingga waktu Shubuh.” (HR. Bukhari, no. 5193 dan Muslim, no. 1436).

5. Ridha pada pemberian suami dan memiliki sifat qana’ah (merasa cukup).

Karena ridha pada pemberian suami akan membuat seorang istri rajin bersyukur, suami pun akhirnya ridha padanya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

انْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلاَ تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لاَ تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ

Pandanglah orang yang berada di bawahmu (dalam masalah harta dan dunia) dan janganlah engkau pandang orang yang berada di atasmu (dalam masalah ini). Dengan demikian, hal itu akan membuatmu tidak meremehkan nikmat Allah kepadamu.” (HR. Muslim, no. 2963).

Ingatlah bahwa sebab wanita banyak yang masuk neraka karena kurang bersyukur pada pemberian suami sebagai disebutkan dalam hadits dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَرَأَيْتُ النَّارَ فَلَمْ أَرَ كَالْيَوْمِ مَنْظَرًا قَطُّ وَرَأَيْتُ أَكْثَرَ أَهْلِهَا النِّسَاءَ. قَالُوا: لِمَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: بِكُفْرِهِنَّ. قِيْلَ: يَكْفُرْنَ بِاللهِ؟ قَالَ: يَكْفُرْنَ الْعَشِيْرَ وَيَكْفُرْنَ اْلإِحْسَانَ، لَوْ أَحْسَنْتَ إِلىَ إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ، ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا قَالَتْ: مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ

Dan aku melihat neraka. Aku belum pernah sama sekali melihat pemandangan seperti hari ini. Dan aku lihat ternyata mayoritas penghuninya adalah para wanita.” Mereka bertanya, “Kenapa para wanita menjadi mayoritas penghuni neraka, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Disebabkan kekufuran mereka.” Ada yang bertanya kepada beliau, “Apakah para wanita itu kufur kepada Allah?” Beliau menjawab, “(Tidak, melainkan) mereka kufur kepada suami dan mengkufuri kebaikan (suami). Seandainya engkau berbuat baik kepada salah seorang istri kalian sepanjang waktu, kemudian suatu saat ia melihat darimu ada sesuatu (yang tidak berkenan di hatinya) niscaya ia akan berkata, ‘Aku sama sekali belum pernah melihat kebaikan darimu’.” (HR. Bukhari, no. 5197 dan Muslim, no. 907).

6 Perbanyak tinggal di rumah demi keluarga.

Allah Ta’ala memerintahkan wanita agar banyak menetap di rumah,

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى

Dan tinggallah kalian di dalam rumah-rumah kalian dan janganlah kalian berdandan sebagaimana dandan ala jahiliah terdahulu.” (QS Al-Ahzab: 33).

Dari Abdullah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الْمَرْأَةَ عَوْرَةٌ، وَإِنَّهَا إِذَا خَرَجَتْ مِنْ بَيْتِهَا اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ فَتَقُولُ: مَا رَآنِي أَحَدٌ إِلا أَعْجَبْتُهُ، وَأَقْرَبُ مَا تَكُونُ إِلَى اللَّهِ إِذَا كَانَتْ فِي قَعْرِ بَيْتِهَا”

Sesungguhnya perempuan itu aurat. Jika dia keluar rumah maka setan menyambutnya. Keadaan perempuan yang paling dekat dengan wajah Allah adalah ketika dia berada di dalam rumahnya.” (HR. Ibnu Khuzaimah, no. 1685. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).

7 Perlu mengingatkan suami ketika salah.

Allah Ta’ala berfirman,

وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ

Dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (QS. Luqman: 17)

Namun ingatlah karena suami yang dinasihati tentu tetap dengan cara yang halus. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُونُ فِى شَىْءٍ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ يُنْزَعُ مِنْ شَىْءٍ إِلاَّ شَانَهُ

Setiap sikap kelembutan yang ada pada sesuatu, pasti akan menghiasinya. Dan tidaklah ia dicabut dari sesuatu, kecuali akan memperburuknya. (HR. Muslim, no. 2594)

Moga Allah memberi taufik dan hidayah.

