Ketika Terjadi Kenaikan Harga Barang

Bagaimana sikap bijak ketika terjadi kenaikan harga barang. Krn pagi tadi, istri beli sayur. Smp rumah dia cerita, harga gorengan naik. Nampaknya, org sdh sibuk memikirkan kenaikan harga barang. Mohon nasehat, sikap bijak ketika terjadi kenaikan harga barang.

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,

Mudah mengeluh ketika sedang sulit merupakan salah satu karakter manusia.

إِنَّ الْإِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوعًا . إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوعًا . وَإِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوعًا

Sesungguhnya manusia diciptakan dalam keadaan memiliki sifat halu’, apabila dia sedang mengalami kesulitan, dia mudah berkeluh kesah,dan jika sedang mendapatkan kenikmatan, dia bersikap pelit. (QS. Al-Ma’arij: 19 – 21)

Karena yang dipikirkan manusia, bagaimana bisa hidup enak dan enak. Sehingga ketika mendapatkan kondisi yang tidak nyaman, mereka merasa sangat sedih, bahkan sampai stres

Ada beberapa keterangan yang bisa kita petik sebagai ketika terjadi kenaikan harga barang,

Pertama, bahwa kenaikan harga barang merupakan ketetapan Allah

Fenomena kenaikan harga barang bahkan pernah terjadi di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Disebutkan dalam riwayat bahwa di zaman sahabat pernah terjadi kenaikan harga. Mereka pun mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyampaikan masalahnya. Mereka mengatakan,

يا رسول الله غلا السعر فسعر لنا

“Wahai Rasulullah, harga-harga barang banyak yang naik, maka tetapkan keputusan yang mengatur harga barang.”

Mendengar aduhan ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

إن الله هو المسعر القابض الباسط الرازق وإني لآرجو أن ألقى الله وليس أحد منكم يطلبني بمظلمة في دم أو مال

“Sesungguhnya Allah adalah Dzat yang menetapkan harga, yang menyempitkan dan melapangkan rezeki, Sang Pemberi rezeki. Sementara aku berharap bisa berjumpa dengan Allah dalam keadaan tidak ada seorang pun dari kalian yang menuntutku disebabkan kezalimanku dalam urusan darah maupun harta.” (HR. Ahmad 12591, Abu Daud 3451, Turmudzi 1314, Ibnu Majah 2200, dan dishahihkan Al-Albani).

Anda bisa perhatikan, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapat laporan tentang kenaikan harga, yang beliau lakukan bukan menekan harga barang, namun beliau ingatkan para sahabat tentang takdir Allah, dan Allah yang menetapkan harga. Dengan demikian, mereka akan menerima kenyataan dengan yakin dan tidak terlalu bingung dalam menghadapi kenaikan harga, apalagi harus stres atau bahkan bunuh diri.

Kedua, Kenaikan harga barang, tidak mempengaruhi rezeki seseorang

Bagian penting yang patut kita yakini bahwa rezeki kita telah ditentukan oleh Allah. Jatah rezeki yang Allah tetapkan tidak akan bertambah maupun berkurang. Meskipun, masyarakat Indonesia diguncang dengan kenaikan harga barang, itu sama sekali tidak akan menggeser jatah rezeki mereka.

Allah menyatakan,

وَلَوْ بَسَطَ اللَّهُ الرِّزْقَ لِعِبَادِهِ لَبَغَوْا فِي الْأَرْضِ وَلَكِنْ يُنَزِّلُ بِقَدَرٍ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ بِعِبَادِهِ خَبِيرٌ بَصِيرٌ

“Andaikan Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.” (QS. As-Syura: 27)

Ibnu Katsir mengatakan,

أي: ولكن يرزقهم من الرزق ما يختاره مما فيه صلاحهم، وهو أعلم بذلك فيغني من يستحق الغنى، ويفقر من يستحق الفقر.

“Maksud ayat, Allah memberi rezeki mereka sesuai dengan apa yang Allah pilihkan, yang mengandung maslahat bagi mereka. Dan Allah Maha Tahu hal itu, sehingga Allah memberikan kekayaan kepada orang yang layak untuk kaya, dan Allah menjadikan miskin sebagian orang yang layak untuk miskin.” (Tafsir Alquran al-Adzim, 7/206)

Terkait dengan hal ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan umatnya agar jangan sampai mereka merasa rezekinya terlambat atau jatah rezekinya serat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَيُّهَا النَّاسُ ، إِنَّ أَحَدَكُمْ لَنْ يَمُوتَ حَتَّى يَسْتَكْمِلَ رِزْقَهُ ، فَلا تَسْتَبْطِئُوا الرِّزْقَ ، اتَّقُوا اللَّهَ أَيُّهَا النَّاسُ ، وَأَجْمِلُوا فِي الطَّلَبِ ، خُذُوا مَا حَلَّ ، وَدَعُوا مَا حَرُمَ

“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kalian tidak akan mati sampai sempurna jatah rezekinya, karena itu, jangan kalian merasa rezeki kalian terhambat dan bertakwalah kepada Allah, wahai sekalian manusia. Carilah rezeki dengan baik, ambil yang halal dantinggalkan yang haram.” (HR. Baihaqi dalam sunan al-Kubro 9640, dishahihkan Hakim dalam Al-Mustadrak 2070 dan disepakati Ad-Dzahabi)

Satu catatan yang penting dipahami, hadis ini bukan untuk memotivasi agar anda tidak bekerja atau meninggalkan aktivitas mencari rezeki. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan demikian, tujuannya agar manusia tidak terlalu ambisius dengan dunia, sampai harus melanggar yang dilarang syariat. Kemudian ketika terjadi musibah, manusia tidak sedih yang berlebihan, apalagi harus stres.

Mereka tidak Peduli dengan Kenaikan Harga

Jaga shalat, semahal apapun harga pangan, Allah menjamin rizki anda,

Allah berfirman,

وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لَا نَسْأَلُكَ رِزْقًا نَحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى

“Perintahkahlah keluargamu untuk shalat dan bersabarlah dalam menjaga shalat. Aku tidak meminta rizki darimu, Aku yang akan memberikan rizki kepadamu. Akibat baik untuk orang yang bertaqwa.” (QS. Thaha: 132)

Di masa silam, terjadi kenaikan harga pangan sangat tinggi. Merekapun mengadukan kondisi ini kepada salah seorang ulama di masa itu. Kita lihat, bagaimana komentar beliau,

والله لا أبالي ولو أصبحت حبة الشعير بدينار! عليَّ أن أعبده كما أمرني، وعليه أن يرزقني كما وعدني

“Demi Allah, saya tidak peduli dengan kenaikan harga ini, sekalipun 1 biji gandum seharga 1 dinar! Kewajibanku adalah beribadah kepada Allah, sebagaimana yang Dia perintahkan kepadaku, dan Dia akan menanggung rizkiku, sebagaimana yang telah Dia janjikan kepadaku.”

