Hikmah Mengeluarkan Zakat

Zakat adalah sesuatu yang memang wajib dikeluarkan oleh kita, terlebih zakat fitrah dan zakat harta. Jika sudah memenuhi nishab dan haulnya maka zakat harta yang kita miliki harus dikeluarkan. Tetapi, apakah Anda sekalian tahu bahwa banyak sekali hikmah yang didapat jika kita mengeluarkan zakat harta, dengan ikhlas dan mengharapkan keridhoan Allah swt. Baiklah, insya Allah disini admin Catatan Islami akan mengulas sedikit mengenai artikel dari Hikmah Mengeluarkan Zakat.
Dengan dikeluarkannya zakat, banyak hikmah yang dapat diambil, baik bagi mereka yang mengeluarkan zakat, bagi yang menerima zakat, maupun masyarakat secara luas.
Adapun hikmah mengeluarkan zakat di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Menolong orang yang susah dan lemah dalam hal ekonomi, agar ia dapat menunaikan kewajibannya kepada Allah dan terhadap makhluk-Nya.
2. Membersihkan diri yang mengeluarkan zakat dari sifat kikir dan akhlak yang tercela, serta mendidik agar bersifat mulia dan pemurah dengan membiasakan diri membayarkan amanat kepada orang yang berhak menerimanya.
3. Sebagai ungkapan syukur dan terima kasih atas nikmat kekayaan yang telah diberikan oleh Allah kepada orang yang mengeluarkan zakat.
4. Untuk mencegah timbulnya kejahatan-kejahatan yang mungkin timbul akibat kelemahan ekonomi yang dialami oleh mereka yang menerima zakat.
5. Untuk mendekatkan hubungan dan menghindari kesenjangan sosial antara yang miskin dan yang kaya.

Demikian di antara beberapa hikmah yang dapat diambil dalam kewajiban untuk mengeluarkan zakat bagi mereka yang mampu. Sungguh pedih ancaman yang telah diisyarakatkan kepada mereka yang tidak mau mengeluarkan zakatnya. Untuk itu, hendaknya kita mempunyai sifat dermawan, tidak bakhil, dan segeralah kita mengeluarkan zakat bila telah mencapai nishan dan haulnya. Dengan demikian, kita telah membantu orang-orang yang tidak mampu dan berusaha menyelaraskan kehidupan kita dengan sesama manusia.

Semoga bermanfaat dan kesempurnaan hanyalah milik Allah swt.

Mengeluarkan Zakat Fitri Lebih Awal

Waktu yang disyariatkan untuk mengeluarkan zakat fitri adalah satu atau dua hari sebelum hari ‘ied. Sebagaimana dalam hadits.

ﻭَﻛَﺎﻥَ ﺍﺑْﻦُ ﻋُﻤَﺮَ – ﺭﺿﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﻤﺎ – ﻳُﻌْﻄِﻴﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳَﻘْﺒَﻠُﻮﻧَﻬَﺎ ، ﻭَﻛَﺎﻧُﻮﺍ ﻳُﻌْﻄُﻮﻥَ ﻗَﺒْﻞَ ﺍﻟْﻔِﻄْﺮِ ﺑِﻴَﻮْﻡٍ ﺃَﻭْ ﻳَﻮْﻣَﻴْﻦِ

“ Dan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma memberikan zakat fithri kepada orang-orang yang berhak menerimanya dan dia mengeluarkan zakatnya itu sehari atau dua hari sebelum hari Raya ‘Idul Fithri .” (HR. Bukhari no. 1511).