Syarat-Syarat Seorang Dikatakan Sebagai Muslim

Berikut adalah syarat-syarat untuk bisa dikatakan sebagai seorang muslim :

1. Dia mengetahui hakikat bertauhid kepada Alloh -subhanahu wa ta’ala- dalam beribadah. Dan mengamalkan konsekwensinya atau kewajiban-kewajibannya.

2. Membenarkan apa yang dibawa oleh Rasululloh -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, dan mentaati apa yang beliau perintahkan, dan menjauhi dan meninggalkan apa yang beliau larang.

3. Memusuhi kaum musyirikin dan kafirin. Ada diantara kaum muslimin yang tidak terjatuh dalam kesyirikan akan tetapi mereka tidak mau memusuhi para pelaku kesyirikan dan kekafiran. Maka dengan sebab itu dia tidak sampai menjadi seorang muslim yang sejati, karena dia meninggalkan apa yang menjadi inti pokok dakwah para Rosul ‘alaihimus salaam. Perhatikanlah Nabi Ibrohim -‘alaihissalam- ketika beliau berkata kepada kaumnya :

كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ

“Kami ingkari (kekafiranmu) dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Alloh semata.” (QS. Al- Mumtahanah: 4)

4. Menegakkan kewajiban menasihati : Barangsiapa yang mengatakan “aku tidak akan sama sekali menentang kaum muslimin walaupun dia terjatuh dalam kesyirikan dan kekafiran serta kemaksiatan,” maka dia bukanlah seorang muslim yang sejati. Akan tetapi wajib atasnya untuk menasihati sesama saudaranya dan menjelaskan bahaya dari kesyirikan, kekufuran dan kemaksiatan dan selainnya dari amal-amal yang mungkar. Dengan cara yang lemah-lembut dan hikmah dalam rangka mengamalkan firman Alloh -ta’ala- :

ادْعُ إِلى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran/nasihat yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (QS. An Nahl: 125)

 

Ucapkanlah Salam, Jawablah Salam

Betapa banyaknya umat muslim yang berpaling dari sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kemudian menggantinya dengan kebiasaan orang-orang kafir. Lihatlah bagaimana kebiasaan mereka dalam berpakaian, berkata, tata cara makan, dan pola pikir yang sangat jauh dari sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam namun mirip kebiasaan orang-orang kafir.

Pembaca yang budiman, tidakkah kita pernah mendengar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dalam golongan kaum tersebut.” (HR. Ahmad dan Abu Daud)

Maka kita semestinya bersemangat dalam melakukan kebaikan dan menghidupkan serta menyuburkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saudariku seakidah, menebar salam antar umat muslim adalah salah satu sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hendaknya setiap diri menumbuhkan kebiasaan yag mulia ini pada diri sendiri dan lingkungannya.

Dalam Shahih Muslim (54) disebutkan: Dari Abu Hurairah radiallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Kalian tidak akan masuk surga sehingga kalian beriman, dan tidak dikatakan beriman sebelum kalian saling mencintai. Salah satu bentuk kecintaan adalah menebar salam antar sesama muslim.”

Di dalam hadits tersebut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan diantara syarat masuk surga adalah keimanan kemudian menggantungkan keimanan dengan saling cinta-mencintai sesama muslim, dan itu semua tidak akan terwujud kecuali dengan salah satu caranya, yaitu menebarkan salam antara sesama muslim.

Definisi Salam

Ulama berbeda pendapat akan makna salam dalam kaliamat ‘Assalaamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakaatuhu’. Berkata sebagian ulama bahwasanya salam adalah salah satu nama dari nama-nama Allah sehingga kalimat ‘Assalaamu ‘alaik’ berarti Allah bersamamu atau dengan kata lain engkau dalam penjagaan Allah. Sebagian lagi berpendapat bahwa makna salam adalah keselamatan sehingga maknanya ‘Keselamatan selalu menyertaimu’. Yang benar, keduanya adalah benar sehingga maknanya semoga Allah bersamamu sehingga keselamatan selalu menyertaimu.