Allahu a’lam

Pasti Digantikan dengan yang Lebih Baik

Bekerja di tempat maksiat adalah haram hukumnya. Punya duit dari penghasilan haram adalah perbuatan tercela. Langkah berani yang harus kita lakukan bila masih berada di ruang lingkup pekerjaan haram adalah “walk out”, keluar. Tidak ada kata lain.

Begitu pula anjuran kita pada orang lain, untuk keluar dari pekerjaan haram, mencari penghasilan yang halal.

Pernah kita mendengar, bahkan sering, ketika orang dinasehati untuk meninggalkan perbuatan haram atau pekerjaan yang haram, ia akan dijanjikan dengan Hadits Rasulullah, yang berbunyi:

إنك لن تدع شيئا لله عز وجل إلا بدلك الله به ما هو خير لك منه “.

Sungguh jika kamu meninggalkan suatu hal karena Allah semata, maka Allah akan menggantikan untukmu yang lebih baik dari pada itu (HR. Al Ashbahani dalam kitabnya At Targhib, Hadits dishahihkan oleh Al Bani)

Bahkan terkadang nasehat itu tidak berhenti hanya di situ saja, namun ikut menceritakan kisah-kisah orang lain. Seperti kisah temannya yang dulunya bekarja di bank, setelah dapat hidayah kemudian sadar hukumnya haram, iapun keluar. Ternyata, kemudian ia bisa mendapatkan pekerjaan yang halal dengan penghasilan yang lebih besar.

Dan ditambah lagi kisah-kisah lainnya semisal dengan itu yang mungkin anda sendiri pernah mendengarkannya.

Tapi, pernahkah terbayangkan jika orang yang anda nasehati tersebut ternyata setelah keluar dari pekerjaan haramnya, tetap tidak bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih profit dari sebelumnya.

Kira-kira, apa komentar anda?

Perlu diketahui, bahwa di balik kisah-kisah yang kita ceritakan untuk menyemangati orang agar meninggalkan pekerjaan haram, ada satu poin yang harus terpatri di setiap dada orang muslim.

Yaitu, harta halal walaupun secuil, jauh lebih baik dari pada segudang harta haram.

Berjalan di atas syariat Allah yang lurus, jauh lebih baik daripada bergelimangan dalam maksiat.

Maksudnya, memperoleh kembali pekerjaan halal dengan penghasilan lebih besar bukanlah suatu jaminan/kepastian yang akan di dapatkan oleh orang yang meninggalkan pekerjaan haram.

Contoh riil nya adalah, kisah seorang sahabat, Mush’ab bin Umair.

Kehidupan beliau di masa Jahiliyah penuh dengan kemewahan; pakaian yang indah; bertaburkan minyak wangi harum semerbak; digemari oleh remaja putri Mekkah; ayah dan ibunya yang kaya raya siap memenuhi segala keinginannya.

Namun, kita semua tahu bagaimana perubahan drastis terjadi dalam kehidupan beliau. Setelah beliau memeluk agama Islam serta siap menerima syariat Allah dan RasulNya.

Terjadilah titik balik dari kehidupan dunianya. Bajunya berubah jadi compang-camping; penampilannya menjadi kumal bak seorang gelandangan.

Bahkan di akhir hayat beliau, saat mati syahid di perang Badar, Rasulullah menguburkan beliau sseraya berkata: “Dulu di Mekkah, tidak ada pemuda yang punya pakaian seindah dirimu dan tidak ada yang berambut necis sepertimu, namun sekarang engkau hanya dikuburkan dengan kain yang tidak cukup untuk menutupi sekujur tubuhmu”

Semua kegemerlapan dunia telah ditinggalkan Mush’ab bin Umair karena kecintaannya kepada Allah dan Rasulullah. Tidak ada yang indah menurut beliau kecuali hanya kelezatan Iman dalam dadanya.

Dari kisah ini, marilah kita bertanya,

Apakah Mush’ab bin Umair tidak memperoleh janji Rasulullah, bahwa Allah akan mengganti yang lebih baik jika meninggalkan sesuatu karena Allah semata??

Bukankah Mush’ab waktu ia masih kafir dalam kehidupan mewah dan kaya raya?? kenapa ketika ia masuk Islam tidak bertambah kaya dan mewah??

kira-kira apa jawaban anda terhadap pertanyaan tadi?

Saya akan membantu anda untuk menjawabnya dengan tegas,

“Mush’ab telah mendapatkan janji Rasulullah”

“Mush’ab telah memperoleh ganti yang lebih baik, yaitu surga Allah”

“Mush’ab telah meraih kemegahan yang lebih mewah, yaitu kemewahan lezatnya iman dalam dada”

“Mush’ab telah memakai pakaian yang lebih baik, yaitu pakaian surga”

“Mush’ab telah disambut kerinduan yang lebih baik dari pada remaja Mekkah, yaitu kerinduan bidadari surga”

Kesimpulannya, “Mush’ab telah mendapatkan ganti yang lebih baik dari kehidupan dunianya, yaitu indahnya kehidupan abadi di akhirat”

Apakah ada kehidupan yang lebih baik daripada akhirat?? tentu tidak ada sama sekali.

Maka, sudah semestinya, tujuan akhirat lah yang menjadi sasaran utama setiap muslim dan mukmin. Balasan pertama yang diharapkan dari setiap amalannya adalah balasan di akhirat bukan balasan dunia semata. Walaupun tidak kita pungkiri, terkadang ada juga orang yang langsung mendapat balasan di dunia dengan segera.

Kalau keyakinan ini tertanam di setiap jiwa kaum muslimin, maka tidak akan sulit mengubah pola hidup dari satu sudut ke sudut kehidupan lain, karena tujuan hidupnya bukan dunia tapi hidup akhirat. Tidak akan banyak tuntutan balasan dan ganjaran dunia, karena pahala akhirat harapan utamanya.

Bila ia disarankan untuk keluar dari pekerjaan haram, tidak akan ada selentingan pertanyaan,

“Terus saya mau kerja apa?”