Ada juga riwayat yang menyatakan tiga hari sebelum hari ‘ied. Nafi’ berkata,

ﺃَﻥَّ ﻋَﺒْﺪَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺑْﻦَ ﻋُﻤَﺮَ ﻛَﺎﻥَ ﻳَﺒْﻌَﺚُ ﺑِﺰَﻛَﺎﺓِ ﺍﻟْﻔِﻄْﺮِ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﺗُﺠْﻤَﻊُ ﻋِﻨْﺪَﻩُ ﻗَﺒْﻞَ ﺍﻟْﻔِﻄْﺮِ ﺑِﻴَﻮْﻣَﻴْﻦِ ﺃَﻭْ ﺛَﻠَﺎﺛَﺔٍ

“Abdullah bin ‘Umar memberikan zakat fitrah atas apa yang menjadi tanggungannya dua atau tiga hari sebelum hari raya Idul Fithri .” (Muwatha’no. 629, 1: 285).

Apakah boleh mengeluarkan zakat fitri lebih awal dari waktunya semisal sepekan sebelumnya? Pertanyaan ini muncul bagi mereka yang memiliki urusan banyak dan sibuk menjelang hari raya, satu-dua hari menjelang hari raya mereka semakin sibuk. Belum lagi arus mudik dan waktu yang mereka habiskan di jalan cukup menyibukkan.

Ibnu Qudamah menjelaskan bahwa zakat fitir harus ditunaikan sesuai waktunya dan tidak boleh didahulukan waktunya, karena fungsi zakat fitri adalah untuk memberi makan orang yang telah berpuasa di hari ‘ied, hari raya kaum muslimin agar tidak ada yang kelaparan. Beliau berkata,

ﺳﺒﺐ ﻭﺟﻮﺑﻬﺎ ﺍﻟﻔﻄﺮ ، ﺑﺪﻟﻴﻞ ﺇﺿﺎﻓﺘﻬﺎ ﺇﻟﻴﻪ ، ﻭﺍﻟﻤﻘﺼﻮﺩ ﻣﻨﻬﺎ ﺍﻹﻏﻨﺎﺀ ﻓﻲ ﻭﻗﺖ ﻣﺨﺼﻮﺹ ، ﻓﻠﻢ ﻳﺠﺰ ﺗﻘﺪﻳﻤﻬﺎ ﻗﺒﻞ ﺍﻟﻮﻗﺖ

“Sebab wajibnya adalah al-fitri (berbuka) dan disandarkan pada makna ini. Maksudnya adalah memberikan kecukupan di waktu yang khusus (waktu ‘ied). Tidak boleh mendahulukan./memajukan waktunya.” [Al-Mughni 2/676]

Demikian juga penjelasan syaikh Al-‘Utsaimin, beliau menjelaskan zakat fitri itu sesuai dengan tujuannya. Jika diberikan pada awal-awal Ramadhan maka bisa jadi zakat itu digunkan untuk yang lain atau telah habis, sehingga tujuannya untuk memberi makan di hari yang fitri (‘iedul fitri) tidak tercapai. Beliau berkata,

ﻓﻬﻨﺎ ﺯﻛﺎﺓ ﺍﻟﻔﻄﺮ ﺃﺿﻴﻔﺖ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻔﻄﺮ ﻷﻥ ﺍﻟﻔﻄﺮ ﺳﺒﺒﻬﺎ ؛ ﻭﻷﻥ ﺍﻟﻔﻄﺮ ﻭﻗﺘﻬﺎ ، ﻭﻣﻦ ﺍﻟﻤﻌﻠﻮﻡ ﺃﻥ ﺍﻟﻔﻄﺮ ﻣﻦ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻻ ﻳﻜﻮﻥ ﺇﻻ ﻓﻲ ﺁﺧﺮ ﻳﻮﻡ ﻣﻦ ﺭﻣﻀﺎﻥ

“Zakat fitri ini dinisabatkan pada fitri (berbuka puasa) karena fitri inilah sebabnya, karena itu waktu fitri (berbuka). Telah diketahui bahwa berbuka (tidak berpuasa lagi) dari bulan Ramadhan adalah pada hari-hari akhir Ramadhan.” [Fatwa Zakatul Fitri 18/180]

Terdapat fatwa lainnya yang menyatakan boleh diawalkan apabila ada hajat/keperluan dengan pertimbangan sebagaimana mazhab Syafi’iyah.