Wajibnya Menjawab Salam

Saudariku seiman, jika ada yang mengucapkan salam kepada kita sedang kita dalam kondisi sendiri, maka kita wajib menjawabnya karena menjawab salam dalam kondisi tersebut hukumnya adalah fardu ‘ain. Sedang jika salam diucapkan pada suatu rombongan atau kelompok, maka hukum menjawabnya adalah fardu kifayah. Jika salah satu dari kelompok tersebut telah menjawab salam yang diucapkan kepada mereka, maka sudah cukup. Sedang hukum memulai salam adalah sunnah (dianjurkan) namun untuk kelompok hukumnya sunnah kifayah, jika sudah ada yang mengucapkan maka sudah cukup.

Dari Ali bin Abi Thalib, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sudah mencukupi untuk suatu rombongan jika melewati seseorang, salah satu darinya mengucapkan salam.” (HR. Ahmad dan Baihaqi)

Adab Mengucapkan Salam

1. Mengucapkannya Dengan Sempurna

Pembaca, semoga Allah merahmatiku dan merahmati kalian semua, sangat dianjurkan bagi kita untuk mengucapkan salam dengan sempurna, yaitu dengan mengucapkan, “Assalaamu’alaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuhu.”

Hal ini berdasarkan hadits dari ‘Imran bin Hushain radiallau ‘anhu, ia berkata: “Seorang laki-laki datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengucapkan , ‘Assalaamu’alaikum’. Maka dijawab oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam kemudian ia duduk, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sepuluh’. Kemudian datang lagi orang yang kedua, memberi salam, ‘Assalaamu’alaikum wa Rahmatullaah.’ Setelah dijawab oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ia pun duduk, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Dua puluh’. Kemudian datang orang ketiga dan mengucapkan salam: ‘Assalaamu’alaikum wa rahmatullaahi wa baraakaatuh’. Maka dijawab oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian ia pun duduk dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Tiga puluh’.” (Hadits Riwayat Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 986, Abu Dawud no. 5195, dan At-Tirmidzi no. 2689 dan beliau meng-hasankannya).

2. Memulai Salam Terlebih Dahulu

Saudariku di jalan Allah, memulai mengucapkan salam kepada orang lain adalah sangat dianjurkan. Hendaknya yang lebih muda mengucapkan salam kepada yang lebih tua, yang lewat memberi salam kepada yang sedang duduk, dan yang sedikit mengucapkan salam kepada yang banyak, serta yang berkendaraan mengucapkan salam kepada yang berjalan. Hal tersebut sejalan dengan hadist dari Abu Hurairah. Pengucapan salam yang berkendaraan kepada yang berjalan adalah sebagai bentuk syukur dan salah satu keutamaannya adalah agar menghilangkan kesombongan.

Dalam hadits tersebut, bukan berarti bahwa apabila orang-orang yang diutamakan untuk memulai salam tidak melakukannya, kemudian gugurlah ucapan salam atas orang yang lebih kecil, atau yang tidak berkendaraan, dan semisalnya. Akan tetapi Islam tetap menganjurkan kaum muslimin mengucapkan salam kepada yang lainnya walaupun orang yang lebih dewasa kepada yang lebih muda atau pejalan kaki kepada orang yang berkendaraan, sebagaiman sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Yang lebih baik dari keduanya adalah yang memulai salam.” (HR. Bukhori: 6065, Muslim: 2559)

Salah satu upaya menyebarkan salam diantar kaum muslimin adalah mengucapkan salam kepada setiap muslim, walaupun kita tidak mengenalnya.

Hal ini didasari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamDari ‘Abdullah bin Amr bin Ash radiallahu ‘anhuma, ada seorang laki-laki bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Islam bagaimana yang bagus?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Engkau memberi makan ( kepada orang yang membutuhkan), mengucapkan salam kepada orang yang engkau kenal dan yang tidak engkau kenal.” (HR. Bukhori: 2636, Muslim: 39)