“Emang kalau saya keluar, saya bisa dapat penghasilan sebanyak ini lagi?”

Karena, tujuan utama dia ketika meninggalkan pekerjaan haram adalah tidak mau bergelimangan dosa di dunia, agar tidak hidup sengsara di akhirat kelak.

Katahuilah wahai saudaraku kaum muslimin. Allah dan RasulNyatelah memanggil kita ke negeri akhirat. Sekarang tinggal sikap kita dalam menjawab panggilan ini. Kalau kita penuhi panggilan ini, kita gerakkan hati dan anggota tubuh kita untuk berangkat menuju negeri akhirat, maka Allah akan menggantikan dunia kita dengan balasan kenikmatan seluas langit dan bumi di surga kelak.

Jangan Mengkambinghitamkan Rezeki

Pernah ada yang bertanya pada saya, “Rezeki kan sudah ditentukan oleh Allah Ta’ala, bolehkah kita berdoa minta uang yang banyak??

Pernah juga seorang ustad menyempaikan ceramahnya secara live di sebuah stasiun TV, beliau berkata, “Rezeki itu sudah ditentukan jumlahnya oleh Allah, mau kerja keras atau tidak, rezeki yang telah ditentukan itu pasti akan datang. Jadi tidak perlu menghabiskan waktu untuk mencari rezeki. Yang belum pasti adalah kita masuk surga atau neraka, maka inilah yang penting untuk diusahakan, agar kita bisa meraih sorga.” Kira-kira seperti inilah pernyataan ustadz tersebut. Walaupun tidak sama persis dengan redaksinya, tapi poin penting dari ucapan ustadz itu adalah:

Rezki sudah ditentukan………………jadi……………tidak perlu terforsir usaha dan waktu untuk mengejarnya

surga dan neraka belum ditentukan…………..jadi………….kita harus bersungguh-sungguh mencari dan mendapatkan surga Allah.

Sekilas, pertanyaan dan pernyataaan di atas seakan ada benarnya.

Tapi, kalau kita koreksi lebih dalam, maka ada kesalahan fatal dalam pernyataan tersebut.

Yaitu berhubungan dengan Iman pada Taqdir.

Sebagian orang menganggap, yang tidak bisa diutak-atik lagi atau diistilahkan dengan taqdir hanyalah perkara: Rezeki, Jodoh dan Ajal.

Anggapan ini jelas sekali salah. Taqdir Allah atas manusia dan segala makhluknya meliputi seluruh aspek dengan sedetilnya. Bahkan seseorang menjadi orang bahagia atau sengsara sudah ditentukan oleh Allah sebelum kita lahir; akan jadi penduduk surga atau penghuni neraka sudah ditentukan oleh Allah sebelum kita lahir.

Jadi, pertanyaan di atas pun saya jawab, “Bukankah ilmu juga sudah ditentukan oleh Allah? Bukankah kita rajin atau malas juga sudah ditaqdirkan Allah? Apakah masih boleh kita meminta ilmu yang banyak pada Allah? Apakah boleh kita memohon agar menjadi anak rajin??”

Yang bertanya pun jadi bingung. Karena ia akan berfikir, kalau rezeki dan ilmu sama-sama sudah ditentukan oleh Allah, kenapa harus dibedakan dalam berdoa? Kenapa harus mengkambinghitamkan rezeki dibandingkan taqdir Allah yang lain? Kenapa hanya rezeki yang harus dipertanyakan boleh tidaknya berdoa meminta tambahan lebih banyak??

Sebenarnya, antara iman kepada Taqdir dan amal usaha tidak perlu dipertentangkan.

Iman adalah keyakinan yang terpatri dalam hati bahwa segala yang sudah terjadi; yang sedang terjadi dan yang akan terjadi sudah diketahui dan ditaqdirkan oleh Allah jauh kurun sebelum diciptakan alam semesta ini, semua taqdir ini telah ditulis di lauhul mahfuz.

Sedangkan dalam amalan, kita dituntut oleh syariat beramal, baik untuk kebaikan dunia maupun akhirat. Adapun hasil amalan kita, itu masih rahasia Allah, kita baru mengetahuinya setelah kita mengalami kejadiannya. Jangan memutuskan keputusan terhadap kejadian masa depan yang belum terjadi.

Maka, jangan ada tersirat ucapan,

“Untuk apa saya bekerja, toh saya ditaqdirkan miskin juga”.

“Untuk apa saya belajar, kalau saya ditaqdirkan tidak lulus, kan percuma”

“Untuk apa saya berobat, kalau tidak ditaqdirkan sembuh, kan mati juga”

“Untuk apa saya ibadah, jangan-jangan saya termasuk penghuni neraka”

dan ucapan lain yang senada dengan itu.

Ucapan di atas ini jelas sangat salah, karena:

Pertama: karena ucapan itu mengandung rasa buruk sangka (su’uzzon) pada Allah. Kepada yang dituduhkan bahwa taqdir dia buruk semua??

Mengapa tidak berbaik sangka? Dengan optimistis bahwa usaha dan amalannya akan berhasil??

Kedua: Dalam ucapan itu, seakan mengaku dirinya tahu ghaib. Karena ia sudah memutuskan taqdir masa depan yang hanya diketahui oleh Allah. Dari mana ia tahu bahwa ia ditaqdirkan miskin? Ditaqdirkan gagal? Ditaqdirkan masuk neraka?? semua dugaan itu hanyanya pengakuan tanpa bukti.

Jadi, bolehkah berdoa minta tambahan rezeki??

Pertanyaan ini yang perlu kita jawab, karena pertanyaan ini yang banyak diperbincangkan. Sedangkan doa minta jadi sholeh; minta khusyu’ ibadah; dan minta surga tidak perlu dijawab, karena pasti tidak ada yang ragu akan kebolehannya.

Mari kita simak contoh dari Rasulullah:

Rasulullah bersabda:

من أطعمه الله طعاما فليقل : اللهم بارك لنا فيه ، وأطعمنا خيرا منه ، ومن سقاه الله لبنا فليقل : اللهم بارك لنا فيه وزدنا منه

“Barang siapa mendapatkan rezeki berupa makanan hendaknya ia berdoa: “Ya Allah berkahilah kami dalam makanan ini dan limpahkanlah pada kami makanan yang lebih baik dari pada ini”

dan barang siapa yang mendapatkan rezeki berupa susu, maka hendaknya ia berdoa: “Ya Allah, berkahilah kami dalam makanan ini, dan tambahkan rezeki susu ini”(HR. Tirmizi)

Rasulullah mendoakan Anas bin Malik dengan Ucapannya:

اللهم أكثر ماله وولده وبارك له فيما أعطيته

“Ya Allah, banyakkan harta dan anaknya, dan berkahilah ia dalam pemberianMu” (HR. Muslim)

Nah, silahkan anda menilai sendiri. Dari doa Rasul di atas, ternyata tidak perlu dipertentangkan antara taqdir rezeki dengan usaha mencari rezeki, dan di antaranya adalah doa meminta tambahan/banyak rezeki.