 

Kesimpulan:

1. waktu mengeluarkan zakat fitri adalah satu atau dua hari sebelum ‘ied fitri

2. Terdapat perbedaan pendapat ulama apakah boleh mendahulukan mengeluarkan zakat fitri atau tidak

3. Yang membolehkan dengan hajat, menyatakan mengeluarkan pada waktunya lebih baik

4. solusinya bisa dititipkan/diwakilkan pada orang lain untuk dikeluarkan pada waktu yang disyariatkan apabila kita sibuk dan tidak sempat mengeluarkan pada waktunya.

 

Apakah Zakat Istri Menjadi Kewajiban Suami ?

Bismillah. Segala puji hanya bagi Allah Ta’ala, semoga shalawat dan salam selalu tercurah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sahabat, keluarga, dan orang yang mengikuti beliau dengan baik. Amma ba’du.

Telah menjadi kewajiban bagi setiap muslim untuk menunaikan rukun Islam dengan sempurna, salah satunya adalah zakat. Bertepatan dengan bulan Ramadhan yang mulia ini, setiap muslim diperintahkan untuk menunaikan zakat fitri. Telah banyak pembahasan mengenai panduan tentang pembayaran zakat, adapun pada tulisan yang singkat ini, akan kami paparkan secara khusus tentang orang yang menanggung zakat dalam keluarga, yakni apakah suami wajib membayar zakat fitri untuk istrinya?

Pembahasan ini kami kutip dari jawaban Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid dari pertanyaan yang kurang lebih sama dan berkaitan erat dengan pembahasan kali ini.

Jawaban :

Para ulama rahimahumullah berbeda pendapat apakah seseorang harus mengeluarkan zakat fitrah kepada orang yang menjadi tanggungan nafkah baginya menjadi dua pendapat.

Pendapat pertama

Zakat fitrah diwajibkan kepada seseorang, baik untuk dirinya maupun kepada orang yang menjadi tanggungan nafkahnya, seperti istri, anak, dan dapat pula selain keduanya baik yang merupakan keluarga atau bukan keluarga. Ini adalah madzhab Hanbali.

Mereka berdalil dengan apa yang diriwayatkan oleh ad-Daruqutni dan al-Baihaqi, yakni dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu anhuma, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَدَوْا صَدَقَةَ الْفِطْرِ عَمَّنْ تَمُوْنُوْنَ

“Keluarkan zakat fitrah terhadap orang yang menjadi tanggungan anda semua.”

Akan tetapi, hadits ini lemah, dilemahkan oleh ad-Daruqutni, al-Baihaqi, an-Nawawi, Ibnu Hajar, dan lainnya. Silakan lihat kitab Al-Majmu’, 6/113 dan Talkhis al-Habir, 2/771.

Para ulama al-Lajnah ad-Daimah lil Ifta’ memilih pendapat ini. Mereka ditanya, “Apakah seorang suami diharuskan membayar zakat fitrah istrinya atau tidak apabila mereka sedang berselisih dengan keras?” Mereka menjawab, “Zakat fitrah diwajibkan kepada seseorang untuk dirinya sendiri dan setiap orang yang menjadi kewajiban tanggungan nafkahnya, semisal istri karena wajib bagi suami untuk memberi nafkah kepadanya.” [Fatawa al-Lajnah ad-Daimah lil Ifta, 9/367]

Syaikh Ibnu Baz rahimahullah juga berpendapat demikian, sebagaimana terdapat dalam al-Majmu‘ al-Fatawa, 14/197.