3. Mengulangi Salam Tatkala Berjumpa Lagi Walaupun Berselang Sesaat

Bagi seseorang yang telah mengucapkan salam kepada saudaranya, kemudian berpisah, lalu bertemu lagi walaupun perpisahan itu hanya sesaat, maka dianjurkan mengulang salamnya. Bahkan seandainya terpisah oleh suatu pohon lalu berjumpa lagi, maka dianjurkan mengucapkan salam, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Apabila di antara kalian berjumpa dengan saudaranya, maka hendaklah mengucapkan salam kepadanya. Apabila terhalang oleh pohon, dinding, atau batu (besar), kemudian dia berjumpa lagi, maka hendaklah dia mengucapkan salam (lagi).” (HR. Abu Dawud: 4200, dishohihkan oleh Al-Albani dalam Misykat al-Mashobih: 4650, dan lihat Silsilah Shohihah: 186)

4. Tidak Mengganggu Orang yang Tidur Dengan Salamnya

Dari Miqdad bin Aswad radiallahu ‘anhu, beliau berkata: “Kami mengangkat jatah minuman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (karena beliau belum datang), kemudian beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam datang di malam hari, maka beliau mengucapkan salam dengan ucapan yang tidak sampai mengganggu/ membangunkan orang tidur dan dapat didengar orang yang tidak tidur, kemudian beliau masuk masjid dan sholat lalu datang (kepada kami) lalu beliau minum (minuman kami).” (HR. Timidzi: 2719 dan dishohihkan oleh Al-Albani dalam Adab Az-Zifaf hal. 167-196 cet. terbaru)

5. Tidak Memulai Ucapan Salam Kepada Orang Yahudi dan Nasrani

Dari Ali bin Abi Thalib radiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah kalian mengucapkan salam lebih dahulu kepada Yahudi dan Nashrani, dan bila kalian bertemu mereka pada suatu jalan maka desaklah mereka ke sisi jalan yang sempit.”

Hadits ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang mulia dan unggul dari yang lainnya. Jika mereka mengucapkan salam kepada kita, maka balaslah salamnya dengan ucapan ‘Wa ‘alaikum’.

6. Berusaha Membalas Salam Dengan yang Lebih Baik atau Semisalnya

Maksudnya, tidak layak kita membalas salam orang lain dengan salam yang lebih sedikit. Sebagaimana Allah berfirman yang artinya:

“Apabila kalian diberi salam/penghormatan, maka balaslah dengan yang lebih baik atau balaslah dengan yang serupa.” (QS. An-Nisa’: 86)

Kebiasaan Para Sahabat Berjabat Tangan

Adalah kebiasaan para sahabat jika mereka berjumpa maka saling berjabat tangan antar satu dengan yang lain. Maka apabila kita bertemu dengan seorang teman, cukupkanlah dengan berjabat tangan disertai dengan ucapan salam (Assalaamu’alaikum wa rahmatullaahi wa baraakaatuh) tanpa berpelukan kecuali ketika menyambut kedatangannya dari bepergian, karena memeluknya pada saat tersebut sangat dianjurkan. Hal ini berdasarkan hadits Anas bin Malik radiallahu ‘anhu, ia berkata:

“Apabila sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saling berjumpa, maka mereka saling berjabat tangan dan apabila mereka datang dari bepergian, mereka saling berpelukan.” (HR. At-Tabrani dalam Al-Mu’jamul Ausath no. 97 dan Imam Al-Haitsami berkata dalam kitab Majma’uz Zawaa’id VIII/ 36, “Para perawinya adalah para perawi tsiqah.”)

Saudariku muslimah, yang berusaha meniti jalan kebenaran, hendaklah adab-adab di atas kita jaga. Kita berusaha untuk menanamkannya pada diri kita, memupuknya, memeliharanya serta mengajak orang lain kepadanya. Semoga Allah, Dzat yang membalas kebaikan sebesar dzarrah dengan kebaikan dan membalas keburukan sebesar dzarrah dengan keburukan memberikan kita keistiqamahan untuk senantiasa berjalan di atas Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamWa Allahu A’lam.

 

Adab-Adab Makan

a. Memulai makan dengan mengucapkan Bismillah.

Berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Apabila salah seorang diantara kalian hendak makan, maka ucapkanlah: ‘Bismilah.’ Dan jika ia lupa untuk mengucapkan Bismillah di awal makan, maka hendaklah ia mengucapkan ‘Bismillahi Awwalahu wa Aakhirahu (dengan menyebut nama Allah di awal dan diakhirnya).’”(HR. Daud Dishohihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih Ibnu Majah: 3264)

b. Hendaknya mengakhiri makan dengan pujian kepada Allah.

Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Barangsiapa telah selesai makan hendaknya dia berdo’a: “Alhamdulillaahilladzi ath’amani hadza wa razaqqaniihi min ghairi haulin minni walaa quwwatin. Niscaya akan diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. Daud, Hadits Hasan)

Inilah lafadznya,

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَطْعَمَنِي هَذَا وََرَزَقَنِيهِ مِنْ غَيْرِ حوْلٍ مِنِّي وَ لاَ قُوَّةٍ

“Segala puji bagi Allah yang telah memberi makan ini kepadaku dan yang telah memberi rizki kepadaku tanpa daya dan kekuatanku.”

Atau bisa pula dengan doa berikut,

الْحَمْدُ لِلَّهِ حَنْدًا كثِيراً طَيِّباً مُبَارَكاً فِيهِ غَيْرَ (مَكْفِيٍّ وَ لاَ) مُوَدَّعٍ وَ لاَ مُسْتَغْنَيً عَنْهُ رَبَّناَ

“Segala puji bagi Allah dengan puja-puji yang banyak dan penuh berkah, meski bukanlah puja-puji yang memadai dan mencukupi dan meski tidaklah dibutuhkan oleh Rabb kita.” (HR. Bukhari VI/214 dan Tirmidzi dengan lafalnya V/507)

c. Hendaknya makan dengan menggunakan tiga jari tangan kanan.

Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam makan dengan menggunakan tiga jari.”(HR. Muslim, HR. Daud)

d. Hendaknya menjilati jari jemarinya sebelum dicuci tangannya.

Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Apabila salah seorang diantara kalian telah selesai makan maka janganlah ia mengusap tangannya hingga ia menjilatinya atau minta dijilati (oleh Isterinya, anaknya).” (HR. Bukhari Muslim)

e. Apabila ada sesuatu dari makanan kita terjatuh, maka hendaknya dibersihkan bagian yang kotornya kemudian memakannya.

Berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Apabila ada sesuap makanan dari salah seorang diantara kalian terjatuh, maka hendaklah dia membersihkan bagiannya yang kotor, kemudian memakannya dan jangan meninggalkannya untuk syaitan.” (HR. Muslim, Abu Daud)

f. Hendaknya tidak meniup pada makanan yang masih panas dan tidak memakannya hingga menjadi lebih dingin, hal ini berlaku pula pada minuman. Apabila hendak bernafas maka lakukanlah di luar gelas, dan ketika minum hendaknya menjadikan tiga kali tegukan.

Sebagaimana hadits dari Ibnu Abbas Radhiyallahu’anhu:

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang untuk menghirup udara di dalam gelas (ketika minum) dan meniup di dalamnya.” (HR. At Tirmidzi)

g. Hendaknya menghindarkan diri dari kenyang yang melampaui batas.

Berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Tidak ada bejana yang diisi oleh manusia yang lebih buruk dari perutnya, cukuplah baginya memakan beberapa suapan sekedar dapat menegakkan tulang punggungnya (memberikan tenaga), maka jika tidak mau, maka ia dapat memenuhi perutnya dengan sepertiga makanan, sepertiga minuman dan sepertiga lagi untuk bernafasnya.” (HR. Ahad, Ibnu Majah)

h. Makan memulai dengan yang letaknya terdekat kecuali bila macamnya berbeda maka boleh mengambil yang jauh.

Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Wahai anak muda, sebutkanlah Nama Allah (Bismillah), makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah dari apa-apa yang dekat denganmu.” (HR. Bukhari Muslim)

i. Hendaknya memulai makan dan minuman dalam suatu jamuan makan dengan mendahulukan (mempersilakan mengambil makanan terlebih dahulu) orang-orang yang lebih tua umurnya atau yang lebih memiliki derajat keutamaan.

j. Ketika makan hendaknya tidak melihat teman yang lain agar tidak terkesan mengawasi.

k. Hendaknya tidak melakukan sesuatu yang dalam pandangan manusia dianggap menjijikkan.

l. Jika makan bersama orang miskin, maka hendaklah kita mendahulukan mereka.

 

;