Silahkan berusaha semaksimal mungkin, untuk mengejar cita-cita dan harapan. Selama amal usaha itu tidak berseberangan dengan syariat Islam. Adapun soal hasilnya, maka serahkan pada Allah Ta’ala. Inilah hakikat orang Tawakkal yang sejati.

 

Manfaat Syukur, Melestarikan Nikmat

Syukur akan melestarikan nikmat

Terkadang suka muncul pikiran khawatir bahwa rezeki yang telah dimiliki mendadak hilang menjauhi diri. Yang punya uang takut uangnya berkurang, yang sedang sehat takut penyakitnya kumat. Yang naik jabatan takut jabatannya turun. Yang punya pekerjaan takut bangkrut, dan sebagainya; yang intinya takut rezekinya surut. Orang ingin melestarikan nikmat, melalui syukur maka kita akan diberikan oleh Allah  kemampuan di dalam melestarikan nikmat tersebut; Allah juga akan melestarikan dan mengokohkan nikmat bagi orang yang selalu bersyukur. Nabi  bersabda:

“Bersyukur atas nikmat Allah akan melestarikan nikmat tersebut” (HR ad-Dailami).

Orang bersyukur tak akan khawatir dengan rezekinya sebab Allah  sudah menjamin bahwa rezeki orang bersyukur akan dilestarikan. Yang perlu lebih dikhawatirkan adalah bagaimana agar ibadah tidak menurun, agar amal tidak merosot.

Pahala Syukur sama dengan Berpuasa

Orang bersyukur merupakan ibadah, sama seperti orang sakit yang sabar, dan orang yang sedang berpuasa. Nabi  bersabda:

“Orang makan yang pandai bersyukur sama derajatnya dengan orang berpuasa yang sabar” (HR. Tirmidzi).

Sungguh, Allah maha penyayang, bahwa syukur tidak hanya membawa manusia pada kebahagiaan hidup, namun ditambah pula dengan ganjaran-ganjaran yang besar dari Allah Ta’ala.

 

Bukan bahagia yang membuat orang bersyukur, namun bersyukur yang dapat membuat orang bahagia.

Kita sandingkan dua kata ini “bahagia” dan “syukur.” Mana yang lebih dulu kita gapai? Maka kita perlu miliki dulu syukur, sebab kita tahu bahwa dari syukur itulah akan keluar bahagia. Syukur akan menuntun kita melaksanakan berbagai hal yang disukai Allah Taala, daripadanya akan muncul bahagia serta karunia-karunia yang lainnya dari Allah Taala.

Bersyukur membuat apapun kondisi menjadi istimewa di hadapan-Nya

Hari yang terbaik adalah hari yang istimewa, hari yang istimewa dijadikan dari sifat yang istimewa yaitu syukur. Apabila pada hari itu kita lebih banyak syukurnya maka hari itu akan menjadi hari teristimewa.

Syukur adalah cara instan mengundang kebahagiaan, syukur detik ini maka bahagia detik ini pula

Syukur merupakan cara cepat, akurat, dan cerdas mengundang bahagia. Wajah cemberut bisa langsung tersenyum, pikiran yang kusut mendadak lurus kembali.

Orang syukur tak sempat untuk sedih atau kecewa, sebab ia bagaikan air dan minyak

Lawan dari syukur adalah kecewa, sedih atau gelisah. Orang yang bersyukur maka ia telah menyingkirkan sifat-sifat yang jelek. Tak mungkin syukur didekati oleh kecewa atau sedih sebab diantara keduanya terdapat penghalang yang sangat kuat. Melalui syukur maka akan lenyaplah segala keluh kesah.

Harta sebesar ibukota tak akan pernah cukup jika tidak disyukuri

Jika kita renungi bahwa berapa pun harta yang kita miliki maka tak akan mampu memberi kita bahagia. Meski telah memiliki sepeti emas maka bahagia tak akan kunjung tiba. Namun, melalui syukur maka satu degup jantung pun telah cukup memberinya kebahagiaan.

Kesyukuran selalu berakhir dengan damainya pikiran, syukur selalu diakhiri dengan amal salih

Semua kegiatan kita yang dilandasi dengan syukur maka akan memberikan akhir yang baik, suasana hati yang syukur selalu membuka kesempatan dan kekuatan bagi kita untuk beramal salih.

 

Bersyukurlah meski hari ini sedang sempit, sebab orang bersyukur selalu dilebihkan

Pada dasarnya, orang yang bersyukur itu telah diberikan kelebihan oleh Allah  sehingga disaat ia berada pada situasi sempit ia tetap tenang. Sebab melalui kelebihan pemberian dari Allah akan membuat kondisi sempit tetap memberi manfaat.

Sering kita menginginkan apa yang orang lain dapatkan, namun kita sering lupakan apa yang telah Allah berikan

Setiap manusia telah diberikan karunia oleh Allah  Seringkali setan membujuk kita untuk melihat kelebihan orang lain, dengan melupakan karunia yang Allah berikan pada kita. Melalui syukur kita akan mampu mengelola karunia dari Allah dengan sebaik-baiknya.

Syukuri setiap pemberian, karena hal itu adalah pendidikan jiwa

Setiap pemberian dari Allah merupakan sarana pendidikan bagi keimanan kita, belajar sabar, belajar syukur, belajar ikhlas, belajar amal, belajar tafakur, belajar khusyu (penghayatan), dan aneka belajar lainnya. Melalui syukur maka semua yang diterima akan dijadikan sarana belajar menempa iman dan takwa.

Bersyukur hingga ajal menjemput

Bersyukur berguna untuk kepentingan jangka pendek (bahagia detik ini), dan syukur juga berguna jangka panjang yakni syukur sampai ajar menjemput dan di akhirat mendapat kebahgiaan hakiki (surga).

 

Sesuatu yang pahit namun disyukuri maka tampak seperti mutiara tersembunyi

Syukur itu seperti cahaya, semakin berat ujian seseorang namun jika ia tetap bersyukur maka semburat cahayanya semakin kuat, semakin istimewa.