Pendapat kedua

Suami tidak diwajibkan mengeluarkan zakat fitrah untuk orang lain. Dan ini adalah mazhab Hanafi. Mereka berdalil dengan hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata,

فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَى وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنْ الْمُسْلِمِين

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah sebanyak satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum kepada budak, orang merdeka, laki-laki, perempuan, anak-anak, dan orang dewasa dari kalangan umat Islam.” [HR. Al-Bukhari no.  1503 dan Muslim no. 984]

Dalam hadits ditetapkan bahwa zakat fitrah adalah kewajiban bagi setiap muslim. Pada asalnya, setiap perintah berlaku bagi seseorang secara mandiri/personal. Pendapat ini dipilih oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam kitab asy-Syarh al-Mumti, 6/154 :

“Pendapat yang terkuat adalah bahwa zakat fitrah itu diwajibkan pada setiap orang secara personal atau mandiri maka istri diwajibkan zakat untuk dirinya sendiri. Suami juga diwajibkan untuk dirinya pula. Seseorang tidak diwajibkan mengeluarkan zakat fitrah kepada orang yang menjadi tanggungannya, baik istri maupun kerabat karena asal sebuah kewajiban itu diwajibkan kepada diri sendiri, bukan kepada orang lain.”

 Wallahu a’lam. Hanya Allah Ta’ala yang memberi taufik.

Sejarah, Hukum dan Jenis Zakat

Sejarah zakat

Setiap Muslim wajib memberikan sedekah rezeki yang Allah berikan. Kewajiban ini tertulis dalam Al-Quran. Pada awalnya, Al-Qur’an hanya mengatakan untuk memberikan sedekah (memberi luar, tidak wajib). Namun, di hari kemudian, umat Islam diperintahkan untuk membayar zakat. Zakat menjadi wajib hukumnya sejak tahun 662 M. Nabi Muhammad melembagakan perintah zakat dengan menetapkan pajak progresif bagi orang kaya untuk meringankan beban kehidupan mereka yang miskin. Sejak saat ini, zakat diterapkan dalam negara-negara Islam. Hal ini menunjukkan bahwa di masa depan ada regulasi amal, khususnya mengenai jumlah zakat tersebut.

Pada saat khalifah, zakat dikumpulkan oleh pegawai sipil dan didistribusikan kepada kelompok orang tertentu. Kelompok ini miskin, janda, budak yang ingin membeli kebebasan mereka, orang-orang yang tenggelam dalam utang dan tidak mampu membayar. Syariah diatur dengan rincian lebih lanjut tentang amal dan bagaimana harus dibayar zakat.

Hukum zakat

Zakat adalah salah satu rukun Islam, dan menjadi salah satu unsur utama untuk penegakan hukum Islam. Oleh karena itu, hukum zakat adalah wajib (fardhu) atas setiap muslim yang telah memenuhi kondisi tertentu. Zakat termasuk dalam kategori ibadah seperti shalat, haji, dan puasa yang telah diatur secara rinci oleh Al-Quran dan Sunnah. Zakat juga merupakan kegiatan sosialdan kemanusiaan yang dapat dikembangkan sesuai dengan perkembangan manusia di mana-mana.

Jenis zakat

Zakat terbagi atas dua jenis yakni:

  • Zakat fitrah
  • Zakat yang wajib dikeluarkan muslim menjelang Idul Fitri pada bulan suci Ramadan. Besar zakat ini setara dengan 3,5 liter (2,7 kilogram) makanan pokok yang ada di daerah bersangkutan.
  • Zakat maal (harta)
  • Zakat yang dikeluarkan seorang muslim yang mencakup hasil perniagaan, pertanian, pertambangan, hasil laut, hasil ternak, harta temuan, emas dan perak. Masing-masing jenis memiliki perhitungannya sendiri-sendiri.

 

Tidak Harus Memberi Tahu Penerima bahwa itu Zakat

 

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Bukan bagian dari syarat membayar zakat, harus memberi tahu kepada penerima bahwa itu adalah zakat. Selama kita yakin bahwa orang yang menerima zakat itu adalah mustahiq. Sehingga tidak perlu ada ijab qabul.

Lain halnya jika kita titipkan ke lembaga tertentu, kita harus memberi tahu bahwa harta yang kita titipkan statusnya adalah harta zakat, agar petugas bisa menyerahkannya ke pihak yang berhak menerima zakat (mustahiq zakat).