Kenapa saat susah menyalahkan Tuhan, namun saat senang melupakan-Nya

Kita malu kepada diri sendiri jika ada orang bertanya: “Kenapa saat hidup sulit yang disalahkan Tuhan, namun saat hidup senang Tuhan dilupakan. Kenapa di saat hidup susah yang disalahkan Tuhan, di saat hidup senang ia mengaku kesenangan itu diperoleh karena ilmunya sendiri?” Kita perlu memantapkan prinsip bahwa hidup sempit adalah agar kita sabar, dan hidup lapang adalah agar kita syukur. Semuanya adalah kebaikan dari Allah agar kita menjadi pribadi-pribadi unggul. Seorang guru memberi ujian dan hadiah bagi muridnya agar mereka menjadi orang-orang hebat.

Bersyukur is Powerfull

Melalui bersyukur maka kita akan kuat. Kita mampu berdiri di atas kaki sendiri. Ketika kita kuat maka akan muncul dorongan untuk membantu yang lemah, membahagiakan yang sedih, menolong yang membutuhkan, dan selalu berpikir apa yang bisa dia lakukan untuk orang lain. Ciri-ciri orang kuat adalah munculnya keinginan untuk membantu. Dorongan itu hanya bisa dimiliki oleh orang-orang yang bersyukur.

Bersyukur manfaatnya untuk diri sendiri

Syukur sebenarnya manfaatnya untuk diri kita sendiri. Allah maha mulia, jika kita tidak bersyukur kepadaNya maka Dia akan tetap mulia, kemuliaan Dia tidak akan turun karena kita tak bersyukur, melainkan syukur itu manfaatnya untuk diri kita sendiri.

“Barangsiapa bersyukur maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri. Barangsiapa tidak bersyukur maka sesungguhnya Allah maha kaya lagi maha terpuji” (QS. Lukman : 12).

 

Mensyukuri nikmat yang sedikit

Jika kita sebutkan nikmat-nikmat yang sedikit maka kita tak akan mampu untuk menyebutkannya sebab tak terkira banyaknya. Nabi  bersabda: Man lam yasykuril qolila lam yasykuril katsiro artinya barangsiapa yang tidak mensyukuri yang sedikit, maka ia tidak akan mampu mensyukuri yang banyak (HR Ahmad).

Dimulai dari ingat nikmat yang kecil maka kita akan dibimbing untuk mengingat nikmat-nikmat yang besar. Orang yang tahu nikmat-nikmat yang kecil maka ia pasti mensyukuri nikmat-nikmat yang besar. Banyak orang yang tak mau bersyukur dengan nikmat yang besar maka apatah lagi nikmat yang kecil. Janganlah pula berharap rezeki yang besar apabila rezeki yang sedikit tak mau disyukuri. Enggan bersyukur akan menghilangkan (berkah) rezeki yang telah diperoleh, melalui syukur rezeki kecil tampak dan rezeki besar menghampiri.

Simpanan Yang Tak Akan Sirna

Manusia umumnya gemar menumpuk atau menimbun harta. Namun mungkin tak pernah disadari bahwa harta mereka yang hakiki adalah yang disuguhkan pada kebaikan.

Banyak orang berlomba-lomba mencari harta dan menabungnya untuk simpanan di hari tuanya. Menyimpan harta tentunya tidak dilarang selagi ia mencarinya dari jalan yang halal dan menunaikan apa yang menjadi kewajibannya atas harta tersebut, seperti zakat dan nafkah yang wajib.

Namun ada simpanan yang jauh lebih baik dari itu, yaitu amal ketaatan dengan berbagai bentuknya yang ia suguhkan untuk hari akhir. Suatu hari yang tidak lagi bermanfaat harta, anak, dan kedudukan. Harta memang membuat silau para pecintanya dan membius mereka sehingga seolah harta segala-galanya. Tak heran jika banyak orang menempuh cara yang tidak dibenarkan oleh syariat dan fitrah kesucian seperti korupsi, mencuri, dan menipu. Padahal betapa banyak orang bekerja namun ia tidak bisa mengenyam hasilnya. Tidak sedikit pula orang menumpuk harta namun belum sempat ia merasakannya, kematian telah menjemputnya sehingga hartanya berpindah kepada orang lain. Orang seperti ini jika tidak memiliki amal kebaikan maka ia rugi di dunia dan di akhirat. Sungguh betapa sengsaranya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amalan-amalan yang kekal lagi shalih adalah lebih baik pahalanya di sisi Rabbmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (Al-Kahfi: 46)

Dan firman-Nya:

“Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal.” (An-Nahl: 96)

Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullahu meriwayatkan dengan sanadnya dari sahabat Tsauban radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Tatkala turun ayat:

“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak…” (At-Taubah: 34)

Tsauban radhiyallahu ‘anhu berkata: Dahulu kami bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada sebagian safarnya. Lalu sebagian sahabat berkata: “Telah diturunkan ayat mengenai emas dan perak seperti apa yang diturunkan. Kalau seandainya kita tahu harta apa yang terbaik yang kita akan mengambilnya?” Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Yang utama adalah lisan yang berdzikir, hati yang syukur dan istri mukminah yang membantunya (dalam melaksanakan) agamanya.” (Shahih Sunan At-Tirmidzi, 3/246-247, no. 3094, cet. Al-Ma’arif)

Tingkatan-tingkatan Amalan

Amal ketaatan yang dijadikan sebagai simpanan memiliki tingkatan keutamaan dari sisi penekanan dalam pelaksanaannya dan dari sisi pengaruh yang muncul darinya. Adapun dari sisi penekanan, amal-amal yang wajib didahulukan dari yang sunnah. Disebutkan dalam hadits qudsi bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Dan tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang paling Aku cintai dari apa yang Aku wajibkan atasnya.” (HR. Al-Bukhari, no. 6502)

Demikian pula, sesuatu yang maslahatnya lebih besar didahulukan dari yang lebih kecil. Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata: “Menimba ilmu lebih utama daripada shalat sunnah.” (Mawa’izh Al-Imam Asy-Syafi’i, hal. 53)

Hal itu karena manfaat dari ilmu sangat luas, yaitu untuk dia dan orang lain. Demikian pula suatu amalan lebih mulia dari yang lainnya karena kondisi, waktu, tempat, dan orang yang melakukannya. Suatu contoh, shadaqah yang dikeluarkan oleh sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, walaupun sebesar dua cakupan tangan tidak bisa tertandingi nilainya dengan shadaqah kita, meskipun sebesar gunung Uhud. Dalam kondisi seorang tidak bisa menggabungkan antara amalan yang mulia dengan yang di bawahnya, maka dia mendahulukan yang lebih mulia. Termasuk kesalahan jika seorang mementingkan amalan yang sunnah sehingga meninggalkan yang wajib.

Luasnya Rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala

Kasih sayang Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap hamba-Nya begitu luas. Kalau saja orang kafir dan ahli maksiat di dunia ini masih selalu diberi rizki oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, padahal mereka berada di atas kesesatannya, maka tentunya orang yang beriman dan beramal shalih akan mendapatkan berbagai limpahan nikmat dan karunia-Nya di dunia ini, serta terus bersambung hingga di hari kiamat nanti. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (An-Nahl: 97)

Orang yang menggabungkan antara iman dan amal shalih akan Allah Subhanahu wa Ta’ala beri kehidupan yang baik di dunia ini, berupa tentramnya jiwa dan rizki yang halal lagi baik. Adapun di akhirat kelak, dia akan memperoleh berbagai kelezatan yang mata belum pernah melihatnya, telinga belum pernah mendengarnya, dan belum pernah terbetik dalam hati manusia.

Termasuk bentuk luasnya rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah dilipatgandakannya pahala amalan, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“Barangsiapa membawa amal yang baik maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa perbuatan yang jahat maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya(dirugikan).” (Al-An’am: 160)

Demikian pula, amal kebaikan akan mengangkat derajat pelakunya dan menghapus dosa yang dilakukannya.

Barakah Keikhlasan

Tidak akan pernah merugi orang yang mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan amalan yang sesuai petunjuk syariat dan dibarengi dengan keikhlasan hati. Orang yang memiliki sifat tersebut akan mendapat barakah pada hartanya, anak keturunannya, dirinya, serta akan diselamatkan dari marabahaya. Dahulu, di zaman Bani Israil ada seorang lelaki yang shalih lalu wafat dan meninggalkan dua anaknya sebagai anak yatim. Kedua anak tersebut, karena kecil dan lemahnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala jaga harta warisan dari orangtuanya sehingga tidak hilang atau rusak, seperti dalam surat Al-Kahfi ayat 82.

Suatu ketika ada tiga orang dari umat sebelum Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bermalam di suatu goa. Ketika mereka berada di dalamnya, tiba-tiba jatuh batu besar hingga menutupi pintunya. Mereka yakin bahwa mereka tidak akan bisa keluar kecuali dengan ber-tawassul (menjadikan amal sebagai perantara) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Masing-masing menyebutkan amalannya yang ia pandang paling ikhlas. Allah Subhanahu wa Ta’ala kabulkan permohonan mereka. Batu tersebut bergeser sehingga mereka bisa keluar dari goa.

Perhatikanlah wahai saudaraku, bahwa orang yang mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan melakukan berbagai ketaatan di saat lapang maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengenalnya di saat dia susah. Sungguh manusia mendambakan kedamaian hidup dan terhindar dari berbagai bencana, tetapi mereka tidak mendapatkannya kecuali ketika mereka tunduk terhadap aturan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bersimpuh di hadapan-Nya.

Tidak Meremehkan Kebaikan Sekecil Apapun

Allah Maha Adil dan tidak mendzalimi hamba-Nya. Barangsiapa yang melakukan kebaikan sekecil apapun pasti dia akan melihat balasan kebaikannya. Sebagaimana kalau ia berbuat dosa selembut apapun niscaya dia melihat pembalasannya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Wahai wanita muslimah, janganlah seorang tetangga menganggap remeh (pemberian) tetangganya, walaupun sekadar kaki kambing.” (HR. Al-Bukhari dalam Kitabul Adab dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Hadits ini adalah larangan bagi yang akan memberikan hadiah untuk menganggap remeh apa yang akan ia berikan kepada tetangganya, walaupun sesuatu yang sedikit. Karena yang dinilai adalah keikhlasan dan kepedulian terhadap tetangganya. Juga, karena memberi sesuatu yang banyak tidak bisa dimampu setiap saat. Demikian pula, hadits ini melarang orang yang diberi hadiah dari meremehkan pemberian tetangganya. (Lihat Fadhlullah Ash-Shamad, 1/215-216)

Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya): “Tatkala ada seekor anjing berputar-putar di sekitar sumur yang hampir mati karena haus, tiba-tiba ada seorang wanita pezina dari para pezina Bani Israil. Lalu ia melepas khuf (sepatu dari kulit yang menutupi mata kaki) miliknya, kemudian ia mengambil air dengannya dan memberi minum anjing tersebut. Maka ia diampuni (oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala) karenanya.” (Riyadhush Shalihin, Bab ke-13, hadits no. 126)

Lihatlah wahai saudaraku, karena memberi minum seekor binatang yang kehausan, dia mendapatkan ampunan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka, orang yang memberi minum manusia, baik dengan cara menggali sumur atau mengalirkan parit dan semisalnya, tentunya sangat besar pahalanya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya): “Tujuh (perkara) yang pahalanya mengalir bagi hamba sedangkan dia berada di kuburannya setelah matinya: (yaitu) orang yang mengajarkan ilmu, atau mengalirkan sungai, atau menggali sumur, atau menanam pohon kurma, atau membangun masjid atau mewariskan (meninggalkan) mushaf (Al-Qur`an) atau meninggalkan anak yang memintakan ampunan baginya setelah matinya.” (HR. Al-Bazzar dan dihasankan oleh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Jami’, no. 3602)

Dan tersebut dalam hadits:

“Ada seorang lelaki melewati suatu dahan pohon di tengah jalan, lalu dia mengatakan: ‘Demi Allah, aku akan menyingkirkan dahan ini dari kaum muslimin sehingga tidak mengganggu mereka.’ Maka orang tersebut dimasukkan (oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala) ke dalam jannah (surga).” (HR. Muslim, Riyadhus Shalihin Bab Fi Bayani Katsrati Thuruqil Khair)

Coba renungkan hadits tadi dengan baik. Bagaimana orang tersebut dimasukkan ke dalam jannah karena melakukan cabang keimanan yang terendah, yaitu menyingkirkan gangguan dari jalan. Bagaimana kiranya orang yang melakukan cabang iman yang lebih tinggi dari itu?