An-Nawawi mengatakan,

إذا دفع المالك أو غيره الزكاة إلى المستحق ولم يقل هي زكاة ، ولا تكلم بشيء أصلا : أجزأه ، ووقع زكاة ، هذا هو المذهب الصحيح المشهور الذي قطع به الجمهور ، وقد صرح بالمسألة إمام الحرمين – أي : الجويني – ، وآخرون

Jika pemilik atau orang lain menyerahkan zakat kepada mustahiq, dan dia tidak menyampaikan keterangan bahwa itu zakat, atau sama sekali tidak menyampaikan keterangan apapun, maka hukumnya sah sebagai zakat. Inilah pendapat yang lebih kuat, sebagaimana yang ditegaskan jumhur. Dan masalah ini telah ditegaskan oleh Imam al-Haramain – al-Juwaini – dan beberapa ulama lainnya. (al-Majmu’, 6/233)

Ibnu Qudamah mengatakan,

وإذا دفع الزكاة إلى من يظنه فقيراً : لم يحتج إلى إعلامه أنها زكاة ، قال الحسن : أتريد أن تقرعه ؟! لا تخبره

Ketika si A menyerahkan zakat kepada orang yang dia yakini fakir, maka dia tidak perlu memberi tahukan bahwa itu zakat. Al-Hasan mengatakan, “Apakah kamu ingin untuk membuat sedih hatinya dengan mengatakan, ‘Ini zakat?! Jangan kasih tahu bahwa itu zakat.”

Lalu Ibnu Qudamah membawakan riwayat dari Imam Ahmad,

Ahmad bin Hasan pernah bertanya kepada Imam Ahmad,

‘Ketika seseorang menyerahkan zakat ke orang miskin, apakah dia perlu memberi tahu bahwa itu zakat atau cukup diam saja?’

Jawab Imam Ahmad,

ولم يبكِّته بهذا القول ؟! يعطيه ، ويسكت ، ما حاجته إلى أن يقرعه

Mengapa dia harus membuatnya sedih dengan menyampaikan semacam ini?! Kasihkan saja, dan cukup diam. Apa perlunya dia memberi tahukan ini hingga membuatnya sedih. (al-Mughni, 2/508)

An-Nawawi ulama bermadzhab Syafiiyah, sementara Ibnu Qudamah dari madzhab Hambali. Kita tambahkan komentar dari madzhab Malikiyah,

Dalam as-Syarh al-Kabir, Syaikh ad-Dardir menyatakan,

ولا يشترط إعلامه ، أو علمه بأنها زكاة ، بل قال اللقاني : يكره إعلامه ؛ لما فيه مِن كسر قلب الفقير ، وهو ظاهر ، خلافاً لمَن قال بالاشتراط

Tidak disyaratkan untuk memberi tahu bahwa itu zakat. Bahkan al-Laqqani mengatakan, ‘Makruh memberi tahu bahwa itu zakat, karena bisa membuat sedih hati si miskin.’ Dan ini yang lebih kuat, tidak sebagaimana pendapat yang mengatakan harus memberi tahu. (as-Syarh al-Kabir, 1/500)

Dan ini pula yang difatwakan Lajnah Daimah,

إذا دفعت زكاتك إلى من تعلم أنه مستحق لها بنية الزكاة فهي زكاة صحيحة ، ونرجو أن يقبلها الله تعالى منك ، ولا يلزمك إخبار الآخذ بأنها زكاة

Jika kamu menyerahkan zakat kepada orang yang kamu yakini dia berhak menerima, dengan niat zakat, maka ini menjadi zakat yang sah. Kami berharap semoga diterima oleh Allah Ta’ala. Dan anda tidak harus memberi tahukan kepada penerima bahwa itu zakat. (Fatwa Lajnah Daimah, no. 11241)

Sekali lagi, ini berlaku jika penerima adalah orang yang kita yakini sebagai pihak yang berhak menerimanya, seperti fakir, miskin atau lainnya.

Sementra jika ini dititipkan ke lembaga atau yayasan penampung zakat, kita harus memberi tahu. Agar petugas bisa menyalurkannya ke sasaran yang benar.

Demikian, Allahu a’lam.

;