Inti dari ini semua, lapangan untuk kita beramal shalih sangatlah banyak. Jika kita tidak mampu mengamalkan suatu kebaikan, maka ada pintu lain yang bisa kita masuki. Juga, terkadang seseorang menganggap suatu amalan itu remeh padahal di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala itu besar. Kemudian yang terpenting pula dari itu, bahwa pahala akhirat itu tidak bisa dibandingkan dengan kenikmatan dunia. Inilah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam haditsnya:

“Dua rakaat fajar lebih baik dari dunia dan seisinya.” (HR. Muslim dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha)

Shalat sunnah sebelum shalat subuh lebih baik daripada dunia dan seisinya, karena apa yang ditujukan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala akan kekal. Sedangkan dunia, seberapapun seorang mendapatkannya maka ia akan lenyap.

Harta Kita yang Sesungguhnya

Umumnya, kita menganggap bahwa harta yang disimpan itulah harta kita yang sesungguhnya. Padahal sebenarnya harta kita adalah yang telah kita suguhkan untuk kebaikan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Siapa di antara kalian yang harta ahli warisnya lebih dia cintai dari hartanya (sendiri)?” Mereka (sahabat) menjawab: “Wahai Rasulullah, tidak ada dari kita seorangpun kecuali hartanya lebih ia cintai.” Nabi bersabda: “Sesungguhnya hartanya adalah yang ia telah suguhkan, sedangkan harta ahli warisnya adalah yang dia akhirkan.” (HR. Al-Bukhari)

Ibnu Baththal rahimahullahu berkata: “Dalam hadits ini ada anjuran untuk menyuguhkan apa yang mungkin bisa disuguhkan dari harta pada sisi-sisi taqarrub kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kebaikan. Supaya ia nantinya bisa mengambil manfaat darinya di akhirat. Karena segala sesuatu yang ditinggalkan oleh seseorang, maka akan menjadi hak milik ahli warisnya. Jika nantinya ahli waris menggunakan harta itu dalam ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka hanya ahli warisnya yang dapat pahala dari itu. Sedangkan yang mewariskannya hanya dia yang lelah mengumpulkannya….” (Fathul Bari, 11/260)

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah menuturkan bahwa dahulu sahabat menyembelih kambing, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Apa yang masih tersisa dari kambing itu?” ‘Aisyah berkata: “Tidak tersisa darinya kecuali tulang bahunya.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Semuanya tersisa, kecuali tulang bahunya.” (Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 2470)

Maksudnya, apa yang kamu sedekahkan maka itu sebenarnya yang kekal di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala dan yang belum disedekahkan maka itu tidak kekal di sisi-Nya. Wallahu a’lam bish-shawab.

 

Mengingkari Nikmat Allah

Memang benar jika dikatakan bahwa sebagian besar manusia itu adalah orang yang tidak mau bersyukur atau tidak pandai berterima kasih. Bagaimana tidak, ketika Alloh Ta’ala telah begitu banyak memberinya nikmat, baik yang sifatnya dzohir maupun batin, hal itu tidak membuat mereka sadar dan tergerak untuk semakin menambah ibadah mereka kepada Alloh. Meskipun bukan berarti Alloh butuh terhadap ibadah tersebut sebagai balasan atas nikmat yang telah Alloh berikan. Bahkan sebaliknya, kenikmatan itu justru membuat mereka semakin jauh dari ibadah kepada Alloh Ta’ala. Lalu bagaimana sikap yang benar yang harus dilakukan oleh seorang hamba?

Kewajiban Seorang Hamba Adalah Bersyukur Serta Tidak Kufur

Banyak sekali dalil-dalil yang terdapat di dalam Al-Kitab maupun As-Sunnah yang memerintahkan kita untuk senantiasa bersyukur kepada Alloh ‘Azza wa Jalla dan melarang kita untuk kufur terhadap nikmat-Nya.

Alloh Ta’ala berfirman yang artinya, “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat pula kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu kufur terhadap (nikmat)-Ku.” (QS. 2: 152)

Syaikh Abdurrahman Naashir As-Sa’di rohimahulloh berkata, “Yakni bersyukurlah kalian terhadap nikmat yang telah Allah berikan kepada kalian dan juga terhadap tercegahnya adzab dari kalian. Di dalam syukur harus terkandung pengakuan dan kesadaran bahwa nikmat itu semata-mata dari Alloh semata, dzikir dan pujian yang diucapkan melalaui lisannya serta ketaatan anggota badannya untuk semakin tunduk dan patuh dalam melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya”. Beliau menambahkan, “Dan karena lawan dari syukur adalah kufur, maka Alloh Ta’ala telah melarang darinya: ‘Dan janganlah kamu kufur terhadap (nikmat)-Ku’. Yang dimaksud dengan kufur di sini adalah sesuatu yang menjadi lawan dari syukur, yakni kufur terhadap nikmat-Nya. Namun terkandung juga di dalamnya, makna kufur yang sifatnya umum, yang paling besar adalah kufur kepada Alloh, kemudian berbagai macam dan jenis maksiat.” (Taisir Karimir Rohman)

Di tempat lain Alloh juga berfirman yang artinya, “Mereka mengetahui nikmat-nikmat Alloh, (tetapi) kemudian mereka meningkarinya dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang kafir.” (QS. 16: 83)

Dalam menafsirkan ayat ini, Mujahid berkata bahwa maksudnya adalah kata-kata seseorang, ‘Ini adalah harta kekayaan yang diwariskan oleh nenek moyangku’. Aun bin Abdulloh mengatakan, “Yakni kata mereka, ‘Kalau bukan karena fulan tentu tidak akan menjadi begini’.” Dan menurut tafsiran Ibnu Qutaibah, “Mereka mengatakan, ‘Ini berkat syafaat sesembahan-sesembahan kita’.” (Kitaabut Tauhid, Syaikh Muhammad At-Tamimy)

Segala Nikmat yang Kita Terima adalah Murni Datangnya dari Alloh

Alloh berfirman yang artinya, “Dan tidak ada kenikmatan yang ada pada kalian kecuali datangnya dari Alloh.” (QS. 16: 3). Syaikh Sholih Alusy-Syaikh hafidzohulloh berkata, “Ini adalah dalil yang tegas dan jelas yang menunjukkan bahwa nikmat apa saja itu adalah dari Alloh, karena lafadz ‘nikmat’ dalam ayat ini datang dalam bentuk ‘nakiroh’ dan dalam konteks penafian. Sehingga ketika lafadz ‘nikmat’ dalam ayat ini menunjukkan sesuatu yang umum (maksudnya nikmat apa saja -ed), maka tidak bisa dikecualikan darinya suatu macam nikmat tertentu itu datangnya selain dari Alloh. Maka nikmat apa saja, baik yang besar maupun yang kecil, yang banyak maupun yang sedikit, itu semua datangnya dari Alloh semata.

Adapun hamba hanyalah merupakan sebab sampainya nikmat tersebut ke tangan mereka atau kepadamu. Apabila ada hamba yang menjadi sebab terselamatkannya dirimu dari kesusahan atau menjadi sebab dalam keberhasilanmu, maka tidaklah menunjukkan bahwa hamba tersebut adalah waliyyun ni’mah (yang memberikan nikmat), kerena sesungguhnya waliyyun ni’mah hanyalah Alloh Azza wa Jalla. Keyakinan seperti ini termasuk kesempurnaan tauhid seorang hamba, karena seorang muwahhid (orang yang sempurna tauhidnya) akan meyakini dengan seyakin-yakinnya di dalam hatinya bahwa di sana tidak ada yang dapat memberikan manfaat dan mudhorot kecuali hanyalah Alloh Robbul ‘alamin.” (At Tamhid Lii Syarhi Kitabit Tauhid).

Menjadi Hamba yang Bersyukur

Syukur merupakan salah satu maqom (derajat) yang tinggi dari seorang hamba. Rasa syukur itulah yang dapat membuat seorang hamba menjadi sadar dan termotivasi untuk terus beribadah kepada Alloh. Seperti yang diceritakan dari Nabi bahwasanya beliau sholat malam sampai bengkak kakinya. Ketika ditanyakan kepada beliau, “Mengapa engkau melakukan ini wahai Rosululloh, padahal sungguh Alloh telah mengampuni seluruh dosa-dosamu baik yang telah lewat ataupun yang akan datang?” Maka Rosululloh menjawab, “Tidakkah aku ingin menjadi hamba-Nya yang bersyukur?” (HR. Bukhori dan Muslim)

Sehingga ketika mengetahui ini, Iblis la’natulloh alaih, sebelum dia terusir ke dunia, berjanji kepada Alloh ‘Azza wa Jalla untuk menggelincirkan manusia dan akan menghalangi mereka untuk menjadi hamba-hamba-Nya yang bersyukur.

Alloh menceritakan perkataan Iblis ini, “Kemudian sungguh akan kami datangi mereka (bani Adam) dari arah depan, arah belakang, samping kanan dan samping kiri mereka, sehingga tidak akan Kau dapati kebanyakan di antara mereka yang bersyukur.” (QS. 7: 17)

Dan terbuktilah apa yang dikatakan oleh iblis, sebagaimana yang difirmankan oleh Alloh yang artinya, “Dan sedikit sekali golongan hamba-Ku yang mau bersyukur.” (QS. 34: 13)

Termasuk bersyukur adalah kita menerima apa pun yang ada pada kita saat ini, baik yang sedikit maupun yang banyak. Karena pada hakekatnya kenikmatan yang kita terima itu tiada terkira banyaknya. Alloh berfirman yang artinya, “Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Alloh, niscaya kamu tidak dapat menghitungnya.” (QS. 16: 18)

Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Lihatlah orang yang yang ada di bawahmu dan janganlah kamu melihat orang yang ada di atasmu. Hal itu akan lebih baik bagimu agar kamu tidak meremehkan nikmat Alloh yang yang diberikan kepadamu.” (HR. Bukhori Muslim)

Bagaimana Menjadi Hamba-Nya yang Bersyukur

Imam Ibnul Qoyyim rohimahulloh berkata, “Syukur itu menurut asalnya adalah adanya pengakuan akan nikmat yang telah Alloh berikan dengan cara tunduk kepada-Nya, merasa hina di hadapan-Nya dan mencintai-Nya. Maka barangsiapa yang tidak merasakan bahwa itu adalah suatu kenikmatan maka dia tidak akan mensyukurinya. Barangsiapa yang mengetahui itu adalah nikmat namun dia tidak mengetahui dari mana nikmat itu berasal, dia juga tidak akan mensyukurinya. Barangsiapa yang mengetahui itu adalah suatu nikmat dan mengetahui pula dari mana nikmat itu berasal, namun dia mengingkarinya sebagaimana orang yang mengingkari Alloh yang memberi nikmat, maka dia telah kafir. Barangsiapa yang mengetahui itu adalah suatu nikmat dan dari mana nikmat itu berasal, mengakuinya dan tidak mengingkarinya, akan tetapi ia tidak tunduk kepada-Nya dan tidak mencintai-Nya atau ridho kepada-Nya, maka ia tidak mensyukurinya. Barangsiapa yang mengetahui itu adalah nikmat dan dari mana nikmat itu berasal, mengakuinya, tunduk kepada yang memberi nikmat, mencintai-Nya dan meridhoi-Nya, dan menggunakan dalam kecintaan dan ketaatan kepada-Nya, maka inilah baru disebut sebagai orang yang bersyukur.”

Ancaman dan Bahaya Untuk Orang yang Kufur Nikmat

Alloh berfirman yang artinya, “Dan (ingatlah juga) ketika Robb kalian mengatakan, ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku) maka ketahuilah sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih’.”(QS. 14: 7). Dalam ayat yang mulia ini, Alloh Azza wa Jalla memberikan janji kepada para hamba-Nya yang mau bersyukur, sekaligus memberikan ancaman yang keras bagi mereka yang berani untuk kufur kepada-Nya.

Bukti dari ancaman Alloh ini dapat kita lihat dari kisah-kisah orang di sekitar kita, atau dari apa yang Alloh ceritakan langsung dalam ayat-Nya tentang kisah Qorun. Alloh berfirman yang artinya, “Qorun berkata, ‘Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu karena ilmu yang ada padaku’. Dan apakah ia tidak mengetahui, bahwasannya Alloh sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat darinya dan lebih banyak mengumpulkan harta? Dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka. Maka keluarlah Qorun kepada kaumnya dalam kemegahannya. Berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia, ‘Semoga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan Qorun, sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar. Maka Kami benamkan Qorun beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya suatu golongan pun yang menolongnya terhadap adzab Alloh dan tiadalah ia termasuk orang-orang (yang dapat) membela (dirinya).” (QS 28: 78-79 & 81). Wal iyyadzu billah… semoga Alloh menjadikan kita termasuk ke dalam golongan hamba-Nya yang bersyukur. Amiin.

 

;